Setiap era selalu mempunyai masalahnya masing-masing, baik itu dari sisi politik, ekonomi, maupun agama. Semuanya selalu bertumpu pada gimana ihwal kemanusiaan dapat dicapai. Demikian pula di era modern ini, manusia modern dihadapkan dengan masalah nan serupa.
Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya berjudul “Islam dan Nestapa Manusia Modern”, menyatakan bahwa masalah manusia modern adalah hilangnya kesadaran mereka atas eksistensinya sendiri akibat corak kehidupan modern nan condong positivistik dan materialistik.
Manusia Krisis Kesadaran Eksistensi
Corak kehidupan modern tersebut secara sederhana dapat dimengerti dalam corak style hidup manusia hari-hari ini, seperti maraknya perilaku konsumtif, narsistik, dan hedonistik. Kalau dicermati, semua itu sebenarnya berakar dari andaian bahwa kehidupan hanya bisa dijalani jika berasal dari hal-hal nan tampak dan di luar diri. Terlebih lagi, secara tidak langsung corak persoalan modern tersebut menganggap manusia bukan lagi sebagai subjek, melainkan berbalik menjadi objek dari zamannya.
Hal itu nan akhirnya memantik para mahir menggaungkan wacana-wacana edukasi, baik dalam corak tulisan maupun video untuk meng-counter penyakit manusia modern. Dari sekian banyak ahli, nama Husein Ja’far Al-Hadar, alias kerap disebut Habib Husein dari organisasi pemuda tersesat adalah salah satunya.
Wacana nan digaungkan oleh beliau baru-baru ini tersemat pada video di kanal YouTube Gita Wirjawan berjudul “Habib Ja’far: Enigma Waktu, Tanda Kesadaran, Memaknai Eksistensi”.
Dari serangkaian ceramahnya dengan lama kurang lebih tiga jam, banyak sekali topik krusial nan dibicarakan. Salah satu nan menurut saya cukup menarik dan relevan adalah filosofi ruang dan waktu. Di mana penjelasan tentang apa itu ruang dan waktu. Bagaimana kedua perihal itu melingkupi style hidup seseorang tampak jelas jika manusia modern sebenarnya mengalami krisis kesadaran eksistensi atas ruang dan waktu. Setelah saya amati berkali-kali, penjelasan Habib Ja’far tersebut setidaknya dapat dirangkai ke dalam dua sub pembahasan berikut ini.
Pentingnya Membedakan Ruang dan Tempat
Segala tindak-tanduk manusia selalu tidak lepas dengan nan namanya ruang dan tempat. Tapi, lantaran keberadaan manusia setiap detik berjumpa dengan kedua term itu, barangkali luput untuk menyadari bahwa antara ruang dan tempat sebenarnya mempunyai perbedaan.
Ruang dan tempat, sebagaimana Habib Ja’far mengatakan, keduanya tidak selalu berkelindan. Kita bisa saja berada di tempat nan luas, tetapi tidak mempunyai ruang nan luas. Demikian juga sebaliknya, ketika kita mempunyai ruang nan luas, bukan berfaedah sedang berada di tempat nan luas. Tempat itu bagian bentuk nan dikonstruksi manusia, sementara ruang merupakan bagian konseptual nan ada secara alamiah dalam diri manusia.
Habib Ja’far kemudian menyebut Suffah sebagai contohnya. Meskipun tempat nan berada di belakang Masjid Nabawi itu sempit, tapi mempunyai ruang nan sangat luas. Sebagaimana hadist nan sampai hari ini tetap dipakai oleh seluruh ulama, itu lahir ketika Abu Hurairah berada di tempat sempit tersebut. Tepat di titik inilah kesadaran tentang perbedaan antara ruang dan tempat mempunyai pengaruh nan sangat krusial bagi kehidupan manusia.
Kebanyakan manusia modern sekarang hanya mengindahkan tempat nan luas dan estetik, tapi tidak demikian untuk ruang. Tempat-tempat luas seperti kafe, taman, kampus, apalagi perpustakaan menjadi ruang nan sempit bagi mereka nan sekadar narsistik, menggosip, dan menjadi budak media sosial. Ketidaksadaran atas kedua term itu jarang, apalagi mungkin tidak pernah kita sadari. Seolah-olah, jika sudah berada di tempat nan luas, maka sekaligus mempunyai ruang nan luas.
Tentu bukan tanpa sebab, perihal itu tidak lain dikarenakan style hidup modern nan menuntut manusia agar berorientasi pada hal-hal nan berkarakter tampak oleh indra (positivistik) dan berjuntai pada barang (materialistik). Walhasil, ketika berada di suatu tempat, aktivitas manusia terbatasi oleh andaian: Bagaimana sesuatu nan tampak oleh indra dan ketergantungan pada barang itu dapat diraih sebagai bentuk eksistensinya.
Keberhargaan Waktu
Selain persoalan ruang dan tempat, krisis eksistensial manusia modern juga berkelindan dengan konsepsi waktu. Di titik ini, penjelasan Habib Ja’far menurut saya mulai terasa komplit unsur-unsur filosofisnya.
Waktu, demikian lanjut Habib Ja’far, bukanlah detik jam, bukan pula debar jantung. Lebih dari itu, waktu adalah degup kesadaran. Jadi, nan sebenar-benarnya waktu itu bukanlah nan selama ini diketahui secara objektif seperti pagi, siang, sore, malam, alias pukul 1-24. Justru waktu adalah bangunan subjektif nan berangkaian dengan kesadaran manusia dalam bereksistensi.
Dari situ menurut saya, manusia modern perlu memperbaiki kembali pola pikir tentang waktu. Sebab, secara sadar alias tidak, waktu nan diketahui secara objektif itu selalu mengekang manusia dalam perihal apapun. Manusia akhirnya tidak bebas lantaran segala tindak-tanduknya dituntut oleh waktu objektif dan bukan oleh dirinya sendiri. Penghayatan mereka tentang kehidupan dan dirinya sendiri juga perlahan lenyap seiring tenggelamnya ketidaksadaran mereka atas dirinya sendiri.
***
Habib Ja’far memberikan contoh nan cukup menggugah mengenai waktu. Beliau mengutip salah satu filsuf eksistensialis dari Jerman, Martin Heidegger, dengan mengatakan bahwa waktu itu bakal terasa berbeda ketika rebahan dibanding ketika mengantar Ibu nan sedang sakit jantung dalam mobil ambulans. Waktu ketika mengantar Ibu bakal terasa lebih berarti dibanding ketika rebahan. Tepat di sinilah menurut saya perihal waktu betul-betul berbobot jika kita masuk dalam kesadaran eksistensial.
Saat mendengarkan ucapan Habib Ja’far mengenai waktu, saya lantas terkenang salah satu kitab nan berjudul “Heidegger dan Mistik Keseharian: Sebuah Pengantar Menuju Sein and Zeit” yang ditulis oleh Budi Hardiman. Di dalamnya menjelaskan bahwa manusia itu selalu terlempar ke dalam faktisitas. Maksud dari faktisitas adalah fakta-fakta nan tidak bisa diprediksi dan dihindari oleh manusia. Oleh karenanya, manusia sebagai makhluk eksistensial semestinya menyadari bahwa waktu nan telah mereka punya merupakan sesuatu nan berbobot untuk segala aktivitasnya.
Kalau kita memahami penjelasan di atas dengan saksama, baik ruang maupun waktu sebenarnya bertumpu pada suatu kesadaran nan saling berkelindan. Tidak sekadar sadar atas diri nan sedang berada, melainkan gimana kesadaran itu selalu ada pada andaian bahwa keberadaan diri memerlukan ruang nan luas. Demikian juga waktu, tidak bakal ada artinya andaikan sudah mempunyai ruang nan luas, tapi tidak punya kesadaran bahwa waktu itu sangat berharga. Jika keduanya bisa dilakukan, maka itulah nan disebut kesadaran eksistensial.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·