Buku yangg ditulis oleh salah satu guru besar sejarah Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ialah Prof. Dudung Abdurrahman, mengisahkan sebuah peristiwa sejarah Islam di abad pertengahan. Abad di mana Islam mengalami keterpurukan, ialah masa di mana dinasti Abbasiyah mengalami keruntuhan atas serangan Mongolia.
Buku yangg berjudul “Komunitas Multikultural” secara garis besar kitab ini menjelaskan serta menginformasikan tentang perjalanan sejarah Islam di masa 3 dinasti Islam besar pasca runtuhnya Abbasiyah, ialah Turki Ustmani, Safawiyah, dan Mughal.
Ketiga kerajaan Islam ini berada pada area di luar Arabia. Maka, dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di luar Arabia inilah, yangg nantinya peradaban Islam bakal terus tersebar hingga beragam kawasan-kawasan.
Menariknya kitab ini, adalah ditulis dengan style tulisan yangg akademis dan metodis. Kemudian tulisan yangg tidak terlalu tebal, sehingga mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran umum mengenai kondisi Islam di abad pertengahan.
Dari banyaknya kitab sejarah Islam yangg beredar, secara umum lebih banyak menjelaskan asal usul, berdirinya imperium, kemajuan, dan keruntuhan. Namun, dalam kitab “Komunitas Multikultural” ini, mencoba menjelaskan dari perspektif pandang yangg berbeda. Yaitu menampilkan aktivitas keagamaan sebagai salah satu penyebab berkembanganya kepercayaan Islam di masa 3 imperium besar tersebut.
Maksudnya, di lapisan kelas sosial masyarakat, telah lahir sebuah aktivitas sosial keagamaan baru yangg bermaksud membangun keagamaan dengan motode tasawuf. Gerakan ini yangg kemudian kita kenal dengan Tarekat.
Keberadaan kitab ini telah memberikan info krusial terhadap pentingnya aktivitas tarekat sebagai salah satu metode dalam mensyiarkan Islam di beragam kawasan. Kebiasaan masyarakat area Balkan, India, dan Persia yangg tetap mempunyai pengaruh budaya dan politik, telah bisa menyulut dan merangsang munculnya aktivitas tarekat tersebut sebagai salah satu transportasi dalam menyampaikan Islam maupun memberontak bagi kekuasaan yangg tidak adil.
Tarekat yangg muncul di area Persia beda kasus dengan kemunculan tarekat yangg berada di India dan Turki. Tapi yangg pasti kemunculan tarekat-tarekat tersebut tidak lepas dari latar politik, ekonomi dan budaya.
Fenomena Keagamaan di Masa Turki Ustmani: Studi Tarekat
Fenomena keagamaan di abad pertengahan Islam, menunjukkan begitu antusiasnya gerakan-gerakan Islam bernafaskan sufistik. Realitas ini bermulai dari sebuah dugaan bahwa di mana posisi negara-negara di beragam area juga mempunyai karakter kebangsaan dan kebudayaan yangg beragam.
Apalagi setiap area mempunyai kondisi sosial-politik yangg berbeda, sehingga titik tolak daripada kondisi tersebut, membikin beragam saudagar, intelektual, ustadz dalam mentransfer Islam, mempunyai konsep hibriditas budaya dan agama, salah satunya adalah penggunaan jalan sufisme. Maka, untuk menjawab kondisi terebut, salah satu bentuk aktivitas yangg cukup terkenal kala itu adalah gerakan-gerakan tarekat.
Membicarakan abad pertengahan Islam tidak lepas dari keberadaan tiga kerajaan besar Islam, ialah Turki Ustmani, Safawiyah, dan Mughal.
Perkembangan Islam di kawasan-kawasan ketiga kerajaan tersebut tidak lepas dari sebuah peran krusial tarekat sebagai sebuah aktivitas keagamaan.
Misalnya, di masa Turki Ustmani sebagai kerajaan Islam besar di area Eropa Timur dan Asia, mempunyai keragaman budaya, etnik dan agama. Kesultanan tidak menekankan pada satu kepercayaan tertentu, justru penduduk non-Muslim merupakan sebagai penduduk otonom dalam mengembangkan kehidupan sosial, keagamaan, maupun kehidupan komunalnya.
Mereka diatur oleh organisasi mereka sendiri, dengan pemimpinnya yangg diangkat melalui kesultanan Ustmaniyyah yangg sekaligus mempunyai tanggungjawab bagi Ustmaniyyah.
Dalam lapisan masyarakat Islam di Ustmaniyyah, terdapat beberapa kelas-kelas baru dalam mengafirmasi keberlangsungan aktivitas keagamaan baik untuk kerajaan maupun masyarakat secara luas, ialah munculnya kalangan ustadz sufi.
Dari kemunculan dan peran ustadz sufi tersebut, Islam bisa menembus area Eropa Timur hingga area utara laut Mediterania, termasuk Semenanjung Balkan.
Peran krusial tersebut adalah dikarenakan posisi dan kondisi area tersebut adalah berporos pada agama-agama non-Islam, serta terdapat kepercayaan dan kepercayaan terhadapa bumi spiritual, magis dan roh dewa-dewa.
Maka dari itu, peran ustadz sufi yangg mengikuti kondisi tersebut telah bisa membujuk mereka tertarik dan masuk kepercayaan Islam. Hingga para ulama-ulama tersebut membentuk sebuah aktivitas keagamaan yangg dikenal dengan Tarekat.
Di masa Ustmaniyyah berkembang sekitar 4 aktivitas tarekat, dan kemungkinan tetap banyak lagi, terutama peran aktivitas tersebut di arus bawah alias golongan masyarakat di pedalaman.
Misalnya, pertama; kalangan sufi datang dari aktivitas Tarekat Bektashis. Tarekat yangg didirikan oleh Haji Bektash pada abad ke-13 M ini berkembang atas support para murid-muridnya dengan mendirikan khanaqah alias ribath—penginapan, pemondokan—yang berkembang di wilayah di Macedonia, Thessaly, dan Rodhop (negara di area Semenanjung Balkan).
Di abad ke-15 M, tarekat ini sudah menyebar ke Anatolia dan Balkan, apalagi di tahun 1500-an, tarekat ini disempurnakan dengan mendirikan khanaqah alias ribath dengan sistem yangg baik.
Uniknya tarekat yangg berkembang di kesultanan yangg berpaham sunni, justru tarekat Bektashis merupakan tarekat yangg mempunyai mengerti syi’i. Bahkan tarekat ini mendapat pengaruh dari aliran syi’i itu sendiri dan Kristen.
Pengaruh Syi’ah tampak dari pengagungan pemimpin keenam Syi’ah Ismailiyah, Ja’far Sodiq, yangg ditetapkannya sebagai wali besar bagi mereka. Sedangkan pengaruh Kristen tampak dari pengagungan mereka terhadap aliran trinitas, ialah Tuhan, Muhammad, dan Ali.
Kemudian dari tradisi mereka dalam menyajikan roti dan anggur dalam setiap upacara pembaiatan alias pentahbisan. Seperti dalam tarekat lainnya, Bektashis juga mengajarkan empat tingkat kepercayaan agama, ialah syariah, thariqah, ma’rifah, dan haqiqat.
Kedua, tarekat yangg cukup mempunyai pengaruh di masa kerajaan Ustmaniyyah adalah Tarekat Maulawi. Sebuah tarekat yangg unsur spiritualnya dikembangkan dari aliran Jalaludin Rumi.
Kitab Matsnawi, karya puisinya yangg tak tertandingi keelokan dan kedalaman maknanya dan telah mempunyai pengaruh luas, dan apalagi disebut sebagai kitabnya sufi. Beberapa ribath didirikan yangg berkedudukan krusial dalam studi kesusasteraan Persia, pemikiran sufi, dan pendidikan elite birokrasi Ustmani.
Tarekat ini lebih banyak berkembang di area perkotaan Anatolia dan Balkan. Ordo Maulawi ini mempunyai ritus mistik yangg unik dengan hadirnya tarian-tarian mereka yangg berputar-putar, sehingga mereka dikenal dengan julukan “darwis-darwis yangg menari”.
Ketiga, terekat yangg juga mempunyai pengaruh luas di kerajaan Ustmaniyyah adalah Tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini didirikan di Bukhara pada abad ke-14 M oleh Bahauddin. Dinamakan Naqsabandiyah yangg berfaedah pelukis-pelukis yangg memberikan makna lantaran pendirinya melukis gambar-gambar spiritual di dalam hati. Tarekat ini termasuk tarekat yangg ortodoks, dan pada umumnya menarik pada kaum elit.
Keempat, ialah Tarekat Khalwatiyah. Tarekat yangg didirikan oleh Umar al-Khalwati di Persia yangg berkembang di Turki, dan pada abad ke-18 M. Tarekat ini menyebar ke Mesir, Timur Tengah, Afrika Utara dan Barat.
Ajaran tarekat ini dipengaruhi oleh spiritual dari Suhrawardiyah. Tarekat ini menggunakan metode disiplin yangg ketat, ialah dengan khalwat. Jadi para golongan kudu mengasingkan diri dalam proses untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Di abad ke-15-16, Tarekat Bektashi dijadikan sekolah tentara oleh pasukan Jenisari—yaitu pasukan unik Turki Ustmani. Selain itu, semua tarekat diberikan kebebasan oleh Ustmaniyyah dalam mengembangkan gerakannya tanpa mengurangi kemandirian guru-guru sufi.
Hampir semua kemunculan gerakan-gerakan tersebut berasosiasi dengan negara. Namun ketika mereka mendukung terhadap keberadaan kekuasaan negara, maka mereka juga diberikan kewenangan otonom dalam mengembangkan gerakannya, termasuk Tarekat Maulawi.
Dari penjelasan di atas, bahwa keberadaan tarekat sebagai aktivitas keagamaan di masa Turki Ustmani tidak hanya sebatas aspek agama, melainkan juga terdapat aspek budaya dan bermuatan politis. Maka, tak ayal ketika beberapa tarekat-tarekat tersebut mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan Islam di kawasan-kawasan benua, terutama di pedalaman. Peran krusial tarekat telah bisa memberikan pengaruh bagi kebudayaan yangg juga turut berkembang.
Fenomena Keagamaan Masyarakat Iran
Safawiyah sebagai salah satu dinasti Islam yangg berkembang di area Timur Tengah, Safawiyah merupakan dinasti yangg mempunyai corak keagamaan syiah. Bermula dari sebuah aktivitas sosial keagamaan tarekat, Dinasti Safawiyah beralih bentuk menjadi aktivitas sosial politik bernafaskan keagamaan.
Semua bermulai dari kondisi sosial politik Iran yangg waktu itu sedang kacau. Timur Leng yangg merupakan pelaku baru dalam peradaban Iran. Menjadikan Samarkand sebagai pusat kekuasaan, dia bisa merebakkan sayap infasinya hingga ke dataran Asia bagian Barat, khususnya Iran.
Dalam kurun 1379- 1402, Timur bisa memperluas kekuasaannya yangg membentang dari timur ke barat, termasuk Iran kemudian India Utara, Anatolia, dan Suriah Utara.
Di tahun 1405, Daulah Timuriyah membagi pusat kebudayaan Iran menjadi dua wilayah, ialah di wilayah Transaksonia dan di wilayah Herat. Kedua wilayah tersebut mempunyai perbedaan yangg mencolok.
Di wilayah Transaksonia pada masa Ulugh Bey, bisa mengembangan pengetahuan pengetahuan arsitektural, kefilsafatan dan keilmuan Muslim yangg hingga membentuk peradaban baru bagi Iran.
Di masanya, bisa membangun monumen sejarah di Samarkand, Bukhara, Herat, dan Balkh. Sementara untuk corak keagamaan di wilayah ini bermotif sufisme, misalnya di Samarkand dengan Naqsabandiyah dan Bukhara dengan perseorangan tokoh-tokoh sufi.
Kemudian wilayah kedua ialah di Herat di wilayah ini mengalami kemajuan di masa pemerintahan Shah Rukh. Terutama di masa kepemimpinan Sultan Husain Bayqara, telah dibangun pusat kesusastraan Turki, salah satu tokoh pujangganya adalah Mir Ali Shir Navai (1441-1501).
Di masanya pula telah lahir pelukis kenamaan, ialah Bihzad yangg menciptakan lukisan bermotif baru, ialah yangg memasukan doktrin sufi kedalam lukisan.
Perlu diketahui bahwa dinasti Timuriyah didirikan oleh Timur Lenk, yangg tetap mempunyai sambung darah ke Genghis Khan, Mongolia. Maka, tidak kaget ketika keberadaan mereka selalu mempunyai gairah menginvasi ke beragam kawasan-kawasan, termasuk Persia.
Selain bangsa Mongol, di Iran sendiri sudah telah tersebar masyarakat bangsa Turki, yangg keduanya mempunyai model kehidupan berpindah-pindah. Selain itu, dalam lembaga politik bangsa Iran pada masa itu banyak dipengaruhi oleh Mongol dan Turki.
Pengaruh politik Turki yangg sangat menonjol adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan secara turun temurun kepada sistem pemerintahan yangg didasarkan persaingan militer.
Secara umum, setelah berkembangan masyarakat Turko-Mongolia, yang terkenal dengan istilah Uymaq (negara keluarga). Sebuah Uymaq dibentuk oleh elit militer dan diorganisasi sebagai family besar dalam kepemimpinan seorang kepala Uymaq. Namun, lambat laun suku-suku yangg lebih tinggi akhirnya terdesar oleh mereka dari suku-suku yangg rendah yangg lebih besar. Maka, dalam perkembangannya, Uymaq bukan hanya bagi kalangan elit militer dan pembesar suku, melainkan dari suku lain pun bisa.
Beriringan dengan tumbuhnya sistem Uymaq dan ketidakstabilan beberapa rezim akibat invasi Mongol, telah mendorong pula tumbuhnya bentuk-bentuk baru dalam sosial-keagamaan di tengah masyarakat Iran/Persia.
Kepemimpinan organisasi masyarakat di Anatolia Barat, di Timur Laut Iran, dan Utara Mesopotamia banyak diperankan oleh para sufi. Mereka melakukan beragam praktik pengobatan spiritual, mengembangan kekuatan gaib, dan pemahaman terhadap pengetahuan esoterik alias interpretasi teks-teks berkarakter magis.
Selain itu, mereka juga mengajarkan doktrin kemahdian yangg bakal datang untuk menolong dan menyelamatkan umat akibat situasi politik dan ekonomi yangg mengacaukan. Maka, dalam perihal ini, perkembangan organisasi multikultural keagamaan sufistik/spiritual, mencoba mengorganisasi sejumlah aktivitas lokal untuk menyatukan masyarakat pedalaman dalam menentang beragam penekanan politis.
Oleh lantaran itu, pada abad ke-13 M, telah berdiri setidaknya ada 4 aktivitas tarekat, yangg gerakannya mempunyai pengaruh besar seperti: 1). Tarekat Kubrawi di Iran Barat, tarekat yangg dinisbatkan kepada pendirinya Najm al-Din Kubra (1146-1221).
Tarekat ini memperoleh support dari kalangan Sunni dan Syiah, melalui seruannya untuk menghormati family Nabi khususnya jalur Ali. Mistisme Kubrawi juga memberikan daya tarik kepada kalangan Budha dan kalangan Pagan agar memeluk Islam.
2). Tarekat Hurufiyah, didirikan oleh Abdullah Astarabadi yangg menyatakan dirinya sebagai “imam yangg tersembunyi/mahdi”, dan pewaris kehendak Tuhan yangg diwahyukan secara langsung.
Doktrin ini mencoba menafsirkan pada setia huruf hijaiyah dan memahami nilai-nilai numeris yangg terkandung di dalamnya yangg merupakan mikrokosmos dari realitas ketuhanan.
Gerakan ini diorientasikan pada proses konfrontasi antara baik dan buruk, seruan bakal kehadiran mesiah yangg bakal menyelamatkan manusia.
3). Tarekat Sarbadar, merupakan tarekat yangg didirikan oleh Syaikh Khalifah (abad ke-14) dan muridnya Hasan Juri. Tarekat ini mengajarkan bakal datangnya pemimpin mahdi untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran, dan menyatukan diri dengan penguasa lokal untuk menentang pemerintahan Mongol. Bahkan, tarekat melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Timuriyah di Kurdistan.
4). Tarekat Safawiyah, yangg didirikan oleh Syaikh Safi al-Din (1252-1334), seorang sufi-sunni yangg lahir dari family Kurdi di Iran Utara. Ia yangg mempelopori kebangkitan Islam yangg menentang kekuasaan militer.
Bermula dari aktivitas tarekat inilah, Safawiyah bakal berkembang menjadi aktivitas yangg berkarakter politis ialah dengan membentuk kedinastian terbesar di abad modern (abad ke-16) di Siyraz, Persia.
Menariknya, tarekat yangg dahulunya bernuansa Sunni, sekarang setelah masanya Syah Ismail, di tahun 1501 M, Safawiyah didaulat menjadi aktivitas politis dan menjadi penguasa dinasti Safawiyah yangg pertama yangg sekaligus mempunyai corak Syiah.
Fenomena Keagamaan di India: Studi Tarekat-Tarekat
Seiring dengan penyebaran Islam di wilayah India, terutama sejak Delhi. Kehidupan keagamaan di wilayah ini dibina atas peran ulama, sufi, dan intelektual Muslim yangg berdatangan dari Timur Tengah.
Namun, perlu diketahui bahwa setidaknya ada 4 periodesasi Islam di India; pertama, era Nabi Saw hingga Dinasti Ghuri; kedua, masa kesultanan Delhi (1206-1526 M); ketiga, masa Dinasti Mughal (1526-1857 M; keempat, kolonialisme dan pergolakan Islam sampai lahirnya Pakistan dan Bangladesh.
Corak keagamaan dalam proses penyebaran Islam tersebut lebih dominan atas pengaruh kaum sufi, apalagi peranan mereka merupakan aspek yangg paling penting. Kemudian pada perkembangan keagamaan pada masa pertengahan di India, yangg banyak dilakukan oleh sejumlah pejuang sufi yangg berdatangan ke India untuk mencari prestasi keagamaan, terutama melalui pengembangan tarekat sufi. Antara lain terdapat;
1.) Tarekat Kazaruniyah, tarekat ini turut menyokong penyebaran Islam di Khasmir; kaum mistik pedalaman menyebarkan pemikiran sufi tentang jenjang universal para wali dan praktik pemujaan makam; dan pengikut malamatis dan qalandaris yangg mencerminkan pola kehidupan duniawi.
2). Tarekat Suhrawardiyah, tarekat yangg dibawa oleh Syaikh Bahaudin Zakariyah ke India telah banyak peminatnya. Sehingga dia menjadikan Multan sebagai pedoman utamanya, apalagi tarekat ini berkembang di Uch dan Gujarat.
3). Tarekat Chistiyah, tarekat ini didirikan oleh Syaih Khwaja Abu Ishaq Shami Chisti di Afganistan. Namun, tarekat ini berkembang dan dikenal ketika dibawa oleh Mu’inudin Hasan Chis. Tarekat ini tersebar di penjuru Rajasthan, Bengal, Deccan, dan Punjab.
4). Tarekat Shattariyah, tarekat ini didirikan oleh Abdullah Shattar abad ke-15 di India. Pengejaran tarekat ini bermulai dari berkunjungnya Abdullah Shattar ke lembah Ganges dengan berpakaian seperti seorang raja dengan sejumlah pengikut dalam seragam militer. Mereka membawa bendera dan menabuh tambur untuk mempropagandakan keyakinannya.
Pengikut memandang Abdullah Shattar sebagai bentuk yangg berasosiasi langsung dengan para wali, nabi, dan Tuhan. Tarekat ini tidak hanya penekanan pada bagian tasawuf, melainkan tarekat ini juga mengajarkan agar seseorang menjadi kaya dan berasosiasi dekat dengan elit penguasa.
Kemudian dalam perkembangannya, terutama di masa Mughal, pengaruh Tarekat Naqsabandiyah dan Qadiriyah menggantikan pengaruh tarekat Suhrawardiyah dan Chistiyah. Bahkan salah satu tokoh Tarekat Naqsabandiyah di India bisa mendirikan tarekat sendiri, ialah Tarekat Mujaddiyah. Sebuah tarekat yangg diarahkan kepada proses ortodoksi dan semangat pembaharuan Islam.
Makna Historis-Filosofis
Setelah membaca uraian di atas bahwa perkembagan sejarah Islam mempunyai peran krusial dalam membangun umat. Tidak hanya imperium, melainkan peran krusial masyarakat dalam kajian sosial Islam, ialah bisa menarasikan perjalanan aktivitas sosial masyarakat Islam.
Sekaligus, dari munculnya kitab ini memberikan info bahwa kesejarahan Islam sampai berdirinya imperium yangg berkarakter politis maupun aktivitas keagamaan (tarekat) yangg berkarakter sosial-keagamaan, telah menjawab bahwa masyarakat ‘ajam Islam alias non-Arab bisa mengembangkan Islam hingga menjadi imperium besar. Ini terbukti dengan besarnya pengaruh ketiga kerajaan Islam di era terakhir kekhalifahan-kesultanan Islam di dunia.
Tak segan-segan, dari keberadaan imperium Islam di kawasan-kawasan, telah bisa memberikan interpretasi terhadap kebudayaan setempat sebagai spektrum pendobrak bagi mendiasporanya Islam dari pusat Islam itu sendiri.
Maka dari itu, keterlibatan kebudayaan yangg beragam, telah mempunyai multitafsir terhadap perkembagan Islam hingga ke beragam kawasan-kawasan yangg tidak luput dari kontemplasi budaya-budaya masyarakat itu sendiri.
Secara filosofisnya, bahwa menuliskan sejarah tidak terus menerus pada arus atas yangg berkarakter politis. Perlu kemudian menuliskan sejarah dari kalangan patriotis di masyarakat bawah yangg berkarakter sosial maupun keagamaan.
Elitisitas memang selalu menarik, bakal tetapi ketika bisa menarasikan alitisitas daripada eksistensi masyarakat Islam dalam kesehariannya hingga perkembangan apalagi membentuk peradabannya serta urbanisasinya hingga membentuk kebudayaan baru bagi kehidupannya, itu juga mempunyai sejumlah historiografi yangg tetap menarik.
Sebab pada dasarnya sejarah bukan sebuah keberpihakan, melainkan sebuah catatan atas peristiwa yangg relevan dengan kebenaran sekaligus yangg memberikan kandungan nilai-nilai bagi masa depan atas pelajaran dari masa lampau.
Dari kisah dan persitiwa masa silam itulah, pertama, umat Islam bisa melihat, mempelajari, mengetahui, memahami hingga merealisasi bahwa agar lebih baik perlu adanya perubahan. Tidak kudu berakibat besar, setidaknya bisa menggerakkan;
kedua, setidaknya dengan adanya peristiwa tersebut bisa memberikan sejumlah info bagi setiap bangsa-bangsa bahwa perjuangan, nasionalisme dan berkebudayaan adalah bermuara bagi masa depan bangsa dan itu krusial serta bermulai dari sejarah.
Maka, pelajaran sejarah merupakan sebagai bekal bagi generasi masa depan bangsa dan cinta tanah air. Dengan memahami sejarah, mereka bakal memahami perjuangan bangsa dan kecintaan terhadap kebudayaan dan tanah air mereka.
Daftar Buku
Judul : Komunitas Multikultural dalam Sejarah Islam Periode Pertengahan
Penulis : Prof. Dudung Abdurrahman. M.Hum
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Tahun : 2016
Editor: Soleh