Dosen sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Abdus Salam
MALANG, PIJARNEWS.ID – Pemandangan unik mulai menghiasi beragam perspektif kota dan linimasa media sosial menjelang seremoni Hari Ulang Tahun (HUT) ke 80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Di antara barisan bendera merah putih yangg gagah berkibar, terselip sebuah simbol yangg tak asing bagi para fans budaya pop Jepang: bendera tengkorak bertopi jerami dari serial anime terkenal, One Piece.
Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan dan spekulasi mengenai makna di kembali bendera tersebut. Dosen sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Abdus Salam, mencoba mengupas kejadian ini dari perspektif sosial.
Menurutnya, kejadian ini tak bisa dipandang semata sebagai tren ikut-ikutan. Ia melihatnya sebagai corak ekspresi sosial. Seperti tingginya nomor pengangguran di kalangan sarjana hingga ahli sebagai ironi yangg membikin simbol negara seperti kehilangan makna nyata di kehidupan sehari-hari.
“Anak muda tidak bakal bangga pada bendera Merah Putih sebagai lambang negara jika tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Bendera Merah Putih seringkali hanya dianggap simbol seremonial yangg tak memberikan akibat langsung. Sementara bendera One Piece dilihat sebagai representasi angan alias corak kritik terhadap realitas.
Lebih jauh, dia menyoroti reaksi berlebihan dari sebagian abdi negara pemerintah yangg menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai corak makar alias tindakan pidana.
“Sikap sedemikian rupa merupakan kegenitan elit negara, yangg terlalu reaktif terhadap ekspresi kultural. Selama tidak mengganti alias merusak bendera negara, sebaiknya disikapi secara bijak,” katanya.
Ia menegaskan kejadian ini semestinya menjadi bahan refleksi dan obrolan tentang nasionalisme yangg lebih substansial dan relevan sesuai dengan kondisi kebangsaan saat ini.
“Nasionalisme tidak hanya soal ikut upacara alias hormat bendera, tetapi gimana mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif seperti bekerja dengan jujur, belajar sungguh-sungguh, dan menjauhi korupsi,” jelasnya.
Ia juga menyadari bahwa tak semua tindakan anak muda bermuatan ideologis. Ada kemungkinan terdapat motif lain seperti kemauan untuk menjadi viral. Sehingga tidak bisa disimpulkan andaikan semua ekspresi dianggap sebagai perlawanan politik.
“Harusnya nasionalisme tidak berakhir di seremoni belaka, tetapi menjadi komitmen nyata untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Dengan begitu, generasi muda bakal lebih bangga pada Merah Putih yangg berkibar,” tutupnya.
2 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·