Farid Wajdi, MBG : Program Prematur, Tata Kelola yangg Sakit
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dimaksudkan sebagai kebijakan monumental—mencerminkan keberpihakan negara terhadap anak-anak miskin dan pencegahan stunting. Ia diklaim sebagai langkah revolusioner di bagian gizi publik. Namun di kembali idealisme itu, MBG justru menampakkan abnormal mendasar: program ini beraksi tanpa fondasi norma yangg kokoh dalam corak peraturan perundang-undangan. Inilah titik paling krusial dan berbahaya, karena kebijakan publik sebesar ini telah dijalankan tanpa injakan legal yangg jelas, tanpa jenjang normatif yangg memenuhi asas lex superior derogat legi inferiori.
Sampai saat ini, MBG hanya berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN), bukan pada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, alias minimal Peraturan Presiden yangg secara definitif mengatur sistem MBG. Artinya, secara hukum, program MBG tidak mempunyai dasar normatif yangg mengikat untuk mengatur aspek pembiayaan, tata kelola, maupun tanggung jawab norma para pelaksananya. Perpres itu hanya mengatur kelembagaan BGN, bukan mandat spesifik tentang penyelenggaraan program makan bergizi. Dengan kata lain, MBG melangkah dalam ruang abu-abu legalitas: dia de facto dilaksanakan, tapi de jure tak mempunyai legitimasi norma yangg memadai.
Ketiadaan dasar norma ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan abnormal konstitusional. Dalam sistem norma Indonesia, setiap kebijakan yangg menggunakan biaya publik kudu mempunyai dasar norma yangg sah dan berjenjang. UU Keuangan Negara dan UU Administrasi Pemerintahan menegaskan penggunaan APBN untuk program strategis wajib didukung oleh izin umum yangg mengatur tujuan, mekanisme, dan pengawasan. Ketika MBG digulirkan tanpa dasar undang-undang, maka penyelenggaraan dan penyaluran dananya berpotensi melanggar asas legalitas, sebuah prinsip esensial dalam norma manajemen negara yangg menyatakan: tiada kewenangan tanpa dasar hukum.
Di sinilah masalahnya menjadi semakin kompleks. Karena tidak ada dasar norma yangg tegas, tata kelola MBG pun goyah. Mekanisme pembayaran ke penyedia katering tidak punya landasan regulatif yangg seragam. Petunjuk teknis dan standar gizi berbeda-beda antarwilayah. Prosedur pengawasan pun kabur: siapa yangg bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran mutu, keterlambatan, alias apalagi penyalahgunaan dana? Dalam ketiadaan norma hukum, semua tokoh menjadi “abu-abu”: tidak jelas siapa pelaku, siapa pengawas, siapa penanggung jawab.
Ketiadaan dasar norma ini juga menjadi akar dari beragam kekacauan di tubuh BGN, mulai dari bentrok kepentingan antarpejabat, hingga gesekan dengan lembaga lain yangg merasa tak dilibatkan dalam perumusan kebijakan. Tanpa kerangka norma yangg pasti, setiap keputusan BGN rawan digugat lantaran dianggap ultra vires (bertindak di luar kewenangan). Dalam konteks tata kelola negara, ini adalah corak penyalahgunaan kewenangan yangg sistemik, bukan lantaran niat jahat semata, melainkan lantaran negara membiarkan kebijakan melangkah tanpa peta hukum.
Oleh lantaran itu, menyebut MBG sebagai program prematur bukanlah hiperbola. Ia adalah bayi kebijakan yangg lahir tanpa akta kelahiran hukum. Pemerintah tergesa mencanangkannya untuk kepentingan politik dan pencitraan, tetapi lupa menyiapkan fondasi legal yangg menjadi prasyarat akuntabilitas publik. Dalam perspektif keadilan hukum, ini berbahaya: rakyat memang berkuasa mendapat gizi, tapi mereka juga berkuasa atas kepastian norma dalam pengelolaan biaya publik.
Negara norma (rechtsstaat) menuntut kebijakan semestinya lahir dari hukum, bukan dari kehendak politik. MBG boleh bergizi bagi wacana, tapi secara normatif dia malnutrisi. Tanpa dasar norma yangg sah, seluruh operasionalnya berpotensi melanggar prinsip legalitas, akuntabilitas, dan transparansi. Hukum tidak bisa membenarkan kebaikan yangg dijalankan dengan langkah yangg salah. Karena dalam negara hukum, tujuan baik pun kudu melangkah di atas rel norma yangg benar, bukan di atas meja makan politik.
Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
5 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·