Etika Menggunakan AI dalam Bingkai Fikih Informasi - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 hari yang lalu

Etika Menggunakan AI dalam Bingkai Fikih Informasi

Saat ini manusia mulai menyadari bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya makhluk yangg berpikir. Kecerdasan yangg diciptakannya sendiri mulai mempelajari setiap kebiasaan kita di bumi digital. Mesin itu tak punya wajah, tapi tahu banyak perihal tentang wajah manusia.

Kita hidup di masa ketika pemisah antara pembuat dan buatan mulai kabur. Di masa ketika algoritma bisa menulis puisi, memberi nasihat, apalagi menebak isi hati. Sebagian orang menyambutnya dengan takjub, sebagian lain dengan cemas.

Namun di antara keduanya, mungkin yangg paling bijak adalah apa yangg kudu kita lakukan terhadap kepintaran buatan ini agar kita tidak kehilangan kemanusiaan kita sendiri?

Melalui Fikih Informasi, Muhammadiyah telah menyiapkan arah moral untuk era ini, apalagi sebelum kejadian kepintaran buatan meledak. Dokumen tersebut lahir dari Musyawarah Nasional XXX Tarjih di Makassar tahun 2018 dan kemudian ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 2025. Keputusan ini sekarang bertindak sebagai pedoman resmi bagi seluruh penduduk Muhammadiyah.

Meskipun Fikih Informasi belum secara definitif membahas AI, nilai-nilai yangg terkandung di dalamnya tetap relevan. Prinsip-prinsip itu diturunkan dari sumber aliran Islam yangg menuntun umat menghadapi perubahan corak pengetahuan apa pun.

Segalanya berasal dari Ketauhidan. Fikih Informasi menegaskan bahwa pengetahuan, kekuasaan, dan teknologi adalah amanah. Kecerdasan manusia tidak pernah mutlak, dan buatan manusia tidak pernah menjadi tuhan baru. Sebagaimana firman Allah:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS Yūnus [10]: 57)

Ayat ini mengingatkan bahwa semua pengetahuan sejati berasal dari Tuhan. Maka setiap kemajuan yangg lahir dari logika kudu mengembalikan manusia kepada nilai pengabdian, bukan kepada kesombongan.

Dari kesadaran ketuhanan itu tumbuh Akhlak Mulia. Dalam pandangan Islam, adab bukan perhiasan sosial, melainkan fondasi eksistensial. Teknologi bakal meniru apa yangg manusia tanamkan di dalamnya.

Jika manusia memberi nilai kebajikan, teknologi bakal menebarkan manfaat. Jika manusia menanamkan kebohongan, teknologi bakal melipatgandakannya. Sebagaimana pesan Allah kepada orang beriman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Wahai orang-orang yangg beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah berbareng orang-orang yangg jujur.” (QS al-Tawbah [9]: 119)

Dari adab lahirlah kesadaran bakal Keadilan. Dunia digital sering menyembunyikan ketimpangan di kembali nomor dan logika. Keputusan algoritmik dapat memperluas kezaliman tanpa wajah.

Karena itu, manusia perlu berjaga agar teknologi tidak menjadi perpanjangan dari hawa nafsu dan prasangka. Setiap penggunaan kepintaran buatan kudu diarahkan untuk menegakkan keseimbangan dan menjaga martabat semua orang. Al-Qur’an menegaskan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar Anda tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, sehingga Anda menyesal atas perbuatanmu.” (QS al-Ḥujurāt [49]: 6)

Keadilan dalam info berfaedah kehati-hatian. Ayat ini menjadi prinsip etis agar manusia tidak tergelincir dalam keputusan digital yangg menyesatkan dan menimbulkan penyesalan.

Lalu mengalir Amanah. Dunia info dibangun di atas kepercayaan. Mengunggah data, memberi izin akses, alias menyetujui syarat digital berfaedah menyerahkan sebagian diri. Amanah menuntut kehati-hatian agar apa yangg dibagikan tidak berubah menjadi senjata yangg melukai. Menjaga info berfaedah menjaga kehormatan manusia. Sebagaimana firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh Anda menyampaikan petunjuk kepada yangg berkuasa menerimanya.” (QS al-Nisā’ [4]: 58)

Ayat ini menegaskan bahwa amanah tidak berakhir pada lisan, tetapi juga mencakup seluruh corak kepercayaan yangg dipercayakan, termasuk informasi.

Pedoman Praktis

Fikih Informasi mengingatkan satu norma besar: lā ḍarara wa lā ḍirār — jangan menciptakan ancaman dan jangan saling mencelakakan. Etika berhadapan dengan kepintaran buatan menuntut keberanian untuk menahan diri.

Banyak perihal bisa dilakukan dengan teknologi, tetapi tidak semuanya layak dilakukan. Membuat gambar palsu, menyebarkan kebohongan, alias memanipulasi bunyi orang lain hanyalah corak baru dari kezaliman.

Di tengah arus info yangg deras, Fikih Informasi menumbuhkan semangat Tabayyun, kewaspadaan intelektual yangg menjaga manusia agar tidak larut dalam derasnya arus informasi. Kecerdasan buatan bisa menjawab dengan cepat, tetapi tidak mempunyai hati nurani. Al-Qur’an mengingatkan:

هَٰذَا بَيَانٌ لِّلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِّلْمُتَّقِينَ

“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan bagi manusia, petunjuk, dan pelajaran bagi orang-orang yangg bertakwa.” (QS Āli ‘Imrān [3]: 138)

Ayat ini menjadi panggilan agar manusia tetap berpikir jernih, menimbang dengan hati yangg tak dikuasai kecepatan informasi. Tabayyun adalah corak ibadah intelektual yangg menjaga logika agar tidak diperdaya oleh ilusi pengetahuan.

Dan akhirnya, setiap tindakan menuntut Mas’uliyyah, tanggung jawab di hadapan Tuhan. Kecerdasan buatan dapat membantu membikin keputusan, tetapi tanggung jawab atas hasilnya tetap berada di tangan manusia. Tidak ada tempat berlindung di kembali algoritma. Setiap hasil dan akibat bakal tetap ditanyakan kepada manusia yangg menggerakkannya.

Rasulullah bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bakal dimintai pertanggungjawaban atas yangg dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tanggung jawab adalah garis akhir yangg memisahkan manusia dari ciptaannya. Mesin bisa berpikir, tetapi tidak bisa menyesal. Mesin bisa memutuskan, tetapi tidak bisa berdoa. Di situlah letak kemanusiaan yangg sesungguhnya.

Teknologi bakal terus bertambah cerdas, mungkin lebih sigap dan lebih teratur. Namun kepintaran bukan puncak kemanusiaan. Ada wilayah yangg tak bakal pernah dimasuki mesin, ialah keahlian untuk menyesal, berdoa, dan memaafkan. Itulah ruang-ruang spiritual yangg menjaga manusia agar tetap menjadi manusia.

Referensi:

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Informasi”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah Nomor 05/2022-2027/Zulkaidah 1446 H/Mei 2025 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2025.

(muhammadiyah.or.id)

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan