Energi Terbarukan dan Apa yang Seharusnya Muhammadiyah Bisa Lakukan: Sebuah Harapan - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 8 bulan yang lalu

Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi*

Menjelang Konsolidasi Nasional (Konsolnas) Muhammadiyah yangg dilaksanakan di Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta pada tanggal 27-28 Juli 2024 lalu, penduduk Muhammadiyah terpolarisasi ke dalam dua kubu besar; pro tambang dan kontra tambang. Di media sosial X, misalnya, Muhammadiyah sempat menjadi
trending topic gegara rumor mengenai tawaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) ini dari pemerintah.

Saya sendiri termasuk dalam bagian yangg kontra dan mengharapkan Muhammadiyah tidak menerima itu. Bahkan, saya menulis kritik melalui media sosial. Namun, sebagaimana yangg sama-sama telah kita ketahui, akhirnya Muhammadiyah menerima IUP tersebut. Sebagai orang yangg kontra, pilihan Muhammadiyah itu tentu membikin hati cukup kecewa. Akan tetapi, sebagai penduduk Muhammadiyah, ketetapan tersebut perlu kita hargai dan hormati. Meski dalam hati bisa jadi (dan tentu
sah-sah saja) kita tetap berpegang pada apa yangg kita yakini benar.

Sikap saya dan golongan yangg kontra Muhammadiyah menerima IUP sesungguhnya didasari atas rasa kecintaan pada Muhammadiyah, bukan lantaran nyinyir apalagi mau menjatuhkan persyarikatan sendiri. IUP yangg bakal diberikan kepada Muhammadiyah dan ormas-ormas yangg lain kemungkinan besar adalah tambang batu bara
bekas dari perusahaan-perusahaan besar yangg telah “menghisapnya” secara masif.

Dengan kata lain, tambang batu bara yangg ditawarkan kepada Muhammadiyah secara unik dan tambang batu bara secara umum di Indonesia mempunyai problem serius yangg semestinya dapat dihindari oleh Muhammadiyah dan ormas keagamaan lain di Indonesia, agar tidak terjadi mafsadat yangg lebih besar.

Fatwa tarjih Muhammadiyah mengenai Pengelolaan Pertambangan dan Urgensi Transisi Energi Berkeadilan menyebut empat problem utama dari pertambangan batu bara di Indonesia, yaitu: (a) kerusakan lingkungan; (b) izin yangg tidak berasas pada keadilan dan maslahat; (c) pengabaian pada hak-hak masyarakat sekitar
tambang, dan; (d) upaya pertambangan sebagai perangkat politik.

Empat masalah utama ini (dan sangat mungkin bisa lebih dari ini) didasarkan pada info burhani yangg didapatkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah melalui kajian mendalam dengan beragam master di bidang-bidang mengenai dalam sidang fatwa. Oleh lantaran itu, empat problem ini bukan muncul secara tiba-tiba tanpa argumentasi yangg jelas.

Di samping problematika yangg mengitari pertambangan batu bara, dijelaskan juga dalam fatwa tarjih tersebut realitas Indonesia yangg tetap belum bisa lepas secara total dari ketergantungan pada daya fosil ini, seperti penyerapan tenaga kerja yangg cukup besar dalam sektor tambang, belum siapnya Indonesia untuk beranjak total ke daya baru terbarukan, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, fatwa tarjih tersebut sesungguhnya mau secara proporsional dan setara memotret persoalan pertambangan di Indonesia dengan mengemukakan akibat negatif dari pertambangan (khususnya batu bara) beserta tetap adanya kebutuhan atasnya.

Atas dasar itu, spirit dan pesan besar fatwa tersebut sesungguhnya ada dua, yaitu: pertama, kita kudu menghindarkan diri dari pertambangan batu bara yangg jelas-jelas mengandung banyak mafsadat, dan; kedua, mulai beranjak memanfaatkan daya ramah lingkungan alias sebagian orang sering menyebut sebagai daya baru terbarukan (EBT). Jika memang belum dapat sepenuhnya beralih, maka kita bisa memulainya secara berjenjang dan berangsur-angsur (al-tadarruj). Peralihan dari daya fosil kotor ke daya ramah lingkungan memang butuh upaya besar dan berat, dan sangat mungkin bakal menjumpai jalan yangg terjal. Tapi itu bukan berfaedah tidak mungkin untuk dilakukan.

Hijrah Energi

Dalam konteks Islam, transisi alias perubahan/peralihan itu mempunyai akar istilah yangg mapan, ialah hijrah. Makna hijrah secara bahasa antara lain adalah beranjak (al-intiqal), meninggalkan (taraka/sharama), keluar (al-khuruj), menolak (rafadha), dan berpisah (mufaraqah) (Al-Fairūz Ābādī, 2005).

Baca Juga: Gali Ilmu dan Bidaya Negeri Sakura, Spemma Overseas ke Jepang

Menurut sejarah awalnya, hijrah memang merujuk pada satu momen perpindahan alias meninggalkannya Nabi dan umat Islam dari satu tempat (negeri) ke tempat (negeri) yangg lain, ialah dari dār al-kufr menuju dār alīmān; dari Mekkah menuju Madinah. Namun secara substansi, hijrah dapat dimaknai juga sebagai meninggalkan dan menolak sesuatu yangg buruk, seperti kemauan syahwat, adab tercela, dan perbuatan maksiat (Al-Ashfahānī, 1992). Dengan kata lain, hijrah berarti beranjak dari sesuatu yangg jelek ke sesuatu yangg lebih baik.

Hijrah sendiri baru bisa dilaksanakan dengan baik dan betul jika dia diiringi dengan jihad dan ijtihad (Al-Ālūsī, 1994). Kedua kata ini berasal dari akar kata yangg sama, ialah ja-ha-da, yangg berfaedah kekuatan, keahlian (al-thāqah) dan kesukaran alias penderitaan (almasyaqqah).

Menurut al-Ashfahānī, secara kebahasaan, jihad adalah mengerahkan daya upaya untuk melakukan perlawanan, baik kepada musuh, setan, alias nafsu syahwat (yang merusak). Sementara, ijtihad adalah mencurahkan diri untuk mengerahkan energi, kemampuan, dan pikiran serta pada saat yangg sama siap untuk menanggung kesukaran dan penderitaan.

Dari sini, kita dapat mengambil satu ibrah bahwa untuk melakukan hijrah daya alias transisi energi, maka kita memerlukan suatu daya upaya untuk melakukan “perlawanan” serta mengerahkan segala yangg kita miliki dalam rangka beranjak dari suatu daya kotor ke daya yangg bersih. Hal ini sejalan dengan spirit Q.s. al-Baqarah [2]: 218 (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yangg beragama serta orangorang yangg berhijrah dan berjihad (dan berijtihad) di jalan Allah, mereka
itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Jadi, dari sini dapat dipahami bahwa setiap dan segala corak perubahan, peralihan, alias transisi selalu memerlukan effort yangg tidak biasa. Ia kudu bermodalkan keberanian, pencurahan daya upaya (baik berbentuk materi maupun non materi), dan niat yangg tulus.

Islam dan Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Ibrahim Abdul-Matin, seorang aktivis lingkungan muslim, dalam bukunya Green Deen: What Islam Teaches About Protecting the Planet mengklasifikasikan daya menjadi dua, yaitu: daya surga (energy from heaven) dan daya neraka (energy from hell). Apa yangg dimaksud dengan daya neraka, menurutnya, adalah daya yangg diekstrak dari dalam perut bumi, dia berkarakter kotor dan menjadi penyebab utama polusi dan perubahan iklim.

Energi neraka ini merusak dan mengganggu keseimbangan alam (disturbs the balance of the universe), dan oleh karenanya mengakibatkan kezaliman yangg serius (a great injustice). Di antara jenis daya ini adalah minyak bumi dan batu bara. Sedangkan daya surga, menurutnya, adalah daya yangg datang dari atas (comes from above). Maksudnya adalah daya yangg bukan diekstrak dan berasal dari dalam perut bumi dan dia berkarakter terbarukan (renewable).

Bagi Abdul-Matin, setiap daya yangg melalui proses ekstraksi (diekstrak dari dalam perut bumi) pasti bakal menimbulkan ketidakseimbangan (imbalance). Sebaliknya, daya yangg datang dari atas (tidak melalui ekstraksi) bakal menghadirkan keseimbangan dan keadilan. Abdul-Matin ibaratkan dia seperti bingkisan dari surga.

Energi surga yangg hari ini memungkinkan untuk dimanfaatkan, menurut Abdul-Matin, adalah mentari dan angin. Matahari adalah daya yangg sangat melimpah, gratis, dan mungkin tidak ada habisnya. Ia hanya bakal lenyap ketika hariakhir terjadi. Oleh karenanya, mentari sesungguhnya adalah mitra sejati manusia untuk bertumbuh dan hidup berbareng selagi alam ini tetap ada.

Di samping itu, kata mentari (al-syams) sendiri disebut sebanyak 25 kali dalam tempat yangg berbeda dan menjadi salah satu nama surat yangg Allah abadikan dalam al-Quran. Ini menunjukkan bahwa Allah mau memberikan isyarat bahwa ada tanda yangg perlu digali oleh manusia melalui kata al-syams alias matahari.

Salah satu isyarat bahwa mentari itu mempunyai kebermanfaatan yangg potensial untuk manusia secara unik dan alam secara umum digambarkan dalam Q.s. Yunus [10]: 5 yangg artinya, “Dialah yangg menjadikan mentari bercahaya dan bulan bercahaya. Dialah pula yangg menetapkan tempat-tempat orbitnya agar Anda mengetahui bilangan tahun dan kalkulasi (waktu).

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id