Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Abdus Salam, S.Sos., M.Si.
MALANG, PIJARNEWS.ID – Polemik pengelolaan retribusi Pasar Besar Kota Malang sampai saat ini belum juga menemui titik terang. Retribusi yangg telah dibayar rutin oleh para pedagang, rupanya tidak berbanding lurus dengan langkah perbaikan dan pemeliharaan akomodasi yangg telah tersedia.
Kondisi Pasar Besar Malang sendiri memang kian memprihatinkan. Mulai dari penerangan yangg minim, jalan yangg rusak, hingga struktur gedung yangg secara akademis dinyatakan tidak stabil. Maka menjadi perihal yangg lumrah andaikan para pedagang mempertanyakan gimana pengelolaan retribusi Pasar Besar yangg dalam sebulan bisa terkumpul sejumlah Rp.400 juta hingga Rp. 500 juta.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, Himpunan Pedagang Pasar Besar Malang (Hippama) berbareng Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang melayangkan gugatan bernomor 003/III.28/0/2025 ke Bagian Umum Sekretariat Daerah (Setda) Kota Malang pada Senin (25/8/2025).
Langkah norma ini diambil sebagai corak protes keras terhadap pengelolaan retribusi pasar, serta akomodasi pasar yangg dianggap kurang memadai. Adapun terdapat tiga poin pokok yangg dituntut oleh Hippama. Pertama, retribusi yangg dipungut setiap hari dari pedagang adalah amanah, sehingga pemkot wajib memastikan biaya tersebut tidak lenyap tanpa kejelasan.
Selain itu, Hippama juga menuntut adanya transparansi dalam penggunaan biaya retribusi. Dan yangg terakhir, para pedagang berkuasa mendapatkan akomodasi pasar yangg bersih, terang, serta layak digunakan untuk aktivitas perdagangan.
Lebih lanjut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang turut menyoroti adanya selisih antara sasaran dan potensi pendapatan dari sektor retribusi. Potensi retribusi bisa mencapai Rp16,5 miliar, namun sasaran yangg ditetapkan hanya Rp8,5 miliar. DPRD sendiri mendesak perlunya audit retribusi pasar se-Kota Malang untuk mengantisipasi kebocoran pendapatan original wilayah (PAD).
Isu ini tak hanya bisa dilihat dari kacamata ekonomi semata, namun juga dari perspektif sosiologis. Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Abdus Salam, S.Sos., M.Si. mengungkapkan bahwa rumor retribusi pasar merupakan rumor yangg cukup krusial lantaran menjadi salah satu aspek kenyamanan para pedagang dalam menjalankan mata pencahariannya.
“Mengutip teori James Scott, ketidakadilan dan kesenjangan sosial bakal melahirkan aktivitas sosial. Dalam perihal ini pedagang sudah bayar retribusi, tapi mereka ngga tau duit retribusi tadi dikelola seperti apa dan untuk apa. Akhirnya, para pedagang melalukan perlawanan norma lantaran merasa tidak medapatkan keadilan,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa ketidakadilan berpotensi besar melahirkan distrust masyarakat terhadap pemerintahan. Legitimasi jalannya pemerintahan bakal semakin menurun lantaran masyarakat merasa negara tidak hadir.
“Maka percuma mempunyai dinas tetapi tidak bisa memproteksi pelayanan sosial kepada masyarakat,” tegasnya.
Diakhir dia mengingatkan kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan polemik ini dengan bijaksana. Begitupun DPRD mestinya melakukan investigasi dan menguatkan controlling ke dinas terkait. Mengingat jumlah duit yangg dikelola cukup besar dan bersenggolan langsung dengan kelangsungan hidup ribuan pedagang.
“Kita musti ingat pesan Ibnu Khaldun bahwa orang berasosiasi lantaran ada emosi yangg sama, nasib yangg sama. Dan itulah yangg bakal menjadi aktivitas kolektif perlawanan terhadap negara,” katanya.
1 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·