Din Syamsuddin: Umat Islam sebagai Moderating and Mediating Forces - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 hari yang lalu

Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah Islam modern, Din Syamsuddin menempatkan umat Islam tidak sekadar sebagai organisasi religius, melainkan sebagai kekuatan moral yangg berkedudukan menjaga keseimbangan sosial dan peradaban global.

Dalam beragam forum nasional dan internasional, beliau menegaskan bahwa Islam mempunyai mandat peradaban untuk menjadi moderating and mediating forces — kekuatan penyeimbang dan penengah di tengah polarisasi bumi modern yangg sarat dengan ekstremisme, radikalisme, dan materialisme.

Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan dunia yangg menuntut peran aktif umat Islam dalam menegakkan keadilan, memperkuat perdamaian, dan menghadirkan Islam sebagai kekuatan transformasi sosial yangg berkeadaban.

Hakikat Eksistensial Umat Islam

Menurut Din Syamsuddin, umat Islam secara ontologis mempunyai posisi sebagai ummatan wasaṭan (umat pertengahan) sebagaimana disebut dalam QS. al-Baqarah [2]:143. Konsep wasathiyyah tidak hanya berarti moderasi dalam beragama, tetapi juga keseimbangan antara spiritualitas dan rasionalitas, antara nilai-nilai langit dan realitas bumi.

Eksistensi umat Islam dengan demikian bukan sekadar kuantitatif, melainkan normatif: membawa tanggung jawab moral, intelektual, dan aktivitas keadaban untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-‘ālamīn).

Bagi Din Syamsuddin, umat sejati adalah yangg bisa menegakkan keseimbangan, menolak ekstremitas, dan menampilkan wajah Islam yangg rasional, humanis, dan berkeadaban. Di sinilah peran Islam sebagai moderating and mediating forces menemukan injakan teologis, paradigmatis dan moralnya.

Sejarah Pergolakan Pemikiran Umat Islam dalam Realitas Publik

Sejarah pemikiran Islam menunjukkan dinamika antara dua kutub ekstrem: puritanisme dan liberalisme. Keduanya muncul sebagai respons terhadap tantangan zaman, tetapi sering melahirkan polarisasi pemikiran dan fragmentasi sosial.

Dalam konteks Indonesia, pasca-reformasi, dinamika ini tampak dalam tumbukan ideologis antara golongan konservatif, progresif, dan sekuler. Din Syamsuddin menegaskan bahwa situasi ini hanya dapat diatasi jika umat Islam kembali pada nilai tawassuṭ (keseimbangan), tawāzun (keadilan), dan i‘tidāl (moderasi).

Dalam lintasan sejarah, umat Islam telah memainkan peran penengah sekaligus penyaksi. Nabi Muhammad SAW menjadi mediator antara suku Aus dan Khazraj di Madinah. Di Nusantara, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berkedudukan sebagai kekuatan penyeimbang dalam menjaga integritas bangsa dan menolak politik identitas destruktif.

Din Syamsuddin memandang sejarah ini sebagai modal sosial, intelektual, dan spiritual yangg kudu diaktualisasikan untuk membangun peradaban tenteram dan berkeadilan.

Potensial Historis Umat Islam sebagai Penengah dan Penyaksi

Din Syamsuddin menilai umat Islam mempunyai tiga potensi utama sebagai kekuatan penengah dan penyaksi (moderating and mediating forces):

1. Potensi Teologis: aliran Islam yangg berasal dari al-Qur’an dan Sunnah menegaskan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan keseimbangan. Prinsip ishlāh (perdamaian), ‘adl (keadilan), dan ta‘āwun (kerjasama) menjadi fondasi etika sosial Islam.

2. Potensi Kultural: Islam Indonesia berkarakter inklusif dan berakulturasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan kemurnian aqidah, menghasilkan corak Islam yangg ramah, moderat, dan adaptif terhadap kemajuan zaman.

3. Potensi Struktural: lembaga Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan MUI menjadi wadah kelembagaan yangg mengartikulasikan nilai moderasi dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan politik kebangsaan.

Umat Islam, bagi Din Syamsuddin, kudu menjadi kekuatan proaktif, bukan reaktif. Islam kudu menjadi penggerak perdamaian melalui perbincangan kebangsaan, kerja sama lintas iman, dan tindakan kemanusiaan lintas bangsa.

Peran Global Din Syamsuddin: WPF, CDCC, dan WCRP

Dalam pentas global, Din Syamsuddin tidak berakhir pada tataran gagasan. Ia mempraktikkan diplomasi lintas kepercayaan dan peradaban melalui beragam forum internasional.

1. World Peace Forum (WPF)

Tahun 2025, WPF yangg ke-9 diselenggarakan pada November. Bi-Annual Forum ini pada tahun 2025 bertajuk: “Considering Wasatiyat Islam and Tionghua for Global Collaboration”. Kenapa Tionghoa, lantaran filosofi makna Tionghua serupa dengan wasatiyat Islam.

Din Syamsuddin menggagas dan menginisiasi World Peace Forum (WPF) pertama kali pada tahun 2006, di Jakarta — sebuah forum internasional yangg mempertemukan pemimpin agama, akademisi, dan pegiat perdamaian dari beragam negara untuk membangun tatanan bumi yangg tenteram berasas nilai moral dan spiritual.

WPF digagas berbareng Cheng Ho Multi Culture & Education Trust (Malaysia) dan Centre for Dialogue and Cooperation amongst Civilisations (CDCC), lembaga yangg juga dipimpin oleh Din Syamsuddin.

Melalui CDCC, beliau menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya dapat dicapai melalui dialogue, mutual understanding, and shared ethics. CDCC menjadi platform perbincangan antaragama dan antarperadaban yangg menegaskan peran kepercayaan sebagai sumber rekonsiliasi, bukan perpecahan.

WPF telah menghasilkan beragam Jakarta Declarations yangg menyerukan penghentian kekerasan atas nama kepercayaan dan penguatan solidaritas dunia berbasis nilai kemanusiaan universal.

2. World Conference on Religions and Peace (WCRP)

Selain itu, M. Din Syamsuddin juga menjabat sebagai Presiden World Conference on Religions and Peace (WCRP), sebuah organisasi lintas kepercayaan bumi yangg berkantor pusat di New York dan beranggotakan lebih dari 70 negara. Dalam kapabilitas ini, beliau mempromosikan diplomasi kepercayaan (religious diplomacy) sebagai sarana memperkuat perdamaian dunia dan mencegah bentrok antarkelompok.

Salah satu pendapat krusial beliau dalam forum WCRP adalah bahwa bentrok kepercayaan bukanlah akibat aliran kepercayaan itu sendiri, tetapi berasal dari kepentingan ekonomi dan politik yangg memanipulasi sentimen keagamaan.

Menurut Din Syamsuddin, agama-agama secara teologis membawa pesan kasih sayang, keadilan, dan perdamaian. Namun, ketika nilai-nilai kepercayaan diselewengkan demi kepentingan duniawi, lahirlah bentrok dan kekerasan yangg justru menodai kesucian kepercayaan itu sendiri.

Melalui pendekatan ini, Din Syamsuddin berupaya membangun kesadaran dunia bahwa penyelesaian bentrok bumi memerlukan pendekatan moral dan spiritual, bukan sekadar solusi politik pragmatis. Ia menempatkan kepercayaan sebagai sumber daya moral bagi rekonsiliasi kemanusiaan global.

Penutup: Gerakan Sinergis dan Kolaboratif

Oleh lantaran itu bagi Din Syamsuddin, masa depan peradaban Islam berjuntai pada keahlian umat Islam untuk bersinergi dan bekerja-sama antara pemikiran, pendidikan, dan praksis sosial. Moderating and mediating forces bukan sekadar jargon, tetapi orientasi peradaban yangg menuntut kerja intelektual, spiritual, dan sosial secara berimbang.

Gerakan moderasi ini kudu dimulai dari internal umat Islam — memperkuat akhlak, menghidupkan budaya dialog, dan membangun solidaritas kemanusiaan — hingga meluas ke tingkat dunia melalui diplomasi lintas peradaban.

Dengan pendekatan seperti itu, Islam tampil bukan sebagai kekuatan yangg menakutkan, melainkan sebagai kekuatan yangg menyejukkan, mempersatukan, dan memediasi.

Gagasan Din Syamsuddin menjembatani antara teologi Islam, etika sosial, dan politik global; menjadikan Islam sebagai kepercayaan peradaban yangg membawa sinar keadilan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id