Oleh: Suko Wahyudi*
Di tengah gegap gempita bumi pengetahuan dan teknologi, kita hidup dalam era yangg aneh: semakin banyak orang pandai, semakin langka kebijaksanaan.
Gelar akademik bertambah, seminar berlimpah, tesis dan jurnal bertumpuk, tetapi kejujuran intelektual justru menipis. Cendekiawan, yangg semestinya menjadi penuntun moral dan penjaga nurani publik, sekarang sering terjebak dalam kepentingan praktis dan pencitraan pribadi.
Kaum intelek dulu dihormati lantaran kata-katanya meneduhkan dan tindakannya menuntun. Mereka bicara setelah berpikir, dan berpikir setelah merenung. Kini, banyak yangg berbincang sebelum memahami, beranggapan tanpa membaca, berdebat tanpa arah.
Akal digunakan bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk memenangkan perdebatan. Gelar dan pengetahuan jadi perhiasan status, bukan tanggung jawab moral.
Krisis kebijaksanaan ini menjelma dalam banyak bentuk. Di kampus, plagiarisme dilakukan dengan enteng, apalagi dilegalkan lewat pembenaran administratif. Di ruang publik, intelektual tampil sebagai penggiring opini, menjadi cerobong kepentingan politik, bukan bunyi kebenaran.
Ilmu pengetahuan, yangg semestinya membebaskan manusia dari kegelapan, justru digunakan untuk memperkuat tirani wacana dan memperhalus kebohongan.
Ilmu yangg Kehilangan Nurani
Cendekia sejati bukan hanya yangg pandai berpikir, tetapi yangg hatinya bening dan integritasnya tegak. Ia tahu bahwa pengetahuan tanpa nurani adalah kehampaan. Tetapi kini, banyak yangg mabuk oleh kepalsuan intelektual, mengutip tanpa memahami, menulis tanpa kesadaran, dan berbincang tanpa tanggung jawab. Mereka meminjam nama pengetahuan untuk menjustifikasi kepentingan pribadi.
Fenomena ini sesungguhnya adalah indikasi pergeseran orientasi pengetahuan. Ketika ilmu
dipisahkan dari etika, dia kehilangan daya pencerahannya. Ilmu menjadi alat, bukan nilai. Tujuannya bergeser dari pencerahan menjadi pencitraan.
Baca Juga: Kemerdekaan Guru sebagai Fondasi Pendidikan Merdeka
Pengetahuan tidak lagi menjadi jalan menuju kebenaran, melainkan sarana untuk mendapatkan pengakuan. Maka, muncullah apa yangg dapat disebut sebagai “intelektualisme semu”, tampak pandai di luar, kosong di dalam.
Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas: “Perumpamaan orang-orang yangg dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yangg membawa kitab-kitab yangg tebal.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 5)
Ayat ini relevan bagi setiap zaman. Pengetahuan yangg tidak dihayati dan tidak diamalkan, hanyalah beban yangg disandang tanpa makna. Banyak di antara kita yangg membawa setumpuk teori, tapi kehilangan kebijaksanaan untuk menggunakannya dengan benar. Kebijaksanaan sejati tumbuh dari kesadaran bahwa pengetahuan bukan tujuan, melainkan jalan. Jalan menuju pengabdian, jalan menuju kemanusiaan.
Cendekiawan yangg bijak tahu bahwa setiap
kata yangg diucapkannya adalah tanggung jawab moral. Ia tidak memanipulasi info demi
memihak yangg berkuasa, tidak menutup mata terhadap ketidakejujuran yangg menguntungkan,
dan tidak menjual prinsip demi kenyamanan.
Mengembalikan Akal pada Kejujuran
Sayangnya, dalam kultur akademik dan sosial kita, intelektualitas sering lebih dihargai dari pada integritas. Gelar lebih dipuja daripada kejujuran. Diskusi lebih ramai daripada kerja nyata. Kita mengidolakan kepintaran logika, tapi melupakan kepintaran hati. Akibatnya, lahirlah generasi pandai yangg kehilangan arah moral.
Cendekia yangg tak lagi bijak adalah cermin dari krisis lebih besar: krisis kemanusiaan dalam bumi berpikir. Mereka yangg semestinya menuntun justru tersesat di antara pujian dan kepentingan. Mereka menguasai teori etika, tapi gagap ketika kudu mempraktikkannya. Mereka fasih berbincang tentang kebenaran, tapi takut menyampaikannya jika menakut-nakuti posisi.
Ilmu tanpa kebijaksanaan bakal melahirkan kesombongan. Dan kesombongan adalah musuh utama pengetahuan. Ketika seorang intelek merasa dirinya paling benar, dia berakhir belajar.
Ia kehilangan keahlian untuk mendengar dan merenung. Ia menilai orang lain dari logika, bukan dari kemanusiaan. Dari sinilah muncul arogansi intelektual, keangkuhan yangg menutup pintu kebenaran itu sendiri.
Sudah saatnya kita mengembalikan makna intelektual pada akar moralnya. Ilmu kudu kembali berpihak pada kejujuran dan kemaslahatan manusia. Kampus bukan sekadar pabrik gelar, tetapi taman kebijaksanaan. Diskusi akademik kudu menjadi ruang pencarian makna, bukan arena pengukuhan ego.
Cendekia yangg bijak bukanlah yangg paling banyak bicara, melainkan yangg paling berhati-hati dalam berbicara. Ia tidak tergesa menghakimi, tidak mudah menyalahkan, dan tidak sigap membenarkan diri. Ia sadar bahwa setiap pengetahuan membawa akibat moral.
Mencari Cendekia yangg Bijaksana
Kita memerlukan lebih banyak intelek yangg berani jujur, bukan hanya yangg cerdas. Berani berbicara benar, meski berisiko tidak populer. Berani bersikap adil, meski kudu kehilangan posisi. Karena sesungguhnya, ukuran kebijaksanaan bukan terletak pada berapa banyak yangg diketahui, tetapi seberapa dalam dia mengerti makna kebenaran dan keberanian untuk memperjuangkannya.
Jika bumi intelektual kehilangan kebijaksanaan, maka masyarakat bakal kehilangan arah. Ilmu tanpa adab hanya bakal melahirkan generasi yangg pandai menipu diri.
Sudah saatnya kita kembali belajar menjadi manusia, berpikir dengan akal, tapi juga merasakan dengan hati. Sebab di situlah letak sejati kebijaksanaan: ketika kepintaran melangkah seiring dengan kejujuran, dan pengetahuan berpadu dengan kemanusiaan.
*Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta
English (US) ·
Indonesian (ID) ·