Cara Membangkitkan Kembali Umat Islam di Indonesia - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Nama Kuntowijoyo telah dikenal sebagai sastrawan, novelis, sejarawan sekaligus pembimbing besar Ilmu Sejarah UGM. Hal itu tak lepas dari beragam karya yangg telah dia tulis, antara lain: Budaya Dan Manusia (1987), Radikalisasi Petani (1994), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), Islam Sebagai Ilmu (2004), dll. Adapun karya sastranya antara lain Khutbah di Atas Bukit (1976), Mantra Penjinak Ular (2000), Wasripin & Satinah (2003), dan lain-lain.

Dalam kitab yangg berjudul Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia ini, Kuntowijoyo datang sebagai sosok Cendekiawan Muslim dengan corak pemikiran yangg khas: modernis dan purifikatif. Melalui refleksi atas tinjauan sejarah, Kuntowijoyo memberikan rumusan dan formulasi gimana umat Islam Indonesia menghadapi tantangan era modern hari ini.

Periodisasi Kesadaran Umat Islam di Indonesia

Umat Islam Indonesia dalam pandangan Kuntowijoyo mempunyai kesadaran yangg silih berganti. Kesadaran tersebut di-periodisasi-kan berasas sosiologi pengetahuan. Dimana secara kronologis terdapat tiga kesadaran umat Islam Indonesia.

Pertama, kesadaran mistis-religius. Pada masa ini, hubungan antara pemimpin dan rakyat secara konteks politik adalah kawula-gusti. Dimana mereka menganggap Raja adalah wakil yangg sah atas cita-cita ketuhanan. Masyarakat juga tetap percaya mitos datangnya Ratu Adil, sosok pemimpin yangg diharapkan bisa mengentaskan dari kesengsaraan.

Corak aktivitas pada masa ini tetap mengelompok di belakang sosok-sosok kharismatik. Karena dengan itu, aktivitas rakyat tetap dalam ikatan-ikatan mini yangg berkarakter lokal.

Kedua, kesadaran ideologis. Masyarakat dalam konteks politiknya beranjak dari kawula menjadi wong cilik. Ini lebih baik dari periode sebelumnya, lantaran hubungan penguasa dengan wong cilik lebih berkarakter horizontal. Hirarki masyarakat berasas status sosial seiring munculnya kelas-kelas menengah baru: petani, buruh, pedagang, dan lain-lain.

Disebut dengan periode ideologis lantaran corak gerakannya berasas ideologi-ideologi, sebagaimana munculnya komunisme, marhaenisme, pan-islamisme. Masyarakat sudah mengelompok di belakang pemimpin-pemimpin yangg lebih logis dengan cakupan yangg lebih luas.

Pada periode ketiga adalah periode saat ini, periode ide. Di era modern ini, sudah bukan lagi waktunya meletakkan Islam sebagai ideologi belaka. Islam kudu diletakkan sebagai ide, sebagai ilmu: sebagai pemecah persoalan umat Islam dewasa ini.

Periode Mistis-Religius

Dalam pandangan Kuntowijoyo, kejatuhan Islam di Indonesia adalah pada masa-masa awal penyebarannya. Ia menyebut Islam ‘di-petani-kan’, ‘di-desa-kan’: dari yangg semula budaya kosmopolitan, menjadi budaya lokal; dari yangg berkarakter mobil (bergerak), menjadi statis.

Menurutnya, Islam identik dengan budaya kota, sebagaimana pola persebaran Islam di Timur Tengah adalah di kota-kota. Adapun sifat mobilitas tersebut identik dengan kaum pedagang; yangg tentunya melalui perdagangan, umat Islam mendapatkan kontak budaya dengan bangsa-bangsa lain.

Bahkan ketika masuk di Indonesia, jalur perdagangan tak lepas dari proses Islamisasi Nusantara. pelabuhan-pelabuhan menjadi pusat-pusat strategis kontak antar budaya yangg dibawa oleh pedagang di seluruh dunia.

Namun menurut Kuntowijoyo, ketika pesisir mulai dikuasai oleh penguasa lokal, dakwah Islam beranjak dari pesisir ke pedalaman, dari kota ke desa; yangg erat dengan budaya agraris. Sehingga dari situ, Islam di-desa-kan, di-petani-kan.

Adapun pandangan sebelah mata Kuntowijoyo terhadap budaya agraris dengan argumen masyarakat agraris mempunyai langkah berpikir yangg statis. Dalam artian, langkah berpikir yangg ditentukan oleh situasi ekologisnya, seperti cuaca, musim, tanah, dsb. Adapun mitologi dan mistifikasi erat dengan kebudayaan agraris; sehingga Islam berbaur dengan unsur mitologi.

Namun irit saya, justru Islam bisa berkembang di Nusantara lantaran ada hubungan yangg komunikatif dengan masyarakat agraris; yangg merupakan mata pencaharian kebanyakan masyarakat pada saat itu—bahkan sampai saat ini. Sehingga tidak tepat andaikan dikatakan sebagai penyebab kejatuhan Islam di Indonesia.

Adapun mendikotomikan pesisir dan pedalaman sebagai sesuatu yangg berhadap-hadapan, menurut saya juga mungkin kurang tepat. Karena budaya-budaya lokal di pesisir juga tak kalah lekatnya dengan di pedalaman: sebagaimana adanya ritual-ritual tertentu yangg dilakukan di waktu tertentu, seperti larung sesaji, larung sembonyo, untuk menyebut beberapa.

Adapun yangg narasi besar yangg dimaksud Kuntowijoyo adalah langkah pandang yangg mistis, yangg irasional, menjadikan Islam mengalami kemunduran, jika dilihat pada era ini. Sehingga untuk menyongsong masa depan umat Islam di Indonesia, sudah peralatan tentu langkah berpikir yangg demikian tersebut ditinggalkan.

Periode Ideologis

Secara garis besar, Kuntowijoyo memberi batas periode ini mulai tahun 1900—1945. Karena memang pada tahun-tahun tersebut mulai muncul ideologi-ideologi besar, seperti nasionalisme, komunisme, pan-islamisme, dan ideologi-ideologi yangg menantang kolonialisme dan penindasan rakyat.

Corak pergerakan juga sudah mulai berubah; dari yangg semula lokal, perlahan menjadi nasional. Terlebih ketika munculnya organisasi-organisasi, seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, dsb. yangg menjadikan Islam sebagai ideologi perjuangan.

Cara pandang yangg mulai logis umat Islam, berkembang pada kurun waktu ini. Menurut Kuntowijoyo, Sarekat Islam mempunyai corak aktivitas yangg berkarakter integrasionis dan sistemik. Integrasionis maksudnya bersatunya perjuangan Islam dan bangsa; dan sistemik, yangg melakukan pendekatan pada masalah-masalah sosial secara menyeluruh.

Meskipun demikian, SI pada akhirnya kudu tercerai-berai atas beberapa masalah. Menurut Kuntowijoyo, SI pada saat itu belum memperkenankan analisa kelas sosial, pemihakan kelas, dan kritik sosial.

Sehingga SI terpecah menjadi golongan: integrasionis (SI Merah) dan isolasionis (SI Putih). Dalam perihal ini, konsep umat dan non-umat muncul dari kalangan SI Putih untuk mengidentifikasi golongannya.

Periode Zaman Ide

Islam kudu tampil sebagai pemecah persoalan sosial: dengan langkah merumuskan kembali aspek normatif dari Islam ke dalam teori-teori sosial. Dalil-dalil Islam kudu diterjemahkan konteks yangg lebih konkret, yangg lebih dekat dengan permasalahan-permasalahan manusia.

Pada periode ide, corak pergerakan pada era ideologi sudah peralatan tentu tetap relevan: integrasionis dan sistemik. Perjuangan Islam kudu menyatu dengan perjuangan bangsa; dan dalam menjalankan aktivitas yangg sistemik ini, perlu adanya pemimpin di pada setiap sub-sistem yangg ada. Sehingga tidak perlu adanya pemimpin tunggal, melainkan banyak pemimpin untuk banyak permasalahan.

Adapun menurut Kuntowijoyo, umat Islam kudu mengembalikan kembali kebudayaan Islam yangg berkarakter logis dan kosmopolitan. Kosmpolitan di sini jika diperinci menjadi terbuka dan otentik.

Terbuka dalam makna meminjam dan mengambil konsep-konsep di luar Islam; dengan tetap mempunyai karakter unik yangg tak pudar dari Islam itu sendiri (otentik). Kosmopolitan tersebut guna mendapatkan langkah pandang baru dari luar Islam dalam kaitannya pemecahan masalah sosial.

Kuntowijoyo mencontohkan perihal demikian itu sebagaimana pengetahuan kedokteran dan matematika yangg diambil dari India, logika dan makulat dari Yunani, manajemen dari Persia, dan sebagainya. yangg kemudian dengan itu muncullah makulat Islam, kesenian Islam, arsitektur Islam, dan lain-lain.

Melalui cara-cara tersebut, kebangkitan umat Islam di Indonesia bisa diusahakan. Sehingga sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo, “Islam mewarisi peradaban dunia, sekaligus mewariskan dirinya kepada peradaban dunia”.

Turut pula digarisbawahi, bahwa aspek lokalitas dari keindonesiaan kita juga bagian dari dunia. Barangkali, Islam dan budaya lokal tidak selalu merupakan kemunduran bagi Islam; melainkan sebuah sumbangan kebudayaan dari luar Islam itu sendiri.

Maka irit saya, bukan tidak mungkin jika Islam dengan aspek lokalitas dan kebudayaan kita sebagai masyarakat Indonesia turut dalam membangun kemajuan Islam di Indonesia, sesuai dengan corak kebermasyarakatan kita.

Biodata Buku

Judul                    : Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia

Penulis                 : Kuntowijoyo

Jumlah Halaman : x + 203 hlm

Penerbit               : IRCiSoD

Tahun terbit         : 2017

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id