Cabut Izin Pesantren, Upaya Kemenag Tangani Kasus Cabul di Pesantren - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

IBTimes.ID – Tindak kekerasan seksual kembali terjadi di pesantren. Pimpinan Pesantren Al-Minhaj, di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Wildan Mashuri diduga melakukan cabul terhadap lebih dari 15 santrinya dalam rentang beberapa tahun. Terduga pelaku sekarang sudah diamankan pihak kepolisian.

“Kami mendukung penuh penegakan norma yangg dilakukan. Setiap tindak pidana, siapa pun pelakunya, serta kapan dan di manapun kejadiannya, kudu ditindak tegas,” ujar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur di Jakarta, Rabu (12/4/2023).

“Oleh karena itu, izin pesantren bakal dicabut atas tindakan pencabulan yangg dilakukan ketua Ponpes. Jelas ini tindakan pidana, perbuatan tidak terpuji, mencoreng marwah Ponpes secara keseluruhan, dan menyebabkan akibat luar biasa bagi korban,” tandasnya.

Pendampingan terhadap para santri juga dilakukan, kata Waryono, untuk memastikan mereka dapat melanjutkan pendidikannya. Sebab, meski izin pesantrennya dicabut, kewenangan pendidikan para santri kudu dilindungi.

“Kami juga memberi perhatian pada kelanjutan pendidikan para santri. Mereka kudu terus belajar. Kita berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Tengah dan sejumlah pesantren lainnya,” sebut Waryono.

Waryono menjelaskan, Kementerian Agama juga bersinergi dengan kementerian dan lembaga mengenai lainnya dalam penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Lembaga mengenai itu misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan pihak kepolisian.

Menurutnya, proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak stakeholders. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan. Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu gimana masa depan pendidikannya? Kalau korban mengandung dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa?

“Ini semua kudu dipikir. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu dipikirkan nasib korbannya seperti apa. Nah, untuk itu kita libatkan Dinas Sosial,” jelasnya.

“Jadi kita juga kudu melindungi korbannya, terutama anak-anak dan perempuan. Dan, penanganannya juga kudu komprehensif,” tandasnya.

Ditambahkan Waryono, Kementerian Agama juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif agar peristiwa yangg sama tidak terulang. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak. “Kami punya kitab pedoman pesantren ramah anak. Ini kami sosialisasikan,” ucapnya.

Kemenag, kata Waryono, juga terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustaz. Sehingga, santri kudu diperlakukan seperti anak sendiri.

“Artinya, santri kudu mendapatkan perlindungan dan pembelajaran. Kalau sakit, diobati. (santri) Tidak boleh mendapatkan kekerasan. Ini terus kami komunikasikan dan sosialisasikan,” jelas Waryono.

Proses sosialisasi ini terus melangkah secara bertahap. Sebab, jumlah pesantren memang sangat banyak, lebih 37 ribu yangg terdaftar di Kemenag. Sosialisasi disampaikan kepada para Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kanwil Kemenag Provinsi yangg bekerja dalam pembinaan pesantren. Sosialisasi juga diberikan kepada perwakilan pesantren, baik melalui forum dalam jaringan (daring) alias luar jaringan (luring).

“Kami sampaikan bahwa pengasuh pesantren kudu membaca izin mengenai perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, saya menyebutnya izin itu sebagai “kitab kuning baru”. UU perlindungan anak dan wanita agar menjadi pedoman pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.

“Jadi, pesantren tidak hanya membaca kitab kuning (keagamaan) an sich, tapi juga kitab kuning dalam corak izin yangg bertindak di Indonesia,” sambungnya.

Kemenag sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Regulasi ini antara lain mengatur masalah pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini mendorong lembaga pendidikan kepercayaan untuk membikin satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

Terkait penanganan, izin ini mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag bakal bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis. Diatur juga sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban. Para korban kudu diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Terkait pelaku kekerasan seksual, Waryono menjelaskan bahwa izin mengatur tentang hukuman dalam corak administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku diserahkan ke penegak hukum. “Kalau administratif bisa berupa pemecatan,” kata Waryono.

“Regulasi juga mengatur bahwa pelaku kudu bayar tukar rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban,” katanya lagi.

Sebagai tindak lanjut dari PMA 73 tahun 2022, Kemenag saat ini tengah melakukan finalisasi Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang Panduan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. KMA ini diperlukan sebagai izin teknis yangg bakal mengatur langkah dan upaya pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan bimbingan Kemenag.

“Kekerasan seksual adalah perbuatan yangg bertentangan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Karenanya, praktik kekerasan dalam corak apa pun tidak boleh terjadi lagi,” tandasnya.

(Yusuf)

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id