IBTimes.ID – Salah satu rumor yangg menjadi perhatian Buya Syafii Maarif adalah rumor kesetaraan antara laki-laki dan wanita yangg lebih dikenal dengan istilah kesetaraan gender. Masalah ketimpangan dan kedudukan wanita dan laki-laki selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dikarenakan wanita tetap mempunyai kesempatan terbatas dibandingkan dengan laki-laki untuk berkedudukan aktif dalam beragam program dan aktivitas lainnya di masyarakat, seperti aktivitas ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, organisasi dalam kelembagaan, dan sebagainya.
Dalam rangka mensyukuri dua dekade, MAARIF Institute bekerjasama dengan Institute Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado, dan Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif, menggelar aktivitas Tadarus Ramadhan dengan tema, “Memaknai Kemanusiaan nan Setara dalam perspektif Buya Ahmad Syafii Maarif”. Sejumlah narasumber datang dalam aktivitas ini, di antaranya Lidya Kandowangko (Dosen Sosiologi Agama IAKN Manado), Nedine Sulu (AMAN), Rohit Manesse (Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif). Acara yangg dihadiri tidak kurang dari 100 orang peserta ini dimoderatori oleh Deni Murdiani (Staf Program MAARIF Institute).
Deni Murdiani, selaku pemandu aktivitas ini, mengatakan bahwa aktivitas ini bermaksud untuk mengkampanyekan pemikiran Buya Syafii Maarif, di kalangan generasi muda, khususnya dan masyarakat pada umumnya. Deni, menegaskan bahwa beragam pemikiran Buya Syafii mengenai isu-isu keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan merupakan khazanah intelektual yangg sangat berharga, yangg kudu diwarisi dan menjadi virus positif bagi kalangan generasi muda.
Direktur Program MAARIF Institute, Moh. Shofan, mengatakan bahwa rumor kesetaraan menjadi salah satu yangg menyita perhatian Buya Syafii Maarif. Menurut Shofan, sedikitnya Buya Syafii dalam membahas masalah wanita dan ketimpangan gender, kerap menjadi sasaran kritik beragam pihak. Karena itu, dalam jenis revisi kitab “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”, Buya Syafii menulis satu bab mengenai wanita dalam pandangan Islam.
Dalam pemaparannya, Lidya, mengatakan bahwa menjadi seorang tokoh bangsa, seperti Buya Syafii tidaklah mudah. Buya bisa melahirkan pemikiran-pemikiran pembaruan dalam menyongsong kemajuan bangsa. Keberpihakan Buya Syafii terhadap agenda kesetaraan telah tampak dalam penolakannya terhadap praktik poligami yangg sejak dulu telah dipraktekkan oleh masyarakat Sumpur Kudus tanah kelahirannya. Permasalahan ini menjadi kegelisahan Buya Syafii sepanjang karir intelektualnya.
Sementara Rohit Manesse, dalam paparannya mengatakan bahwa kita kudu bisa mendialogkan pemikiran kesetaraan kelamin Buya Syafii, dalam mengkontekstualisasikan aliran Islam di Indonesia. Menurutnya, perihal ini penting, agar obrolan tentang aliran kepercayaan tidak berada di menara langit, tetapi bisa ‘membumi’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia. “Dalam pandangan Buya Syafii, wanita mempunyai kemerdekaan untuk meraih hal-hal yangg setara dengan laki-laki dalam ruang-ruang publik. Buya percaya bahwa prinsip kesetaraan kelamin mendapatkan legitimasi dari Al-Quran”, tegasnya.
Hal yangg sama juga dikatakan oleh Nedine Sulu, bahwa buah dari pemikiran Buya Syafii mengenai kerakyatan salah satunya adalah kesetaraan gender. “Saya memandang pembelaan Buya terhadap eksistensi perempuan bukan sekadar pembelaan kepada jenis kelamin, melainkan pembelaan kepada wanita sebagai manusia dan hamba Tuhan” jelasnya.
(Soleh)
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·