Buya Syafii: Agama dan Kebhinekaan untuk Kemanusiaan Universal - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Telah menjadi satu perihal nan niscaya bahwa kepercayaan dan kebhinekaan saling berkait-berkelindan, dan bukannya saling menegasikan. Buya Syafii menyebut bahwa kepercayaan dan kebhinekaan kudu dibaca dalam satu tarikan napas. Tulisan ini bermaksud menggali kembali pikiran Buya Syafii meski tubuhnya telah terkubur ke dalam bumi.

Perbedaan Sebagai Rahmat

Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan tokoh nan cukup lantang berbincang soal kebhinekaan. Sesanti nan mengakui keragaman dan perbedaan masyarakat Indonesia, sekaligus merangkul perbedaan itu dalam bingkai persatuan. Buya meyakini bahwa sejatinya perbedaan adalah rahmat dari Tuhan nan mesti disyukuri. Salah satu corak syukur itu adalah mengelola perbedaan menjadi kekuatan, menghindari perpecahan.

Bukankah Tuhan telah memerintahkan manusia untuk saling mengenal lantaran argumen perbedaan itu sendiri? (QS. 49: 13). Aristoteles, seorang mahir pikir Yunani antik menyebut manusia sebagai zoon politicon. Bahwa manusia mempunyai sifat dasar alamiah untuk berbaur dan berkumpul dengan sesamanya. Berangkat dari pendapat tersebut, baik dari perspektif teologis maupun filosofis sama-sama menguatkan kepercayaan bahwa manusia memang dituntut untuk berkumpul, bersyarikat, dan bermasyarakat tanpa mempersoalkan latar belakang keyakinan, suku, keturunan maupun golongan politik.

Akan tetapi nan disebut terakhir, ialah golongan politik adalah nan paling susah untuk dikontrol dan sering kali memicu ketegangan di masyarakat. Buya Syafii sendiri mempertanyakan, dapatkah dakwah sebagai misi kepercayaan nan penuh dengan pesan-pesan kedamaian dipertautkan dengan politik nan sarat dengan bentrok kepentingan?

Dalam salah satu catatannya berjudul Dakwah dan Politik: Mungkinkah Diintegrasikan? Buya menulis; “Dakwah mau mempersatukan umat manusia, sementara politik menciptakan polarisasi kawan dan lawan, demi kepentingan jangka pendek” (2019: 147).

Polarisasi Mengancam Kebhinekaan

Di Kompas (26/01/2023), Ulil Abshar-Abdalla menengarai bahwa terdapat dua jenis polarisasi alias pengutuban politik. Pertama, pengutuban alamiah nan disebabkan oleh keragaman golongan politik dan merupakan sebuah kewajaran. Kedua, pengutuban nan berujung pada antagonisme sosial. Ini tidak lain dipicu oleh dinamika sosio-politik tertentu nan juga memerlukan pelbagai kajian untuk mendeteksi kemungkinan penyebabnya.

Pengutuban politik jenis kedua, menurut Buya Syafii tidak bakal pernah dapat diintegrasikan dengan dakwah. Satu-satunya jalan untuk mendamaikan kedua sistem nilai itu (politik dan agama) adalah jika mana kita mau meningkatkan persepsi kita tentang makna kehidupan nan dibantu dengan supra-akal berupa wahyu (2019: 148).

Itu berarti, mau tidak mau aktivitas politik mesti diorientasikan kepada tujuan-tujuan dakwah. Dengan begitu, politik sebagai kendaraan bakal tunduk pada ketentuan-ketentuan moral nan telah digariskan oleh agama. Sampai di sini, masalah polarisasi bukan sudah selesai. Sebab kendati kepercayaan dan politik telah terintegrasi, tafsir soal keberagmaan sendiri punya sejarah panjang nan justru telah mengkotak-kotakan penganut kepercayaan menjadi beberapa golongan.

Politik dan Tafsir Keberagamaan

Pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. Sang penuntun moral umat manusia, sahabat dituntut untuk melakukan ijtihad mengenai tafsir keberagamaan nan relevan dengan kondisi saat itu. Sayangnya, tidak satu pun di antara mereka nan se-iya sekata dalam berijtihad mana kala bersenggolan dengan politik.

Masing-masing teguh dengan prinsipnya dan menganggap bahwa dirinyalah nan paling benar. Padahal kebenaran bukanlah sesuatu nan -meminjam istilah Hans Kung- “ready made” nan terpajang di rak-rak supermarket dan dapat kita ambil sewaktu-waktu dibutuhkan.

Kebenaran ada dalam pergulatan hidup nan serba bergerak dengan segala ambiguitasnya. Sempalan pengikut Ali bin Abi Thalib, Khawarij mengetengahkan sebuah semboyan “Tidaklah ada norma itu, selain norma Allah,” berasas surah al-An’am: 57, lampau menghalalkan darah musuh politiknya.

Dari penggalan sejarah ini, Buya hendak membujuk kita untuk mempertanyakan; bukankah sahabat adalah orang nan dekat dengan Nabi dan beragama terhadap apa nan diajarkannya? Lantas, kenapa mereka kandas menggunakan rambu-rambu Al-Qur’an untuk menyelesaikan masalah-masalah sengketa politik? Sebaliknya, sahabat justru menggunakan Al-Qur’an untuk memukul musuh politiknya (2022: 15).

Tanpa bermaksud merendahkan para sahabat sedikit pun, Buya menghendaki agar kita jujur dalam memandang sejarah. Menurutnya, untuk memandang kepercayaan dan kebhinekaan nan ideal kita mesti mengedepankan tafsir kepercayaan nan lebih inklusif, berwawasan terbuka dan toleransi terhadap sesama.

Kemanusiaan Universal: Inti Pesan Al-Qur’an

Kaitannya dengan itu, seumpama pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, pemikiran Buya mempunyai letak kesamaan dengan gurunya Fazlur Rahman. Saat menguraikan catatan sang pembimbing berjudul “Tema-tema Pokok Al-Qur’an”, Buya dengan tegas menolak mengerti kepercayaan nan bermotif teosentris dan tidak berpihak pada masalah kemanusiaan. Menurutnya, Al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai moral nan menuntun manusia agar terhindar dari kekuatan jahat. Kekuatan jahat nan dimaksud adalah “setan” nan kerap kali digambarkan dalam kepercayaan keyakinan sebagai makhluk gaib nan tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Di sisi lain, untuk menghadapi kekuatan jahat itu, diperlukan perilaku takwa nan dimaknai oleh Buya sebagai upaya melindungi diri seseorang menghadapi konsekuensi-konsekuensi rawan alias jelek dari perbuatan seseorang (2022: 10).

Lebih lanjut, Buya menekan pentingnya memahami tujuan Al-Qur’an. Yakni membangun sebuah tatanan sosial di atas prinsip keadilan dan etika demi menjamin kelangsungan kehidupan manusia. Menginterpretasikan Al-Qur’an secara parsial dan kaku sehingga berujung pada mengerti sektarian hanya bakal mendistorsi pesan kemanusiaan universal nan terkandung dalam Al-Qur’an itu sendiri.

Argumen ini patut dimengerti lantaran Buya sendiri banyak menggugat ahli filsafat Barat nan memandang keliru soal agama. Sebut saja salah satunya Bertrand Russel, filsuf agnostik berkebangsaan Inggris nan menolak kepercayaan karena dianggap tidak betul dan mempunyai daya rusak.

Pada akhirnya, kita dituntut untuk lebih jeli dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an dengan mengedepankan tafsir alias model pemahaman nan terbuka dan kontekstual. Dengan begitu, kehidupan nan damai, aman, dan sentosa dalam kehidupan berakidah dan kebhinekaan baru bakal dapat tercipta.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id