Bolehkah Meninggalkan Shalat Jamaah karena Imam Salah Bacaan? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Mufaraqah merupakan kata barang dari faaraqa-yufariqu yang dalam Kamus Al-Munawwir mempunyai makna terpisah, berpisah, dan meninggalkan. Adapun mufaraqah dalam shalat adalah pemisahan diri makmum dari pemimpin dalam shalat berjamaah. Hukum asal dari mufaraqah adalah makruh jika tanpa argumen seperti nan tertulis dalam kitab Nihayah az-Zain. Dalam kitab tersebut, Syaikh Nawawi al-Bantani berbicara :

ونيَة المفارقة بِلا عذر مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة

Niat mufaraqah (memisahkan diri) dengan tanpa argumen (hukumnya) makruh nan (dapat) menghilangkan keistimewaan jama’ah.

Imam Shalat Tidak Senjaga Salah Membaca surat

Namun andaikan seorang pemimpin tidak sengaja salah membaca surat setelah membaca al-Fatihah. Apakah makmum kudu mufaraqah dengan argumen kesalahan pemimpin tersebut?

Dalam kitab Kasyf an-Niqab seperti nan dikutip Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi di kitab Bughyah al-Mustarsyidin, mufaraqah lebih diperinci ke dalam lima norma di antaranya:

قال في كشف النقاب: والحاصل أن قطع القدوة تعتريه الأحكام الخمسة واجباً، كأن رأى إمامه متلبساً بمبطل وسنة لترك الإمام سنة مقصودة، ومباحاً كأن طوّل الإمام، ومكروهاً مفوتاً لفضيلة الجماعة إن كان لغير عذر، وحراماً إن توقف الشعار عليه أو وجبت الجماعة كالجمعة اهـ.

Berkata dalam kitab Kasyf an-Niqab : memutus hubungan dengan pemimpin mempunyai lima hukum, ialah : 1. Wajib, seperti saat makmum memandang pemimpin melakukan perihal nan membatalkan shalat; 2. Sunnah, ialah pemimpin meninggalkan sunnah nan dianjurkan; 3. Mubah, seperti saat pemimpin memanjangkan shalatnya; 4. Makruh, nan dapat menghilangkan keistimewaan jama’ah; 5. Haram jika syiar shalat berjama’ah hanya terwujud pada dirinya alias tanggungjawab jama’ah seperti shalat Jum’at.

Dari quote di atas, seorang makmum boleh melakukan mufaraqah jika mempunyai satu dari tiga argumen nan diambil dari tiga norma nan pertama (wajib, sunnah, mubah), ialah :

1. Imam melakukan perihal nan membatalkan shalat. nan ini wajib dilakukan oleh makmum. Syaikh Sulaiman bin Umar al-Jamal dalam Hasyiyah-nya berbicara :

وَقَدْ تَجِبُ نِيَّةُ الْمُفَارَقَةِ كَأَنْ رَأَى إمَامَهُ مُتَلَبِّسًا بِمَا يَبْطُلُ الصَّلَاةَ، وَلَمْ يَعْلَمْ الْإِمَامُ بِهِ كَأَنْ رَأَى عَلَى ثَوْبِهِ نَجَاسَةً غَيْرَ مَعْفُوٍّ عَنْهَا

Dan sungguh wajib niat mufaraqah ketika seseorang memandang imamnya bergesekan dengan perihal nan membatalkan shalat dan pemimpin tidak mengetahuinya seperti seseorang memandang najis nan tidak dima’fu di busana imam.

2. Imam tidak mengerjakan sunnah maqshudah, ialah tasyahud awal dan qunut.

3. Imam memanjangkan shalatnya, misalnya pemimpin membaca surat nan panjang alias terlalu lama dalam melakukan aktivitas shalat.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kesalahan pemimpin dalam membaca surat tidak menjadi argumen seorang makmum untuk mufaraqah karena tidak masuk ke ketiga argumen tersebut. Namun, ada nan berbicara jika salah membaca surat termasuk perihal nan membatalkan shalat. Dalam kitab al-Ghayah wa at-Taqrib, Al-Qadhi Abu Syuja’ telah menyebut beberapa perihal nan membatalkan shalat. Ia berbicara :

(فصل) والذي يبطل الصلاة أحد عشر شيئا: الكلام العمد والعمل الكثير والحدث وحدوث النجاسة وانكشاف العورة وتغيير النية واستدبار القبلة والأكل والشرب والقهقهة والردة

(Pasal) Perkara nan membatalkan shalat ada sebelas, ialah berbincang secara sengaja, aktivitas nan banyak, berhadats, terkena najis, terbuka auratnya, berubah niat, membelakangi kiblat, makan, minum, tertawa keras, dan murtad.

Dari keterangan di atas maka jelas bahwa kesalahan membaca surah setelah membaca Al-Fatihah bukanlah perihal nan membatalkan shalat, dengan catatan kesalahan tersebut dilakukan secara tidak sengaja. Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayah az-Zain berkata:

وأما السّورة فإن كان اللّحن لا يغير المعنى صحت صلاته والقدوة به لكنه مع التعمد والعلم حرام وإن كان يغير المعنى فإن عجز عن التعلم أو كان ناسيا أو جاهلا صحت صلاته والقدوة به مطلقا مع الكراهة

Dan adapun surat, jika kesalahan itu tidak mengubah makna, maka sah shalatnya dan juga mengikutinya. Tetapi jika kesalahan itu dilakukan dengan sengaja dan sadar, maka menjadi haram. Dan jika berubah maknanya, namun orang tersebut tidak bisa untuk belajar, lupa, alias tidak mengetahui, maka sah shalatnya dan juga sah mengikutinya secara absolut meski makruh.

Jadi, kesalahan seorang pemimpin nan dilakukan secara tidak sengaja dalam membaca surat di waktu shalat tidak menjadi argumen seorang makmum untuk mufaraqah. Namun, seandainya makmum tersebut bersikeras untuk mufaraqah, maka makmum tersebut bakal kehilangan fadhilah (keutamaan) shalat berjama’ah. Wallahu A’lam

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id