Bila Pemimpin Berbohong
Oleh: Syahbana Daulay
(Tulisan Pertama dari Dua Tulisan)
Kepemimpinan adalah amanah yangg besar dan suci. Ia bukan sekadar kekuasaan, melainkan tanggung jawab moral dan spiritual. Dalam pandangan Islam, setiap pemimpin adalah wakil Allah di bumi untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Ketika kejujuran lenyap dari diri pemimpin, maka lenyap pula kepercayaan rakyat dan keberkahan dalam pemerintahan.
Pemimpin pembohong tidak hanya menyesatkan rakyat melalui kata-kata, tetapi juga mengingkari amanah yangg diemban. Kebohongan menjadi sumber kerusakan moral dan sosial yangg meluas, sebagaimana api mini yangg membakar rimba besar. Tulisan ini menelaah apa yangg terjadi ketika pemimpin berbohong, gimana cirinya, serta gimana Islam memandang dan memberi solusi atas masalah tersebut.
Ciri-Ciri Pemimpin Pembohong
Pemimpin pembohong dapat dikenali dari beberapa perilaku yangg tampak berulang, antara lain:
- Ketidakkonsistenan ucapan dan fakta. Pernyataannya berubah-ubah sesuai kepentingan politik.
- Manipulasi info publik. Data ekonomi, laporan kinerja, alias janji kampanye dipalsukan untuk membentuk citra.
- Menutupi kesalahan dengan ketidakejujuran baru. Ia menghindari tanggung jawab dengan menyalahkan pihak lain.
- Propaganda berlebihan. Fokus pada pencitraan dan pengendalian opini publik daripada realisasi kebijakan.
- Penutupan akses informasi. Media, aktivis, alias lembaga pengawas dibatasi agar kebenaran tidak terungkap.
Dalam kerangka etika Islam, perilaku semacam ini merupakan corak ghisy (penipuan), yangg jelas dilarang keras.
Dampak Kebohongan Pemimpin dari beberapa Sisi
a. Politik dan Tata Kelola
Kebohongan dalam bumi politik adalah racun yangg perlahan menghancurkan gedung negara dari dalam. Politik sejatinya adalah ruang pengabdian dan tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat. Namun, ketika ketidakejujuran dijadikan perangkat untuk mempertahankan gambaran alias kekuasaan, maka politik berubah menjadi permainan kepentingan.
Pemimpin yangg kerap memanipulasi kebenaran kehilangan moral authority di hadapan rakyat. Ketika kepercayaan publik terkikis, legitimasi pemerintahan pun goyah. Dalam situasi seperti ini, rakyat menjadi cuek terhadap proses demokrasi, partisipasi menurun, kritik dibungkam, dan kecurigaan antar golongan meningkat.
Krisis kepercayaan politik juga menimbulkan ketidakstabilan. Kebijakan publik sering ditolak bukan lantaran isinya, tetapi lantaran pembawanya dianggap tidak jujur. Akibatnya, roda pemerintahan tersendat, dan bentrok mendatar dapat muncul dari ketidakpuasan yangg meluas. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan tanpa kejujuran kehilangan barakah dan bakal berhujung dengan kehancuran, sebagaimana sabda Nabi SAW:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran.” (HR. al-Bukhārī)
b. Hukum dan Keadilan
Kebohongan seorang pemimpin dalam konteks norma merupakan corak penghianatan terhadap prinsip keadilan. Ketika pemimpin menggunakan kekuasaan untuk menutupi kesalahan alias melindungi kelompoknya, maka lembaga norma menjadi tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Inilah awal dari budaya impunity, ketika pelaku pelanggaran norma dari kalangan elit terbebas dari hukuman.
Dalam masyarakat seperti ini, rakyat kehilangan rasa percaya kepada pengadilan dan abdi negara penegak hukum. Rasa keadilan pun mati, dan muncul dugaan bahwa norma hanya perangkat politik.
Padahal dalam Islam, keadilan adalah sendi utama pemerintahan. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) bertindak setara dan melakukan kebajikan.” (QS. an-Naḥl [16]: 90)
Ketika ketidakejujuran merasuki lembaga keadilan, maka hilanglah ruh negara hukum, dan yangg tersisa hanyalah corak luar kekuasaan tanpa legitimasi moral.
c. Ekonomi dan Kepercayaan Publik
Dalam sistem ekonomi, kejujuran merupakan modal yangg lebih berbobot dari emas. Ekonomi yangg sehat dibangun atas kepercayaan, antara pemerintah dan rakyat, antara produsen dan konsumen, serta antara pengusaha dan investor.
Namun, jika pemimpin mendusta tentang info pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, alias kondisi fiskal negara, maka yangg terjadi adalah krisis kepercayaan. Investor menarik modalnya, pasar menjadi tidak stabil, dan mata duit kehilangan nilai.
Lebih jauh, rakyat mini menjadi korban paling nyata. Mereka merasakan akibat dari inflasi, pengangguran, dan mahalnya nilai kebutuhan pokok.
Islam menekankan pentingnya kejujuran dalam segala transaksi, termasuk dalam pengelolaan ekonomi negara. Nabi SAW bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yangg jujur dan amanah bakal berbareng para nabi, orang-orang yangg benar, dan para syuhada.” (HR. at-Tirmidzī)
Dari sini jelas bahwa ketidakejujuran ekonomi bukan hanya kesalahan administratif, melainkan pelanggaran moral yangg menjerumuskan bangsa ke dalam krisis multidimensi.
d. Sosial dan Budaya
Pemimpin adalah cermin masyarakatnya. Ketika pemimpin berbohong, masyarakat pun bakal belajar bahwa kejujuran tidak membawa keuntungan. Maka lahirlah budaya permisif terhadap dusta: pejabat memanipulasi laporan, pembimbing menipu data, siswa menyontek, dan orang tua mendusta di depan anak demi argumen pragmatis.
Dalam jangka panjang, integritas sosial mengalami degradasi. Kepercayaan antar penduduk melemah, solidaritas sosial pudar, dan masyarakat kehilangan pegangan nilai.
Budaya bohong ini menggerogoti peradaban. Masyarakat yangg terbiasa mendusta tidak bakal bisa membangun kemajuan yangg berkelanjutan, lantaran kemajuan sejati hanya tumbuh dari kepercayaan dan kejujuran.
Rasulullah SAW telah menegaskan pentingnya keteladanan moral dalam kepemimpinan:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bakal dimintai pertanggungjawaban atas yangg dipimpinnya.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Maka pemimpin yangg mendusta bukan hanya mencederai rakyatnya, tetapi juga merusak akar moral masyarakat yangg dipimpinnya.
e. Spiritual dan Moral
Secara spiritual, ketidakejujuran pemimpin merupakan corak pengkhianatan terhadap amanah Allah SWT. Kepemimpinan dalam Islam bukanlah kehormatan, tetapi amanah besar yangg bakal dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Sesungguhnya ketidakejujuran membawa kepada kefajiran, dan kefajiran membawa kepada neraka.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Pemimpin yangg terbiasa berbohong telah kehilangan rasa takut kepada Allah dan tidak lagi menyadari beratnya amanah yangg diemban. Kebohongan politik yangg tampak ringan di dunia, bisa berubah menjadi dosa besar di alambaka lantaran menyangkut nasib banyak manusia.
Dalam pandangan ulama, dosa seorang pemimpin yangg menipu rakyat lebih berat dibandingkan dosa pribadi, karena kebohongannya menimbulkan kerusakan publik (mafsadah ‘āmmah).
Oleh lantaran itu, pemimpin sejati bukan hanya kudu pandai dan visioner, tetapi juga mempunyai murāqabah, kesadaran jiwa bahwa Allah selalu mengawasi setiap ucapan dan kebijakan yangg dibuatnya. (bersambung tulisan kedua)
*** Penulis, Syahbana Daulay, Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
2 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·