Benarkah Muhammadiyah Mementingkan Ego Organisasi? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Prof. Thomas Djamaluddin astronom senior Badan Riset dan Inovasi Nasional kembali mengeluarkan pernyataan nan menohok tentang sikap organisasi Muhammadiyah. Pada tahun 2011, Thomas Djamaluddin menyatakan bahwa kriteria hisab wujudul bulansabit nan digunakan Muhammadiyah sudah usang dan ditinggalkan oleh sebagian besar master falak.

Kini 12 tahun kemudian, beliau kembali mengkritik Muhammadiyah nan menurutnya lebih mementingkan ego organisasi dibanding dengan persatuan umat. Prof. Thomas juga membujuk Muhammadiyah untuk berbesar hati mengubah pendapatnya demi persatuan umat. Menurutnya ijtihad boleh diubah dan tidak absolut sifatnya.

Muhammadiyah Mementingkan Ego?

Benarkah Muhammadiyah mementingkan ego organisasi? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengapresiasi kegigihan Prof. Thomas Djamaluddin dalam memperjuangkan gagasannya. Dalam Munas Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang, Prof Thomas menjadi salah satu undangan dalam aktivitas tersebut. Di sana beliau mempresentasikan buahpikiran dan pendapat imkanur rukyatnya.

Sayangnya para peserta Munas Tarjih nan merupakan ustadz tarjih Muhammadiyah se-Indonesia tersebut tidak menyetujui buahpikiran beliau. Barangkali itulah pengalaman “patah hati” beliau lantaran gagasannya tidak diterima. Mudah-mudahan bukan lantaran perihal tersebut Prof. Thomas senantiasa menyenggol Muhammadiyah dalam beberapa tulisannya.

Menghadapi penolakan Muhammadiyah, Prof. Thomas tidak putus asa. Beliau menyebarkan gagasannya kepada pihak lainnya. Gayung bersambut, organisasi Persatuan Islam (PERSIS) menerima dan mengadopsinya. Puncak kemenangan beliau adalah diadopsinya pendapat beliau oleh Kementerian Agama. nan menyebabkan kemungkinan perbedaan hari raya antara Muhammadiyah dengan sidang isbat pemerintah semakin besar.

Kembali ke pertanyaan utama, benarkah Muhammadiyah mementingkan ego organisasi dibanding dengan persatuan umat? Pertanyaan lain nan muncul adalah kenapa Muhammadiyah begitu keras kepala untuk mempertahankan hisab wujudul hilal?

Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah dijawab dengan baik oleh Prof. Syamsul Anwar Ketua Majelis Tarjih PP. Muhammadiyah periode 2010-2022 nan sekarang menjadi salah satu Ketua PP. Muhammadiyah. Tahun 2011 beliau menulis tulisan nan berjudul: Otoritas dan Kaidah Matematis: Refleksi Atas Perayaan Lebaran 1432 H (Tanggapan Atas Kritik Thomas Djamaluddin). Berikut saya kutip beberapa pernyataan beliau nan relevan dengan pembahasan ini.

Tidak dipungkiri bahwa perbedaan jatuhnya hari raya itu adalah suatu ketidaknyamanan lantaran ada ketidakbersamaan kaum Muslimin dalam merayakannya. Di satu sisi ada nan saling kunjung ke rumah tetangga dan makan-makan, sementara nan lain tetap berpuasa. Namun juga kudu diakui bahwa penyatuan jatuhnya hari Lebaran itu tidak gampang, tidak semudah sepasang remaja bikin janji ke pantai bersama, “Mas Minggu besok rekreasi bareng ya di pantai, soalnya lenyap ujian semester pikiranku buntet banget, perlu refreshing.” “Ya, setuju, saya juga sama. Dah, besok kuampiri ya!” Selesailah masalah. Kesepakatan untuk “rekreasi Minggu besok” tidak memerlukan pertimbangan ilmiah nan mendalam lantaran itu hanya soal selera dan bisa diputuskan dengan prinsip “setuju-setuju saja”.

Namun tentu tidak demikian halnya dengan penentuan jatuhnya hari raya semisal Lebaran alias Iduladha. Masalah ini bukan soal selera. Masalah ini memerlukan suatu kajian panjang dan mendalam baik dari segi pengetahuan syariah maupun dari segi pengetahuan astronomi. Keputusan itu tidak dapat diambil berasas prinsip “setuju-setuju saja”. Ini semua tentu menjadi tantangan para intelektual mengenai baik dari bagian syariah maupun astronomi.

Muhammadiyah Berdasarkan Kajian Ilmiah

Berdasarkan quote di atas, jelas bahwa sikap Muhammadiyah tidak berasas emosi alias egoisme, melainkan kajian ilmiah nan mendalam. Tentu saja penulis juga meyakini pendapat Prof. Thomas Djamaluddin juga lahir dari perihal nan sama. Namun memang kondisinya hasil kajian tarjih Muhammadiyah dan Prof. Thomas belum menemukan kata sepakat.

Sistem nan tidak dapat memberikan penjadwalan waktu (hari/tanggal) nan pasti jauh ke depan adalah suatu sistem nan jelek dan bertentangan sifat sebagai sebuah almanak nan terstruktur secara seksama, apalagi bertentangan dengan maksud dari almanak itu sendiri. Sistem almanak bermaksud untuk memudahkan masyarakat penggunanya merencanakan kegiatannya disesuaikan dengan sistem penjadwalan waktu nan dimilikinya.

Untuk itu sistem waktu tersebut kudu jeli dan pasti agar rencana kegiatannya tidak menjadi acak-acakan akibat sistem waktu nan tidak pasti. Suatu sistem penanggalan nan jeli dan bagus kudu dapat menjadwalkan waktu secara pasti ke depan dan kudu dapat dilacak secara pasti pula agenda waktunya di masa lalu. Untuk itu penetapan agenda waktu itu kudu lahir dari norma matematis almanak itu sendiri tanpa kombinasi tangan otoritas luar mana pun selain dari norma almanak tersebut.

Apabila setiap penetapan momen krusial ditentukan oleh suatu otoritas lain di luar norma matematis almanak itu sendiri, maka kita bakal menghadapi penjadwalan waktu nan tidak pasti lantaran jawal waktu tersebut bakal sangat tergantung kepada ketetapan nan bakal dikeluarkan pada detik-detik akhir menjelang saat dimulainya momen bersangkutan.

Sebaliknya juga kita tidak dapat melacak agenda waktu penanggalan tersebut di masa lampau lantaran tidak lahir dari norma matematisnya nan ajek. Kita kudu mencari arsip surat keputusan otoritas nan menetapkannya hari apa dia menjatuhkan 1 Syawal tahun tertentu di masa lampau. Ini adalah sistem nan buruk. Saudara-saudara kita umat Kristiani dalam menentukan kapan melakukan selebrasi hari Natal telah dapat mengetahui hari jatuhnya jauh hari sebelumnya berasas norma almanak Masehi nan mereka gunakan, bukan lantaran keputusan otoritas penguasa nan melakukan isbat menjelang saat dimulainya momen itu.

Jadi andaikan Muhammadiyah dikatakan terlalu kuat berpegang kepada hisab, perihal itu adalah lantaran argumen ini. Dari segi keserhanaan prosedur, biaya murah, dan keahlian memberikan kepastian agenda tanggal di masa depan, pendekatan Muhammadiyah jauh lebih maju. Dalam sistem kalendernya, penentuan tanggal merupakan hasil dari logika almanak sendiri tanpa kombinasi tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan memang dia tidak mempunyai kewenangan itu.

Pimpinan Pusat hanya mengumumkan hasil dari sistem almanak itu sendiri dan lantaran itu dapat dilakukannya jauh hari sebelumnya dan itu sangat memudahkan bagi masyarakat untuk menyusun dan menyesuaikan aktivitas hidupnya. Memang, almanak Muhammadiyah itu belum berkarakter dunia dan ini tentu menjadi tantangan para mahir pengetahuan falak dan astronom Muhammadiyah untuk melakukan kajian guna menyempurnakan sistemnya hingga dapat menjadi suatu almanak pemersatu nan baik.

Masukan untuk Prof Thomas

Prof. Syamsul sukses dengan baik menjelaskan dengan baik argumen kengototan Muhammadiyah untuk tidak lagi berpegang pada hasil rukyat dan lebih berpegang kepada hisab sebagai referensi pembuatan kalender. nan menarik, Prof. Thomas Djamaluddin pun sudah mengamini sikap ini. Hanya saja beliau menawarkan kriteria imkanur rukyat sebagai pedoman dari pembuatan almanak hijriyah jenis beliau.

Sayangnya menurut Prof. Suskinan Azhari mahir falak Muhammadiyah, tawaran almanak dengan kriteria tersebut bakal membikin ada bulan Kamariyah nan berjumlah 28 hari. Padahal bulan Kamariyah hanya berjumlah di antara 29 alias 30 hari saja. 

Hemat saya Prof. Thomas perlu juga menurunkan egonya untuk dengan bening mendengarkan argumen-argumen nan disampaikan oleh Ahli Falak dan Muhammadiyah. Muhammadiyah pada dasarnya juga menginginkan persatuan, tak hanya Indonesia apalagi umat Islam se-dunia. Itulah kenapa beberapa kali Muhammadiyah berperan-serta dan menginisiasi upaya penyusunan almanak hijriyah global.

Walaupun memang upaya penyatuan almanak hijriyah dunia belum menemukan kata sepakat, tapi upaya ini perlu diapresiasi.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id