Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang

Pertanyaan tentang nasib orang non-Muslim yangg melakukan baik sering mengusik hati. Mereka tampak dermawan, menolong sesama, apalagi menebar kebaikan yangg luar biasa. Namun, apakah semua kebaikan itu bakal berbuah surga? Islam memberikan jawaban yangg jelas dan penuh hikmah: syarat utama masuk surga adalah tauhid, bukan semata kebaikan baik.
Pertanyaan yangg kerap muncul dalam obrolan keagamaan adalah, apakah orang non-Muslim yangg hidupnya penuh kebaikan, suka menolong, dan jauh dari kezaliman tidak mendapat jawaban di akhirat? Mengapa kebaikan yangg mereka lakukan seolah tidak berbobot di sisi Allah? Pertanyaan ini tidak hanya muncul dari kalangan awam, tetapi juga sering menjadi bahan perdebatan serius. Untuk menjawabnya, kita perlu memandang pada landasan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ.
Allah ﷻ menjelaskan bahwa surga adalah jawaban bagi orang yangg beragama dan beramal saleh. Namun, ketaatan di sini bukan sekadar kepercayaan kepada Tuhan secara umum, melainkan pengakuan dan pembenaran atas kalimat tauhid, ialah syahadat. Tanpa fondasi itu, kebaikan kebaikan yangg dilakukan seseorang tidak bisa mengantarkan ke surga. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
﴿وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾
“Barang siapa mencari kepercayaan selain Islam, maka sekali-kali tidaklah bakal diterima darinya, dan dia di alambaka termasuk orang-orang yangg merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)


Ayat ini menegaskan bahwa syarat diterimanya kebaikan adalah Islam. Islam bukan hanya label alias status administratif, melainkan pengakuan tulus dalam hati, lisan, dan perbuatan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Dengan kalimat tauhid inilah seseorang resmi tercatat sebagai hamba Allah yangg beriman.
Analogi sederhana dapat diambil dari bumi pendidikan. Seorang anak boleh saja giat datang ke kelas, tekun mengerjakan tugas, dan apalagi memperoleh nilai sempurna saat ujian. Namun, jika dia tidak resmi terdaftar sebagai siswa, maka sekolah tidak berkuasa memberikan piagam kepadanya. Begitu pula di hadapan Allah. Amal kebaikan seumpama nilai ujian, tetapi tauhid seumpama status resmi sebagai murid. Tanpa status itu, sehebat apa pun nilainya, dia tidak bakal memperoleh piagam keselamatan di akhirat.
Lalu, apakah berfaedah semua kebaikan kebaikan non-Muslim sia-sia? Tidak demikian. Allah tetap memberikan jawaban atas kebaikan mereka, tetapi jawaban itu diberikan di dunia, bukan di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ الْمُؤْمِنَ حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا فِي الآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الآخِرَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seorang mukmin sedikit pun. Kebaikan diberi jawaban di bumi dan di akhirat. Adapun orang kafir, dia diberi jawaban atas kebaikan baiknya di dunia, namun ketika di alambaka kelak, dia tidak mempunyai kebaikan yangg bisa dibalas.” (HR. Muslim no. 2808)
Hadis ini menjelaskan perbedaan mendasar. Orang beragama memperoleh jawaban ganda: di bumi dan di akhirat. Sementara non-Muslim hanya menikmati hasil kebaikan baiknya di dunia, seperti diberi kesehatan, kelapangan rezeki, alias ketenangan tertentu. Namun di akhirat, semua amalnya tidak lagi berbobot lantaran tidak dibangun di atas tauhid.
Allah ﷻ berfirman pula:
﴿وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا﴾
“Dan Kami hadapi segala kebaikan yangg mereka kerjakan, lampau Kami jadikan kebaikan itu (bagaikan) debu yangg berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan tanpa ketaatan ibaratkan debu. Ia tampak banyak, namun tidak mempunyai berat ketika ditimbang di akhirat. Inilah ketentuan Allah yangg adil, lantaran syarat utama keselamatan adalah pengakuan terhadap-Nya sebagai satu-satunya Tuhan dan mengimani utusan-Nya.
Di sinilah pentingnya memahami prinsip tauhid. Kebaikan sejati bukan hanya berupa menolong, berderma, alias melakukan setara kepada manusia, tetapi juga kebaikan kepada Sang Pencipta dengan mengesakan-Nya. Jika seseorang melakukan baik kepada manusia tetapi mengingkari Allah, maka kebaikannya tetap terputus, tidak sampai kepada prinsip yangg sempurna. Sedangkan orang beragama yangg menegakkan tauhid lampau melakukan baik, dia menyempurnakan hubungan dengan Allah sekaligus dengan sesama makhluk.
Sebagian orang bertanya, “Apakah ini tidak terkesan zalim? Mengapa orang baik kudu masuk neraka?” Pertanyaan ini muncul lantaran kita memandang dari kacamata manusia yangg terbatas. Allah ﷻ adalah Zat nan Maha Mengetahui, Maha Adil, dan Maha Bijaksana. Dialah yangg berkuasa menentukan patokan siapa yangg layak masuk surga. Jika syarat masuk surga adalah tauhid, maka itu adalah ketentuan yangg paling adil, lantaran surga adalah milik Allah, bukan milik manusia.
Dalam sebuah sabda qudsi, Allah ﷻ berfirman:
يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya itu hanyalah kebaikan kalian yangg Aku catat untuk kalian, kemudian Aku balas sesuai kebaikan tersebut. Barang siapa mendapati jawaban kebaikan, hendaklah dia memuji Allah. Barang siapa mendapati jawaban selain itu, maka janganlah dia menyalahkan selain dirinya sendiri.” (HR. Muslim no. 2577)
Hadis ini menekankan bahwa Allah tidak pernah melakukan zalim. Jika seseorang tidak mendapatkan jawaban surga, itu lantaran dia tidak memenuhi syarat utamanya. Sama seperti seseorang yangg tidak mendapatkan piagam bukan lantaran sekolah zalim, tetapi lantaran dia tidak resmi terdaftar sebagai siswa.
Oleh lantaran itu, umat Islam tidak boleh terjebak pada pandangan relativis bahwa semua kepercayaan sama dan semua orang baik pasti masuk surga. Islam mengajarkan penghormatan kepada orang non-Muslim, melakukan setara kepada mereka, apalagi menolong mereka dalam urusan dunia. Namun dalam urusan akhirat, Allah sudah menetapkan syarat yangg pasti, ialah ketaatan dan tauhid. Dengan pemahaman ini, seorang Muslim bakal semakin berterima kasih lantaran telah dianugerahi iman, dan semakin antusias untuk membujuk orang lain kepada kebenaran dengan langkah yangg bijaksana.
Allah ﷻ berfirman:
﴿ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yangg baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Maka tanggungjawab kita bukan hanya berterima kasih atas nikmat Islam, tetapi juga berupaya membujuk dengan penuh hikmah orang lain untuk mengenal tauhid. Dengan begitu, kebaikan kebaikan mereka tidak hanya berbuah di dunia, tetapi juga menjadi jalan menuju keselamatan kekal di akhirat.
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·