Bagaimana Stoikisme Memandang Cinta? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Sebelumnya mungkin istilah Stoikisme tidak asing terdengar di telinga kita dan sempat viral di media sosial. Dimana style hidup Stoik alias Stoa banyak menginspirasi pola pikir generasi Z di tengah gempuran teknologi dan informasi.

Stoikisme adalah aliran alias pemikiran makulat yangg berkembang pada era Helenistik. Titik tekan pengajaran dari Stoikisme ini lebih ke arah memfokuskan diri, dan juga sebagai makulat pengajaran tingkah laku hidup. Kemudian tujuan yangg mau dicapai oleh Stoikisme adalah mencapai titik ketentraman hidup (ataraxia).

Kebahagiaan menurut Stoikisme ini merujuk kepada emosi tenang dan terbebas dari masalah. Stoikisme mengajarkan kita agar tidak terikat oleh emosi berlebih, yangg mana emosi berlebih itu bisa membikin kita kecewa.

Kemudian muncul sebuah pertanyaan, “Bukankah cinta itu juga merupakan keterikatan emosi? Dengan kata lain cinta itu emosi yangg muncul secara berlebih tanpa mengenal makna logis”. Oleh lantaran itu, pada tulisan ini penulis bakal berupaya memandang perspektif Stoikisme tentang cinta itu bagaimana, dan seperti apa.

Dari pertanyaan di atas, seakan-akan Stoikisme disalah artikan sebagai aliran yangg sifatnya dingin dan sama sekali tidak mempunyai emosi. Padahal, Stoikisme ini sebenarnya mengakui bentuk-bentuk emosi positif namun tidak berlebihan. Salah satunya yangg bakal dibahas adalah cinta.

Stoikisme Memandang Cinta

Supaya kita bisa memahami cinta dalam pandangan Stoikisme, kita kudu mengerti mengenai persoalan mendasar mengenai cinta. Menurut Becker Lawrence, ada dua persoalan mendasar untuk memahami cinta Stoik.

Pertama, cinta sering dikaitkan dengan suatu langkah kerja pelepasan emosi cepat, artinya bisa jadi cinta muncul secara tiba-tiba dan lenyap secara sigap juga yangg merujuk pada rekomendasi Epictetus (tokoh filsuf Stoa).

Kedua, dengan mencocokkan “gagasan cinta pada umumnya” dengan pendapat Stoik mengenai langkah pengamatan emosi secara intelektual. Artinya, kita jangan sampai dikontrol oleh cinta buta yangg tidak logis, tetapi kita juga kudu mengerti dan memandang emosi cinta ini secara logis yangg disertai dengan representatif oleh diri kita, apakah ini membawa faedah alias tidak.

Adapun untuk menjawab persoalan pertama, kita kudu memandang lagi pernyataan Epictetus secara lebih mendalam. Epictetus hanya menganjurkan kita untuk mengganti kepergian orang yangg kita cintai selayaknya menggantikan gelas yangg pecah. Kita perlu sadar sekaligus mengingat bahwa kepergian ataupun kematian merupakan suatu perihal yangg biasa dan sudah pasti terjadi dalam kehidupan.

Kita sering berjumpa dengan orang lain dalam situasi apapun: berpapasan, menyapa, dan segera hilang. Lalu apa salahnya jika kita menggantikan orang yangg kita cintai, yangg kenyataannya sudah pergi alias lenyap berbareng orang lain?

Merasa kehilangan adalah sesuatu yangg wajar, namun kita tidak pernah bisa membikin orang yangg kita cintai itu abadi. Maka, pandangan Epictetus tetap mementingkan cinta, tetapi dia juga kudu bersiap menghadapi kehilangan. Jika kita yangg bakal pergi meninggalkan orang yangg kita cintai terlebih dahulu, kita juga sudah kudu mempersiapkannya.

***

Perlu diingat bahwa Stoikisme mengajarkan kita mencintai orang lain layaknya kita mencintai diri sendiri. Tentu kita juga tidak mau orang yangg kita cintai bersungkawa secara mendalam dan putus asa saat kehilangan kita. Oleh lantaran itu, selagi tetap sempat, kita kudu melakukan sesuatu kepadanya.

Kita kudu memperlakukannya secara mandiri. Kita tidak melulu membuatnya tergantung kepada keberadaan kita terus menerus. Keterikatan diperbolehkan, tetapi bukanlah keterikatan berlebih yangg dapat mengakibatkan kekecewaan besar yangg hanya membawa pada masalah.

Untuk menjawab persoalan kedua, kita kudu memandang lagi konsep pemahaman representasi yangg betul menurut Stoik dan tidak langsung terburu-buru membandingkan dengan konsep cinta pada umumnya.

Seorang Stoik kudu memandang dua arah yangg berbeda mengenai apa yangg pada dasarnya memang nyata dan respons afektif (kemampuan seseorang yangg berangkaian erat dengan emosi yangg bisa dia kendalikan) apa yangg layak dilakukan.

Sebuah Contoh Kasus

Supaya mempermudah memahami perihal ini, kita ambil contoh suami dan istrinya. Misal, suami ini rupanya menyadari bahwa istrinya selingkuh setelah berbaur dengan kawan barunya, di mana kawan barunya ini memang terbukti mempunyai kedekatan yangg tidak wajar dengan istrinya.

Istrinya sendiri menunjukan perubahan perilaku dan sifat anehnya, yangg mana keanehan ini membikin suami merasa curiga. Sebab suami ini adalah seorang Stoa, dia kudu melakukan representasi yangg betul mengenai istrinya.

Suami ini kudu mengetahui kebenaran yangg betul-betul terjadi dan tidak melibatkan emosi mengikat apapun. Pertama, suami ini bakal mengartikan bahwa istrinya selingkuh bisa jadi lantaran suami jarang pulang alias sibuk dengan pekerjaan. Kedua, istri ini selingkuh setelah berkawan dan terpengaruh oleh kawan barunya.

Melihat persoalan seperti ini, orang lain bisa saja marah besar terhadap istri yangg selingkuh, dan menutup-nutupinya lantaran dia terlalu mencintai, alias menganggapnya sebagai aib.

Namun, sebagai seorang Stoa, suami ini kudu melakukan respons afektif yangg layak berasas realita yangg ada. Fakta yangg didapat adalah bahwa istrinya secara nyata melakukan perselingkuhan.

***

Maka yangg bisa seorang suami lakukan yaitu; pertama, kudu bicara secara terbuka kepada istrinya, jika memang istrinya ini bermasalah dan tidak bisa lagi diperbaiki. Kedua, suami ini berkuasa untuk marah kepada istrinya sebagai corak kekecewaan, namun dengan tujuan jelas, tidak berlebih, dan tetap menghargai pendapat istrinya. Ketiga, suami ini tetap melaksanakan operasional norma yangg berlaku, merehabilitasinya, dan tetap mendampinginya.

Contoh tadi mengambarkan bahwa seorang Stoa kudu tetap melakukan representasi yangg betul kepada orang yangg dia cintai dan melakukan respon afektif yangg memang pantas.

Respon afektif yangg layak adalah saat respon tersebut sesuai dengan kenyataan. Seorang Stoa tidak bakal tergesa-gesa melakukan tindakan gegabah, melakukan representasi macam-macam, ataupun terlalu mendengarkan omongan orang lain.

Seorang Stoa bakal memonitor segala emosi mereka dan sebisa mungkin tidak terlibat dalam tarikan emosi tersebut. Sedangkan, non-Stoik (atau yangg Becker sebut sebagai romantik) terlihat jarang sekali melakukan peninjauan semacam ini.

Cinta ala Stoikisme

Cinta Stoik mengkritisi secara tajam mengenai pandangan umum kita terhadap cinta. Perasaan cinta kita kepada orang lain memang diperlukan, namun emosi cinta ini tidak semestinya merampas kewarasan kita.

Mengharapkan keberadaan hubungan dengan orang yangg kita cintai menjadi kekal adalah konyol dan tidak mungkin. Mengikuti emosi dan membenarkan segala perihal demi cinta juga hanya bakal membawa masalah.

Stoikisme mengusulkan sebuah cinta yangg didasari dari kesiapannya untuk mengorbankan segalanya, selain keahlian kerasionalan manusia. Cinta Stoik tetap sadar dan menekankan bahwa apa yangg berada di luar diriku itu berkarakter tidak bisa diandalkan.

Kemampuan logis diriku adalah keahlian yangg dapat membantu untuk memperoleh representasi yangg benar, sehingga diri dapat jauh dari masalah.

Stoikisme memberikan pengajaran kepada kita bahwa dalam mencintai, kita kudu siap bakal kehilangan dan tidak terlalu terikat secara berlebih dalam emosi-emosi. Cinta tetap merupakan sesuatu yangg tidak wajib, namun cinta juga tetap layak dijalankan.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id