Apakah Penyelenggara Pemilu Juga Termasuk Jihad? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Pernahkah kita berfikir gimana Nabi dulu berjuang menegakkan kepercayaan Islam? Bagaimana Nabi mengorbankan segalanya demi agama? Bagaimana kita umat sekarang bisa meneladani perjuangan Nabi? Tentu jawabannya amatlah variatif. Mengingat dewasa ini umat Muslim disibukkan oleh beragam pekerjaan dan tentunya tidak ada lagi kaum kafir yangg kudu diperangi.

Dalam beragam catatan sejarah Islam, perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan. Tepat dua tahun setelah Nabi hijrah dan bertepatan 13 Maret 624 M. Jika berbincang mengenai jihad, maka beragam pendapat nyaris selalu mengarah ke perang Badar sebagai referensi argumen. Kemenangan kaum muslimin saat itu mengubah peta sejarah bentrok antara Mu’minin dan Musyrikin, antara kebenaran dan kebatilan serta antara keikhlasan dan ketakutan.

Lalu gimana jihad perang badar ini jika diaktualisasikan dengan penyelenggara pemilu? Apakah para pelenyenggara pemilu yangg menjalankan tugasnya dengan baik dapat juga dikonsepkan sebagai ‘jihad penyelenggara’?

Jihad ala Penyelenggara Pemilu

Menurut Syaid al-Masmawi dalam bukunya al-Jihad, makna Jihad saat ini bukan meninggal di jalan Allah, tapi hidup di jalan Allah. Jika seseorang sudah hidup di jalan Allah, maka besar kemungkinan matinya juga di jalan Allah Swt.

Makna ini tentunya berbeda dengan realitas sosial politik dan keagamaan pada era nabi. Jika dulu salah satu corak jihad adalah terjun ke medan perang, maka saat ini tentu jihadnya tidak lagi bertempur mengangkat senjata.

Sedangkan menurut AG Prof Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, jihad berarti mencurahkan seluruh keahlian alias menanggung pengorbanan alias yangg nyaris semakna dengannya seperti mencurahkan segala yangg dimilikinya seperti dalam menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 218:

اِنَّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَالَّذِيۡنَ هَاجَرُوۡا وَجَاهَدُوۡا فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِۙ اُولٰٓٮِٕكَ يَرۡجُوۡنَ رَحۡمَتَ اللّٰهِؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yangg beragama dan orang-orang yangg berhijrah dan berjihad di jalan Allah mereka itulah yangg mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

***

Menjadi penyelenggara pemilu dengan niat yangg lurus, penuh kesungguhan dan alim pada izin bisa dikategorikan jalan jihad. Penyelenggara pemilu adalah mereka yangg terjun langsung mengawasi, mengawal dan menjalankan beragam tahapan pemilu yangg padat dan menguras, waktu, tenaga dan fikiran.

Selain itu, penyelenggara pemilu adalah orang-orang yangg dituntut untuk selalu menjaga integritas, profesionalitas dan independen. Kerjanya pun tidak mempunyai pemisah ialah 24 jam. Sehingga dibutuhkan kesiapan bentuk dan mental yangg kuat bagi penyelenggara untuk menjalankan amanah yangg dititipkan negara serta menjadi ujung tombak jalannya demokrasi.

Penyelenggara juga sudah menjadi bagian dari pekerjaan yangg bisa membantu perekonomian keluarga. Itulah kenapa dalam setiap perekrutan calon penyelenggara animo masyarakat beberapa tahun terakhir sangat tinggi. Meskipun aspek finansial bukanlah yangg utama. Ada yangg mencalonkan diri semata lantaran dorongan pribadi, argumen finansial rumah tangga, maupun lantaran sudah mumpuni dengan pengalaman kepemiluan sebelumnya.

Ketika berbincang masalah bekerja, salah satu perintah dari Allah Swt yaitu:

وَقُلِ اعۡمَلُوۡا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُوۡلُهٗ وَالۡمُؤۡمِنُوۡنَ‌ؕ وَسَتُرَدُّوۡنَ اِلٰى عٰلِمِ الۡغَيۡبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمۡ بِمَا كُنۡتُمۡ تَعۡمَلُوۡنَ

Artinya: “Bekerjalah, maka Allah Swt bakal memandang pekerjaanmu itu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mu’min dan Anda bakal dikembalikan pada-Nya, yangg Mengetahui yangg gaib dan nyata lampau diberitakannya kepadamu apa yangg telah Anda kerjakan”. (At-Taubah:105)

Jika seorang penyelenggara menggunakan honornya untuk membantu kebutuhan rumah tangga, membantu pembiayaan pendidikan anak, perawatan orang tua, maka itu termasuk perihal yangg diajarkan Rasulullah Saw, seperti sabda beliau:

عَنِ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَ إِنَّ نَبِيَّ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِهِ (رواه البخاري)

Artinya: “Dari Al-Miqdam r.a. dari Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak ada seorang yangg menyantap satu makananpun yangg lebih baik dari makanan hasil upaya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud a.s. menyantap makanan dari hasil usahanya sendiri”. (HR. Bukhari)

Memahami Etos Kerja Penyelenggara Pemilu

Dalam aliran Islam, etos kerja adalah manifestasi dari kebaikan soleh dan tentunya mempunyai nilai ibadah. Etos kerja adalah salah satu corak kemuliaan manusia lantaran telah menggunakan potensi dalam diri untuk melangsungkan kehidupan.

Menurut Gunnar Myrdal, ahli ekonomi sekaligus politikus berkebangsaan Swedia dalam bukunya yangg terkenal Asian Drama: an Inquiry into the Poverty of Nations: Penyelidikan tentang Kemiskinan Bangsa (Pantheon, NY, 1968), ada beberapa kategori yangg kudu dimiliki agar meningkatkan etos kerja seperti penyelenggara. Di antaranya efisien, teratur, rajin, disiplin dan tepat waktu, hemat, jujur dan teliti, logis dalam mengambil keputusan dan tindakan, bersikap dinamis, pandai memanfaatkan kesempatan, energik, self confidence yangg tinggi, bisa bekerja sama, punya visi dan khayalan yangg futuristik.

Kemudian Dr. Ida Budhiati, S.H, M.H (anggota DKPP periode 2012-2022) dalam salah satu webinar mengatakan bahwa menjadi penyelenggara adalah sebuah profesi. Maka penyelenggara dituntut untuk ahli dalam tugas dan tentunya independen.

Bagi penyelenggara pemilu yangg mengerti dengan tugas dan tanggungjawabnya itu bakal menunaikan dengan penuh kesadaran bahwa perihal tersebut adalah amanah yangg tidak boleh diingkari.

Allah Swt sangat tegas menyampaikan kepada kita semua untuk tidak bermain-main dengan sebuah amanah yangg diberikan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yangg beragama janganlah Anda menghianati Allah dan Rasul (muhammad) dan janganlah Anda menghianati amanat-amanat yangg dipercayakan kepadamu sedang Anda mengetahui”. (QS. Al-Anfal : 27)

***

Jika memaknai ayat di atas, ‘Mengapa hanya orang yangg beragama yangg dilarang khianat’? Karena menjalankan amanah itu perlu kesadaran bahwa setiap pekerjaan itu berimplikasi pahala alias pun dosa di sisi-Nya.

Ketidakamanahan dalam pekerjaan sebagai penyelenggara pemilu, bakal berakibat lalainya seorang penyelenggara dari setiap tahapan pemilu. Di antaranya menghilangkan kewenangan pilih, mengubah buletin acara, menghilangkan arsip ataupun tidak melakukan pengawasan secara langsung ataupun tidak langsung.

Lebih parah lagi jika ada penyelenggara yangg ‘kongkalikong’ dengan bakal calon tertentu agar memperoleh kemenangan yangg inkonstitusional. Sudah banyak info yangg telah kita peroleh mengenai adanya penyelelenggara yangg masuk penjara lantaran menggadaikan netralitasnya.

Dari Jihad Badar ke Jihad Penyelenggara

Dalam kitab terjemahan Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haikal penulis berkebangsaan Mesir, dapat kita baca gimana motivasi yangg disampakain oleh nabi dalam menghadapi tantangan yangg nyata sulitnya pada saat perang Badar. Betapa tidak kaum Muslim hanya ratusan orang melawan kafir quraisy yangg jumlahnya seribuan orang.

Tentu penyelenggara pemilu saat ini tidak sedang berhadapan dengan Abu Jahal yangg membawa seribuan pasukan. Namun ‘Abu Jahalisme’ bisa saja mempengaruhi sikap dan pemikiran seorang penyelenggara untuk melakukan tindakan yangg tidak sesuai dengan regulasi.

Oleh lantaran itu, Nabi memberikan kekuatan mental kepada para sahabat bahwa jihad itu balasannya adalah surga. Namun kudu dilalui dengan jalan yangg penuh liku-liku.

“Demi Dia yangg memegang hidup Muhammad. Setiap orang yangg sekarang bertempur dengan tabah, memperkuat mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lampau dia tewas, maka Allah bakal menempatkannya di dalam surga”.

Para penyelenggara mesti menjadikan pesan Nabi di atas sebagai kekuatan mental dan bentuk ketika melakukan beragam tahapan pemilu yangg juga tidaklah mudah. Karena dalam kenyataannya terkadang penyelenggara juga dihadapkan pada keadaan antara mempertahankan ‘idealisme’ alias ‘kompromi’ dengan realitas politik tanah air.

Jika kemudian setiap tahapan melangkah dengan sesuai regulasi, maka ini sudah menunjukkan sebuh kerja keras yangg membawa kebaikan bagi stafet kepemimpinan di negeri tercinta ini.

Idealisme dan Realitas Politik

Idealisme yangg dimaksud adalah penyelenggara haruslah konsisten dan beintegritas dengan tanggungnyajawabnya. Tidak ada yangg boleh mempengaruhi pikiran maupun tindakannya untuk melanggar regulasi.

Realitas politik terkadang berbeda dengan apa yangg ada dalam pikiran penyelenggara yangg mengharapkan kerakyatan melangkah dengan bebas, rahasia, jujur, setara dan terbuka. Karena kenyataannya tetap banyak yangg mencederai jalannya tahapan pemilu, seperti politik identitas, KKN, jual beli bunyi ataupun tergadainya netralitas.

Selain itu, penyelenggara juga kudu memaksimalkan partisipasi masyarakat, sosialisasi serta pendidikan pemilih. Ini dilakukan sebagai upaya untuk menyaring dan menjaring ‘pemilih cerdas’. Pemilih pandai diharapkan bisa untuk memilih calon pemimpin tertentu yangg bisa membawa kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat dan bukan calon yangg hanya pandai bersilat lidah.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id