Pendahuluan
Satu Islam ragam pemahaman. Maknanya, meskipun satu kepercayaan keyakinan nan sama kaum muslimin bisa mengekspresikan Islam nan warna-warni lantaran langkah memahami agamanya nan tidak sama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ukhuwah islamiyah. Itulah barangkali nan dapat mentalitemalikan Islam dan kaum muslimin seantero bumi tak terkecuali di tanah air.
Salah satu kebenaran keragaman nan hingga saat ini diperbincangkan antar sesama ummat Islam adalah persoalan rukyat dan hisab. Menariknya, perbedaan ini dirujukkan oleh masing-masing penganutnya pada satu sabda nan sama.
Hadis dimaksud adalah:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فاٍن غم عليكم فاقدروا له (رواه البخاري و مسلم واللفظ للبخاري)
Artinya: “Berpuasalah Anda sekalian lantaran memandang awal bulan dan ber-idul fithri-lah Anda sekalian lantaran memandang awal bulan. Ketika awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Tentang Makna Rukyat
Satu kata krusial nan termuat dalam sabda Nabi Saw di atas nan menjadi sumber terjadinya perbedaan pendapat adalah kata liru’yatih. Kata ru’yat alias rukyat adalah ism al-mashdar (gerund) dari akar kata kerja ra-a yaraa nan makna harfiyahnya adalah “melihat”.
Karena itulah misalnya Mu’jam Lughat al-Fuqaha (Qal’ahji, 1985:298) mengartikan rukyat sebagai “al-ibshar” memandang dengan mata. Dengan bingkai itu, penyusun Mu’jam ini menurunkan misal “wa minhu ru’yatu hilali ramadlana”, antara lain memandang awal bulan (hilal) Ramadan.
Sementara dengan support Al-Mu’jam Al-Mufahras li-Alfazh Al-Qur’an (Abdul Baqi:1984) terbaca bahwa ungkapan kata ra-a yaraa digunakan Al-Qur’an untuk dua pengertian sekaligus. Arti nan pertama memandang suatu barang secara visual sedangkan nan kedua memandang sesuatu dalam fikiran alias hati.
Untuk makna pertama berjumlah 26 % sedangkan untuk makna kedua lebih dari 74%. Untuk misal pertama, antara lain, Al-Qur’an menyebutkannya dalam Surah al-An’am (6) ayat 78 saat menceritakan pengalaman religiusitas Ibrahim: Falamaa ra-a sy-syamsa baazighah qaalaa haadzaa rabbii hadzaa akbar, tatkala Ibrahim memandang mentari itu terbit lampau dia berbicara “inilah Tuhan-ku ini lebih besar”. Sedangkan untuk makna kedua Al-Qur’an meyebutkannya, antara lain, dalam surah Al-Fiil (105) ayat 1: alam tara kayfa fa’ala rabbuka bi ash-haabil fiil, tidakkah Anda memandang gimana Tuhanmu memperlakukan pasukan gajah?
***
Kata kerja “melihat”pada ayat pertama tidak sama dengan “melihat” pada ayat kedua. nan pertama kata memandang ditujukan untuk sesuatu nan tampak dan terindera oleh mata ialah matahari. Sedangkan nan kedua, kata memandang ditujukan untuk sesuatu nan tidak tampak lantaran peristiwa penyerangan pasukan gajah nan dipimpin Abrahah dalam upaya menghancurkan Ka’bah itu terjadi jauh sebelum Nabi saw dilahirkan, bakal tetapi Allah menyuruh Nabi saw untuk “melihat” alias memperhatikan peristiwa itu tentu saja kali ini bukan dengan mata tetapi dengan hati dan fikiran Nabi saw.
Sealur dengan kandungan Al-Qur’an di atas, Ibnu Manzhur al-Mashri dalam karya monumentalnya, Lisan al-Arab (XIV:291), mengutip pernyataan Ibnu Sayyidih nan menegaskan bahwa kata rukyat itu adalah an-nadharu bil ’ayni wal-qalbi memandang sesuatu dengan mata dan hati (fikiran).
Dengan uraian makna rukyat sedemikian itu, maka terjemahan nan komplit untuk sabda di atas menjadi “berpuasalah Anda sekalian lantaran memandang alias menghitung awal bulan dan beridul fithri lah Anda sekalian lantaran telah memandang alias menghitung awal bulan jika awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi”.
Memilah antara Pesan Inti dan Pesan Sekunder
Abu Ishaq asy-Syathibi dalam karya magnum opusnya al-Muwafaqaat fi Ushul asy-Syari’ah (II:176-183) menegaskan bahwa ketika Syari’ menyampaikan pesan melalui firman Allah dan sabda Rasul-Nya, seorang pembaca pesan itu mesti memilah dan memastikan dengan seksama mana nan menjadi pesan inti (al-maqshad al-ashliy) dan mana nan sekedar pesan ikutannya (al-maqshad at-taba’iy).
Misalnya, Nabi saw berfirman “law laa an asyuqqa ‘alaa ummatii la amartuhum bis-siwaaki ‘inda kulli shalaatin”. Jika sabda tersebut dibaca dengan harfiyah dia menyebut tuntunan menggunakan siwak saat berwudu. Jika itu pesan nan disimpulkan (isthinbat) dari sabda tersebut itu tetap menyisakan pertanyaan. “Bagaimana dengan penggunaan sikat gigi dan odol?
Dengan pembacaan ala Syathibiyan penggunaan siwak bukanlah pesan inti sabda Nabi di atas. Sejatinya, Nabi saw sedang mengajarkan tuntunan bahwa ketika seorang muslim berwudu saat hendak menunaikan salat, dia mesti mengupayakan untuk membersihkan mulut dan gigi.
Untuk tujuan itu, Nabi menyebut satu perangkat alias sarana nan tersedia pada zamannya ialah perkakas nan berjulukan siwak. Dengan demikian penggunaan sikat gigi dan odol pada saat ini sama martabatnya dengan penggunaan siwak pada saat Nabi saw menyampaikan sabda siwak itu.
Bahkan lantaran pertimbangan-pertimbangan tertentu kaum Muslimin saat ini lebih memilih menggunakan sikat gigi dan odol daripada siwak. Demikianlah terhadap sabda “shuumuu liru’yatihi dan wa afthiruu li ru’yatih..” pun dapat dilakukan langkah pembacaan nan sama.
Dengan sabda di atas sejatinya Nabi saw menyebut kata rukyat bukan sebagai pesan inti. Pesan inti nan disampaikan Nabi adalah memastikan telah terjadi bulan baru untuk melakukan ibadah puasa dan idul fitri. Dengan demikian sabda “laa tashuumuu hattaa taraul hilaalaa walaa tufthiruu hatta tarawhu…” dapat dimaknai menjadi “janganlah Anda sekalian berpuasa hingga telah memastikan masuk awal bulan baru. Janganlah Anda sekalian ber-idul fithri hingga telah memastikan awal bulan baru”.
***
Selebihnya, sabda tentang rukyat itu kudu diposisikan sebagai sabda nan ber-‘illat. Yaitu sabda nan diberlakukan dengan memperhatikan karena nan menyertainya. Karena itu jika ditanyakan, gimana bulan baru itu dipastikan?
Pada era Nabi saw, bulan baru itu dipastikan dengan langkah merukyatnya alias melihatnya secara visual lantaran itulah langkah nan paling dimungkinkan pada saat itu mengingat kondisi umumnya kaum muslimin nan belum mempunyai tradisi berhitung. Karena penggunaan rukyat menurut teori ta’lilul ahkam itu sebagai keberlakuan nan sementara. Ini terungkap dari sabda Nabi saw “innaa ummatun ummiyyatun laa naktubu wa laa nahsubu…” kita gunakan rukyat lantaran kita tetap entitas ummi nan belum biasa menulis dan berhitung.
Memilih Hisab atas Rukyat
Sebagaimana halnya odol dan sikat gigi nan semartabat dengan siwak sebagai wahana membersihkan mulut dan gigi demikian halnya dalam memastikan bulan baru jika ditemukan langkah selain rukyat maka langkah tersebut sama martabatnya dengan rukyat.
Cara ini belum menjadi pengetahuan nan massif pada masa Nabi (laa nahsibu) tetapi sudah diisyaratkan Al-Qur’an dengan kata “husbaan” dalam Surah ar-Rahman (55) ayat 5 dan kata “wal-hisab” dalam Yunus (10) ayat 5 sebagai langkah nan bakal digunakan oleh kaum Muslimin sebagai wahana pemasti terjadinya awal bulan dan lain-lain. Sabda Nabi pasti adalah wahyu Allah lantaran itu ketika Nabi berfirman liru’yatihi tentu tidak memisahkannya dengan dua ayat nan disebutkan di atas. Ini sekaligus membenarkan apa nan dikatakan Muhammad ibn Idris asy-Syafi’ii bahwa al-ashlu qur’aanun wa sunnatun, sumber norma Islam itu Al-Qur’an dan as-sunnah dalam satukesatuan dan sejalan dengan apa nan dikatakan asy-Syathibi bahwa antaraAl-Qur’an dan as-Sunnah terjadi relasi nan saling memerlukan.
***
Setiap keterangandalam Al-Qur’an dijelaskan as-Sunnah demikian juga sebaliknya. Jika bingkai inidikembalikan pada konteks memposisikan antara hisab dan rukyat, maka sinergi nash Al-Qur’an dan as-Sunnah itu mengakui penggunaan rukyat dan hisab secarasekaligus dengan lebih memprioritaskan penggunaan hisab. Mengapa hisab diprioritaskan Al-Qur’an dan as-Sunnah daripada rukyat?
Hemat penulis kata menghitung (hisab dan husban) nan disebut Al-Qur’an mengindikasikan kepastian dan mengusakahan segala sesuatu secara terukur. Ini beda dengan kata rukyat nan sejak awal mengisyaratkan potensi kelemahan. Seorang bisa menyatakan memandang bulansabit sementara pada saat nan sama di tempat nan sama orang lain tidak melihatnya.
Dalam perihal ini, Nabi saw mengajarkan cukup dilakukan sumpah kepada orang nan mengaku memandang bulansabit itu, Kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Berulangkali di sini terjadi ketika diinginkan bulansabit itu terlihat oleh para pemantau bulansabit meskipun musthail untuk melihatnya maka dari sekian puluh pemantau itu ada beberapa nan mengkalim melihatnya meskipun menurut standar nan wajar sesungguhnya sukar untuk merukyat bulansabit dalam pemisah 2,5 derajat.
Sebaliknya ketika dikehendaki bulansabit itu tidak terlihat manakala ada satu dua orang nan mengaku memandang pengakuan ini tidak bakal dihitung sama sekali.
Memilih Hisab Wujudul Hilal daripada Imkanurrukyat
Ada dua metode hisab nan sering dipertentangkan pertama imkanurrukyat dan kedua wujudul hilal. Dari dua metode itu wujudul hilal nan dipilih Persyarikatan Muhammadiyah. Pilihan Persyarikatan pada hisab wujudul hilal sejalan dengan prinsip keilmuan nan dikemukakan oleh Filsuf berjulukan William Ockham Razor (1280-1347) nan menegaskan manakala untuk memastikan sesuatu ditemukan beberapa langkah pastikanlah dengan satu langkah nan lebih mudah dan memberikan kepastian segera.
Metode wujudul hilal memenuhi prinsip-prinsip keilmuan nan objektif, murah, mudah, dan memberikan kepastian. Dikatakan objektif lantaran nilai-nilai objektivitas wujudul hilal betul-betul jauh dari perkiraan nan susah untuk direalisasikan. Ini berbeda dengan metode imkanurrukyat nan mengasumsikan nomor derajat tertentu nan di lapangan jarang sekali teraplikasikan.
Ironi pada imkanurukyat adalah metode hisab nan semestinya memberikan kepastian menjadi susah untuk diaplikasikan lantaran adanya syarat derajat tertentu nan tidak dapat dikembalikan asal-usulnya pada andasan syar’I dan kelimuan. Dikatakan murah dan mudah lantaran dengan perangkat nan sangat sederhana seseorang dapat mempraktekkan metode wujudul hilal di manapun kapanpun tanpa memerlukan biaya sidang istbat nan miliaran rupiah itu.
Dikatakan memberikan kepastian lantaran wujudul hilal dapat segera memastikan suatu peristiwa itu terjadi dalam waktu nan segera jauh sebelum peristiwa itu terjadi sehingga segala sesuatu nan dihajatkan dapat dipersiapakan jauh sebelum hari-H nya. Analogi wujudul hilal sama dengan lampu lalulintas nan digital itu. Tatkala para pengguna kendaraan berakhir menunggu berjalannya waktu tertentu nan diprogram dan saat nomor menunjukkan nomor 0, para pengendara pun bersiap-siap melajukan kendaraannya tanpa menunggu nomor digital di lampu menunjuk nomor 2, 3,4, 5 dan seterusnya.
Akhirul Kalam
Mengingat konsistensi hasil kalkulasi hisab wujudul hilal sebagaimana terbuktikan pada tanggal 14 malam bulan purnama Syawal 1432, patut kiranya dipertanyakan penggunaan norma hukmul haakim ilzaamun wa yarfa’ul khilaaf? Pertama, konsistensi aplikasi kaedah itu perlu betul-betul diawasi terus menerus.
Kedua, dan ini lebih penting, jika diasumsikan putusan pemerintah dalam sidang istbat itu dikatakan menghapuskan perbedaan dan mengikat untuk diikuti oleh segenap penduduk kaum muslimin maka itu meniscayakan beberapa syarat dipenuhi terlebih dulu oleh pemerintah. Syarat tersebut nan terutama adalah seluruh keragaman nan dianut oleh beragam ormas mesti betul-betul disantuni dan diwadahi oleh pemerintah sehingga dirasakan setara untuk semuanya. Jika tidak dapat dipenuhi maka norma nan digunakan sebaiknya adalah tasharuful pemimpin ‘alarra’iyyati manuuthun bilmashlahati. Manakala perbedaan itu sukar untuk disatukan dalam satu kriteria berbareng maka diyakiniakan menjadi kemaslahatan bagi semua pihak manakala Pemerintah menampilkan dirisebagai pengayom perbedaan itu dengan mengedepankan nilai-nilai ukhuwah islamiyah.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
(Dinukil dari Majalah Dwi Mingguan Suara Muhammadiyah Oktober 2011).
Editor: Yahya FR
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·