Al-Qur’an Tidak Diadopsi dari Yahudi, Kritik Kepada Abraham Geiger - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Menjadi rahasia umum, Al-Qur`an yangg merupakan kitab suci umat Islam menarik para intelektual Barat untuk mengkaji isi Al-Qur`an secara ilmiah. Dengan latar belakang dan motif berbeda-beda, para pengkaji Timur (orientalis) berupaya menelaah isi kandungan Al-Qur`an menggunakan metode dan pendekatan tertentu.

Meskipun kebanyakan orientalis berupaya membuktikan ketidakotentikan Al-Qur`an, para sarjana muslim tidak hanya berdiam diri. Kritik atas kritik pemikiran Abraham Geiger bermunculan sebagai respon dan penyangkalan atas kesalahan interpretasinya.

Melacak Akar Kajian Orientalis terhadap Al-Qur`an

Kajian Barat terhadap Timur (orientalis) sangat subur terjadi sejak abad ke-16. Dipelopori oleh Yahudi dan Kristen sebagai reaksi kebencian terhadap Al-Qur`an. Semangat mereka juga didorong oleh kebencian atas kekalahan dari perang Salib. Berbagai istilah dan tuduhan dilontarkan terhadap orang Timur seperti irrasional, bejat moral dan kekanak-kanakan.

Mereka mau seluruh bumi menganggap Islam sebagai Kristen yangg sesat. Mereka menyebut Muhammad sebagai seorang plagiator, penyebar buletin bohong, pelaku sodomi dan lain-lain. Mereka terus gencar melakukan kajian-kajian ketimuran diberbagai lembaga, pusat studi keislaman sampai menyusup dalam golongan Islam sendiri.

Semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Motivasi mereka dalam gold, glory dan gospel ialah mencari sumber kekayaan, aspek Tuhan dan menyebarkan kepercayaan Kristen menambah kekuatan mereka untuk menghancurkan Islam. Hampir kebanyakan orientalis dilandasi kebencian terhadap Islam, meskipun sedikit sekali yangg murni mengkaji Islam atas dorongan ilmiah.

Ada tiga kajian orientalis terhadap Al-Qur`an, ialah kajian teks kitab suci, translator dan pemahaman muslim terhadap Al-Qur`an. Kemudian berkembang menjadi empat ialah terjemahan, sejarah, konsep-konsep Al-Qur`an dan pemahaman muslim dalam menafsirkan teks. Kajian yangg paling laku adalah tentang sejarah teks Al-Qur`an dan konsep-konsep Al-Qur`an.

Dalam menelisik sejarah teks Al-Qur`an, orientalis berupaya menemukan pengaruh tradisi biblikal dan Yahudi-Kristen dalam Al-Qur`an dengan beragam pendekatan yangg digunakan. Salah satu orientalis yangg menekuni kajian ini adalah Abraham Geiger.

Abraham Geiger dan Kritiknya Terhadap Al-Qur`an

Abraham Geiger lahir di Frankfurt, Jerman pada 24 Mei 1810. Sejak muda sudah menguasai Alkitab dan Talmud dengan bahasa Yunani dan Latin. Ia juga belajar Bahasa Arab dan Syiria di Universitas Heidelberg. Ketertarikannya pada kajian Timur ini melahirkan karya Was hat Mohammed Aus Dem Judenthume aufgenommen?.

Tahun 1832 Geiger ditunjuk menjadi rabi di Wiesbaden. Dia berkhutbah, menulis dan mengajar serta aktif bersosialisasi dengan rabi lainnya. Meskipun begitu, dia membikin aktivitas liberalisasi sehingga diusir oleh ortodoks Yahudi dan pindah ke Breslau. Tetapi usahanya membuahkan hasil sehingga Yahudi menjadi kepercayaan modern yangg menarik bagi orang Yahudi Eropa modern.

Berlatar belakang seorang rabi, kebencian Geiger terhadap Islam sudah mendarah daging. Sebagaimana orientalis lain, dia mau menunjukkan ketidakorisinilitas Al-Qur`an. Terlebih Yahudi yangg selalu mau mendeklarasikan diri sebagai kepercayaan tertua sehingga berupaya menunjukkan pengaruh Biblikal dan tradisi Yahudi dalam Al-Qur`an.

Dalam karya monumentalnya, Judaism and Islam, Geiger mengelaborasi Al-Qur`an menggunakan pendekatan kritik historis dan menyimpulkan dua garis besar. Pertama, Nabi Muhammad sebagai seorang plagiator. Kedua, Al-Qur`an merupakan buatan Muhammad yangg diadopsi dari Biblikal dan tradisi Yahudi.

Menurutnya, Muhammad ketika itu, sering berinteraksi dengan orang-orang Yahudi dan dekat dengan beberapa orang yangg pandai Alkitab. Seperti Waraqah Ibn Naufal, Abdullah Ibn Salam dan tetap banyak lagi. Selain itu, Muhammad tidak begitu mengerti kitab suci umat Yahudi. Sehingga berupaya mencari info dengan berinteraksi berbareng masyarakat. Dari sinilah lahir Al-Qur`an.

***

Abraham Geiger menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yangg sering mengecam orang-orang Yahudi itu disebabkan oleh ketidakpahaman alias kekeliruan Muhammad dalam belajar dan memahami Alkitab tersebut. Terlebih, info dan pengetahuan yangg didapat Muhammad waktu itu berbentuk oral, sehingga memunculkan kesalahan yangg lebih besar lagi.

Mengenai ketidakotentikan Al-Qur`an, Geiger membuktikan dengan beberapa bahasa, kosakata, tradisi, kisah, aliran moral dan doktrin kepercayaan dalam Al-Qur`an yangg berasal dari tradisi Yahudi. Geiger menemukan 12 kosakata dalam Al-Qur`an yangg kilahnya berasal dari bahasa Yahudi alias Ibrani. Seperti kata Jahannam, taurat, malakut, taghut, Rabbani dan lainnya.

Dalam aspek keagamaan alias doktrin agama, terdapat beberapa kesamaan antara Islam dengan Yahudi seperti pembuatan langit dan bumi dalam enam masa yangg juga disebutkan dalam Bibel. Selain itu, terdapat kesamaan aturan-aturan norma dan moral antara Islam dengan Yahudi seperti mematuhi perintah orang tua.

Beberapa pandangan hidup dan kisah yangg disebutkan dalam Al-Qur`an juga sama dengan apa yangg diajarkan dalam kepercayaan Yahudi. Seperti orang yangg meninggal bumi bakal meninggalkan segalanya selain kebaikan ibadah. Kesamaan-kesamaan itulah yangg kemudian ditegaskan oleh Geiger bahwa Al-Qur`an mengangkat dan mengadaptasi Biblikal dan tradisi Yahudi.

Dia mendasari semua penelitiannya menggunakan kritik sejarah, alias kondisi sosiohistoris Arab saat itu. Dia juga menganalisis menggunakan metode komparatif ialah membandingan Al-Qur`an dengan Bibel. Meskipun tindakannya ini menjadi awal injakan subur orientalis untuk mengkaji tentang teori pengaruh dalam Al-Qur`an, hasil pemikirannya tidak dapat diterima begitu saja akibat subjektifitasnya.

Kritik atas Kritik Abraham Geiger

Nabi Muhammad tidak mungkin mengarang Al-Qur`an dengan belajar dan berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Pertemuan Nabi dengan pendeta Buhaira di Syam berjalan sangat sigap dan setelah itu Nabi tidak berjumpa kembali. Pertemuan Nabi dengan Waraqah Ibn Naufal juga berjalan singkat sehingga sangat tidak mungkin Nabi belajar Alkitab kepada mereka.

Sedangkan pertemuan Nabi dengan pendeta Zibr ar-Rumi tidak ada kaitannya dengan keagamaan. Tuduhan orang-orang kafir yangg mengatakan Al-Qur`an berasal dari bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab) sangat bertentangan dengan Al-Qur`an. Dalam QS. Al-Nahl (16) : 103 jelas tertulis bahwa Al-Qur`an turun dengan bahasa Arab.

Islam datang bukanlah dari ruang sunyi (vacum historis), melainkan datang di tengah-tengah masyarakat dengan beragam culture yangg berbeda. Sehingga menjadi wajar jika adanya akulturasi tradisi-budaya dan bahasa dengan kepercayaan lain. Al-Qur`an datang ditengah hegemoni bangsa Arab yangg tidak hanya kaum Yahudi, tetapi pengaruh kebiasaan bangsa Arab waktu itu.

Termasuk adanya beragam macam bahasa saat itu yangg kemudian mengalami arabisasi. Para ustadz Islam seperti Imam Suyuthi, al-Zarkasyi dan al-Zarqani dalam kitab-kitab beliau sudah mengulas kosakata ‘ajam dalam Al-Qur`an yangg merupakan penegasan tentang beragam bagian pengetahuan pengetahuan sebelum dan sesudah Al-Qur`an diturunkan.

***

Beberapa tradisi Arab pra-Isam seperti ritual peribadatan, sosial politik dan budi pekerti yangg kemudian direspons oleh Islam dan berdialektika sehingga menghasilkan tiga perihal ialah tahrim (pemgharaman), tahmil (pengadopsian) dan taghyir (perubahan). Al-Qur`an menyaring tradisi kala itu yangg sesuai dengan hukum Islam. Maka tidak heran jika Al-Qur’an dan hukum kepercayaan Islam tetap terikat dan terhubung dengan agama-agama dan kitab-kitab sebelumnya.

Tor Andre dalam bukunya Mohammed The Man and His Faith mengatakan bahwa sumber original aliran Islam yangg datang dan berkembang sebagai sebuah kepercayaan baru tidak lain adalah dari sifat dan kepribadian Nabi  Muhammad. Dari pernyataan Tor Andre tersebut, terlihat bahwa sosok Nabi Muhammad adalah orang jujur yangg membawa kebenaran dan bisa dipercaya. Sehingga semakin mengukuhkan bahwa apa yangg disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah murni dari Tuhan, bukan karangan ataupun mengambil dari aliran kepercayaan lain.

Untuk itu, perlu adanya pembatasan dan penempatan masing-masing kitab suci sebagai kekhasannya masing-masing. Sehingga keterkaitan antar kitab suci bukan pada strata saling mengadopsi, namun dalam tataran saling berdialektika dengan pengetahuan penerima dan wawasan yangg berkembang di lingkungan di mana dia diturunkan. Wallahu a’lam.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id