Membicarakan persoalan pluralisme dan perbincangan antaragama sekarang ini seumpama “to put a new wine in the old bottle”. Artinya, rumor pluralisme adalah setua usia manusia dan selamanya bakal tetap ada. Seiring perkembangan era nan semakin beragam, oleh karenanya nan diperlukan bukanlah “ideal-language” nan berkarakter reduktif-positivistik, tetapi nan diperlukan adalah kepekaan baru nan lebih “bersahaja” untuk sepenuhnya menghargai keberagamaan dalam kehidupan (Ruslani, 2000).
Sebagai bangsa majemuk nan terdiri dari beragam agama, bahasa, ras, dan golongan etnik, Indonesia tidak pernah luput dari nan namanya ancaman perpecahan dan bentrok nan bernuasa primodial. Dalam catatan sejarah, ratusan bentrok komunal pernah Meletus di beragam area di Indonesia. Konflik-konflik ini belum lagi ditambah dengan adanya intensitas bentrok nan menggunakan simbol-simbol dan identitas keagamaan serta gelombang radikalisme nan terjadi pada ruang publik Indonesia (Taher, 2009).
Ledakan bentrok nan terjadi di pelbagai area Indonesia pasca Soeharto serta diikuti gelombang radikalisme kepercayaan menunjukkan adanya problem serius nan dialami bangsa Indonesia dalam menata multikulturalisme. Oleh lantaran itu, segala corak permusuhan perlu segera dihindarkan. Sebagai masyarakat nan kebanyakan berakidah Islam, sudah semestinya kita merubah langkah pandang kita dalam memandang orang lain.
Untuk saat ini, tidak relevan lagi kita memandang identitas keagamaan seseorang. Justru nan kudu kita lihat adalah sisi kemanusiaanya. Selain itu, jika selama ini kita memandang orang lain dengan penuh kebencian hanya lantaran berbeda secara agama, sudah saatnya kita memandang orang lain dengan cinta (Ali, 2015). Hal ini, sebagaimana diperjuangan oleh Fethullah Gulen dalam menebarkan kepercayaan cinta di tengah-tengah kalangan umat berakidah nan berbeda dan masyarakat nan beragam.
Biografi Fethullah Gulen
Muhammed Fethullah Gulen adalah seorang master sufi sekaligus peacemakers yang sangat popular di Turki. Ia lahir di desa Korucuk, dekat Erzurum, Turki timur, pada tahun 1941. Gulen dididik orang-orang nan berbudi pekerti sufisme. Ayahnya Ramiz Afandi dikenal sebagai ustadz nan santun, ibunya Rafi’ah Hanim dikenal sebagai wanita nan alim dan shaleh. Pada masa kanak-kanak, dia belajar di sekolah kepercayaan dan di surau-surau. Diantara gurunya adalah Utsman Bektasy seorang faqih nan terkenal pada masanya.
Sejak remaja dia banyak dipengaruhi pula oleh risalah al-Nur, suatu risalah nan ditulis Badi’uzzaman Said Nursi, seorang sufi terkenal pada masanya. Selama hidup, Gulen pernah mendapat wajib militer di Mamak dan Iskandruna. Setelah selesai menjalani wajib militer, Gulen kembali pada bumi dakwah. Ia melakukan aktivitas dakwah dari masjid Kistanah Bazari di Izmir dan berkeliling melakukan dakwah di seluruh wilayah barat Anatoli.
Dakwahnya pun mulai berkembang dan pada tahun 1990, Gulen memulai aktivitas nan mempelopori perbincangan dan saling pengertian antaragama dan pemikiran dengan diwarnai suasana kesejukan, jauh dari sikap fanatisme dan kebencian (Mu’ammar, 2017). Gerakan ini mencapai puncaknya pada pertemuan antara Fethullah Gulen dengan Paus Yohannes Paulus II di Vatikan dan John O’Connor (Uskup Agung New York).
Agama Cinta dan Toleransi Fethullah Gulen
Jauh sebelum terjadinya peristiwa 11 September, Gulen merasakan ada sesuatu dalam kehidupan umat Islam dan masyarakat bumi nan menggelisahkan alam pemikirannya. Hal itu dirasakan oleh Fethullah Gulen dari praktik militerisme, bentrok kepentingan, bentrok ras, serta bentrok agama, termasuk di Turki tempat Gulen dilahirkan.
Selain itu, Gulen juga menilai bahwa globalisasi telah membikin banyak perubahan esensial pada semua aspek kehidupan. Globalisasi selain bisa membawa perubahan secara cepat, juga diikuti oleh suburnya egoisme, individualisme, materialisme, dan sejumlah krisis etika lainnya. Globalisasi juga ditandai dengan munculnya ancaman terorisme dan kekerasan nan semakin mengglobal.
Dalam konteks pengamanan bumi kontemporer dari ancaman dunia inilah Gulen mendedikasikan dirinya melalui upaya-upaya pendidikan atas dasar cinta, toleransi, dan dialog. Dalam bukunya berjudul “Toward a Global Civilization of Love and Tolerance”, Gulen menawarkan sebuah jalan hidup berupa aliran Islam nan ramah di tengah-tengah ancaman terorisme dan radikalisme (Masduqi, 2011).
***
Gulen menyerukan toleransi dengan membawa secara bersama-sama aliran Qur’an, hadis, dan pandangan tokoh-tokoh inklusif, seperti Jalaluddin Rumi. Di sisi lain, Gulen membujuk non-Muslim agar melampaui prasangka (prejudice), kecurigaan (suspicion), dan kebenaran nan setengah-setengah untuk sampai pada pemahaman tentang Islam nan sejati. Bagi Gulen, interpretasi nan tepat dari aliran Islam adalah lebih mengajarkan pada nilai-nilai nan betul-betul spiritual, seperti pemaafan (forgiveness), kedamaian jiwa (inner peace), keselarasan sosial (social harmony), kejujuran (honesty), dan kepercayaan kepada Tuhan (trust in God) (Masduqi, 2011).
Selain itu, menurut Gulen, terorisme dan kekerasan merupakan akibat hilangnya cinta dan kasih sayang dari hati manusia. Cinta adalah obat mujarab bagi problem kekerasan. Cinta merupakan rantai nan mengikat manusia satu sama lain. Bahkan, alam semesta hanya bakal menjadi reruntuhan jika tanpa cinta. Pandangannya mengenai cinta sebagai obat dari segala bentu kekerasan tidak bisa lepas dari pengaruh pesan cinta Jalaluddin Rumi nan mengatakan bahwa, “Mari, datanglah dan bergabunglah dengan kami, lantaran kami adalah pecinta! Ayo, datanglah melalui pintu cinta”.
Cinta adalah mawar di dalam hati manusia nan tak pernah layu. Ajaran cinta bisa terjalin dengan baik jika kita mengedepankan sikap toleransi. Toleransi menurut Gulen adalah sikap menghormati orang lain, belas kasihan, kemurahan hati, dan kesabaran. Toleransi mengajarkan kita gimana langkah merangkul dan mengasihi orang lain tanpa memandang perbedaan pendapat, keyakinan, dan ideologi. Sebab Islam adalah kepercayaan toleransi, sebagaimana pengertian “Islam” itu sendiri, nan berasal dari akar kata silm dan salamah nan artinya menyerahkan diri, membimbing kepada kedamaian, dan membangun keamanan (Masduqi, 2011).
Referensi
Ali, M. (2015). Islam Mazhab Cinta (Cara Sufi Memandang Dunia). Jakarta: Penerbit Mizan.
Masduqi, I. (2011). Berislam Secara Toleran (Teologi Kerukunan Umat Beragama). Jakarta: Penerbit Mizan.
Mu’ammar, A. (2017). Studi Islam Kontemporer (Perspektif Insider/Outsider). Yogyakarta: Diva Press.
Ruslani. (2000). Masyarakat Kitab dan Dialog Antaragama (Studi Atas Pemikiran Mohammed Arkoun). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Taher, E. P. (2009). Merayakan Kebebasan Beragama (Bunga Rampai 70 tahun Djohan Effendi). Jakarta: Penerbit Kompas.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·