Surga Untukmu Mbak Ning - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 8 bulan yang lalu

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Perempuan ramah berkerudung itu sudah berumur di atas kepala lima. Meski begitu, dia terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. “Mbak Ning”, saya biasa memanggilnya dengan nama itu tanpa tahu siapa nama panjangannya. Gaya bicarannya lembut namun sarat keceriaan. Dengan logat Jawa unik Semarang dia bisa menjelaskan setiap perkara rumit menjadi mudah dimengerti. Logatnya medok tanpa dibuat-buat, beda dengan logat Jawa yangg diucapkan oleh Dian Sastro dalam Film Gadis Kretek. Saya diperkenalkan oleh istri sebagai kawan satu sekolah dulu saat sama-sama tinggal di Semarang.

Setelah duduk di mobil, telpon genggamnya berbunyi. Suara tukang ojek online itu terdengar jelas. Ia mengabarkan bahwa pesanan makanan sudah diantarkan
ke kantor, tetapi tidak ada orang. Mbak Ning kaget, makanan yangg dia pesan sore tadi itu untuk diantarkan besok pagi, dan bakal disajikan untuk rapat staf di pagi hari.

Saya terkesan dengan caranya mengatasi masalah yangg semestinya menjengkelkan. Sikapnya tenang, dia memaklumi bahwa tukang ojol itu pasti tidak tahu menahu soal agenda pemesanan. Alih-alih marah dia malah meminta pengantar makanan itu untuk membawa makanan itu ke rumah untuk disantap berbareng keluarganya.
Peristiwa sekilas itu sungguh menakjubkan. Impresi jiwa saya menyimpulkan bahwa wanita ini beradab baik, berupaya ikhlas, doyan berbagi, dan tidak mudah menyalahkan orang lain.

Setelah duduk di mobil, telpon genggamnya berbunyi. Suara tukang ojek online itu terdengar jelas. Ia mengabarkan bahwa pesanan makanan sudah diantarkan
ke kantor, tetapi tidak ada orang. Mbak Ning kaget, makanan yangg dia pesan sore tadi itu untuk diantarkan besok pagi, dan bakal disajikan untuk rapat staf di pagi hari.

Saya terkesan dengan caranya mengatasi masalah yangg semestinya menjengkelkan. Sikapnya tenang, dia memaklumi bahwa tukang ojol itu pasti tidak tahu menahu soal agenda pemesanan. Alih-alih marah dia malah meminta pengantar makanan itu untuk membawa makanan itu ke rumah untuk disantap berbareng keluarganya.
Peristiwa sekilas itu sungguh menakjubkan. Impresi jiwa saya menyimpulkan bahwa wanita ini beradab baik, berupaya ikhlas, doyan berbagi, dan tidak mudah menyalahkan orang lain.

Kisah Asmara

Mbak Ning menikmati bumi kerja yangg bisa mengantarkannya pada kehidupan nyaman di pinggiran Jakarta. Rumah pribadinya nyaman, asuransi kesehatan, tabungan hari tua, semua telah dipersiapkan dengan matang. Ia tidak mempunyai kendaraan pribadi lantaran sarana transportasi dari rumah ke kantornya cukup mudah. Waktu senggang selama berada di kendaraan umum menuju instansi dia gunakan untuk membaca berita, cerpen hingga novel.

Sejak remaja, dia sudah terbiasa hidup mandiri. Ia bisa menyelesaikan semua persoalan hidupnya tanpa intervensi keluarga. Kedua orang tua dan kerabat dekatnya hidup terpisah. Realitas kehidupan itu telah membentuk karakternya menjadi wanita yangg ulet, tekun, disiplin, dan mandiri.

Dalam sebuah perjalanan dinas menuju Sulawesi, dia duduk berdampingan dengan laki-laki sebaya yangg terlihat baik. Seperti skenario langit, malaikat telah mengatur tempat duduk dua makhluk itu duduk di bangku 42C dan 42B. Biasanya ketika sudah duduk di bangku pesawat dengan nyaman, dia bakal segera memejamkan mata lampau tidur pulas. Kali ini matanya tidak bisa betul-betul terpejam. Suara hatinnya menuntun untuk menyisakan ruang mini di kelopak matanya untuk bisa memandang wajah laki-laki yangg duduk di sebelahnya.

Saat pramugari menyajikan teh hangat, tiba-tiba terjadi turbulensi pesawat hingga menumpahkan air teh itu ke celana Mbak Ning. Secara spontan, laki-laki itu mengeluarkan sapu tangan dan tisu sekaligus lampau menyodorkan kepadanya. Saking kagetnya, matannya hanya bisa menatap tajam wajah laki-laki itu namun mulutnya tertutup rapat. Meski tisu dan sapu tangan sudah ada di tangannya, namun tetap tidak dia gunakan untuk mengelap celana yangg basah. Batinnya bertumpu pada pesona rasa yangg mendebarkan.

Perbincangan hangat selama dua jam terasa singkat. Pertautan jiwa keduannya terus tersambung secara intim melalui teknologi. Hubungan batinnya semakin menguat dengan saling berkunjung, saling mentraktir hingga saling memberi atensi pada persoalan yangg lebih personal. Sejak perkenalan, laki-laki itu bersikap gentle dengan identitas dirinya sebagai duda dengan dua anak lantaran istrinya meninggal dunia. Puncaknya, laki-laki itu mau meningkatkan hubungan batinnya dalam ikatan
perkawinan.

Perjanjian Pra Nikah

Tidak mudah bagi Mbak Ning untuk mengambil keputusan dalam perkara yangg sangat krusial dalam hidupnya. Langkah awal yangg bisa dia lakukan adalah mengusulkan penawaran dengan penuh keterusterangan kepada laki-laki yangg bakal menikahinya. Tawaran itu terdengar pahit, namun kudu dia sampaikan dengan segala risikonya.

Baca Juga: Madrasah Muallimat Terima International Teacher Exchange dari Streesmutprakan School Thailand

Pertama, Mbak Ning secara terbuka menyampaikan bahwa dia tidak terbiasa melayani pasangan di dalam hidupnya. Dia berharap, pasangan hidupnya mempunyai spirit kemandirian yangg sama. Mulai soal makan, pakaian, pemenuhan keperluan pekerjaan dan seterusnya. Untuk urusan domestik bakal dibagi bebannya dalam prinsip kesalingan.

Kedua, wanita ini tidak pernah mempunyai pengalaman mengasuh anak. Ke depan, dia pun tidak berambisi untuk bisa melahirkan anak dari rahimnya. Baginnya, usia yangg sudah lebih dari 48 tahun sangat rawan untuk bisa mengandung dan melahirkan seorang bayi.

Ketiga, dia berkomitmen mengasuh dan mendidik anak bawaan dari suami secara bersama-sama. Pola asuh yangg bakal diterapkan kepada mereka sesuai dengan budaya dan karakter kemandirian hidup yangg sudah terbangun di dalam dirinnya selama ini.

Keempat, sebelum menikah, dia sudah mempunyai properti, tabungan hari tua, asuransi dan seterusnya. Kepemilikan hal-hal tersebut tetap bakal menjadi milik Mbak Ning, lantaran semua itu diperoleh dari hasil keringat sendiri jauh sebelum menikah.

Kelima, sebelum menikah, pasangan ini bakal menandatangani surat perjanjian pra nikah yangg memuat klausul di atas. Jika di kemudian hari rupanya ada ketidakcocokan sehingga tautan pernikahan berakhir, maka surat perjanjian ini bakal menjadi rujukan.

Setelah terjadi kesepakatan, dia bersedia dinikahi laki-laki berumur 55 tahun. Dua orang anak bawaan suami bakal menyertai kehidupan rumah tangga pasangan ini. Anak pertama wanita kelas 3 SMA. Anak kedua lakilaki berumur 4 tahun. Tekadnya bulat untuk menjadi ibu dari kedua anak tersebut.

Butuh waktu cukup lama untuk menoleransi suasana jiwa atas hadirnya tiga orang baru di lingkungan hidupnya. Kehadiran tiga orang dengan tiga ragam kepribadian berbeda itu telah merubah orientasi hidupnya. Bisa dibayangkan, Mbak Ning besar dalam family Jawa, sekarang kudu hidup berbareng suami yangg berlatar belakang Sulawesi. Kedua anaknya, terbiasa diasuh oleh ibu dari Sumatera. Tekad kuat itu telah menjadi daya untuk membangun kultur baru di rumahnya. Ternyata, niat yangg kuat bisa menaklukkan semua kesulitan.

Prahara

Empat tahun menjalani kehidupan rumah tangga, pasangan ini merasakan kebahagiaan berarti. Keinginan keduanya untuk merintis sebuah budaya baru di dalam rumah tangga semakin terasa hasilnya. Suami menjadi sosok ayah yangg sangat mandiri. Anak-anak setiap hari memandang perilaku kedua orang tua yangg sangat mendiri, sehingga tidak susah bagi keduanya untuk menauladaninya. Kedua anak ini sudah mulai terbiasa melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan masing-masing secara mandiri.

Tantangan berat muncul di family mini ini saat pandemi Covid-19 datang. Sang bapak yangg rupanya mempunyai komorbid tidak bisa menahan serangan virus hingga ajal menjemputnya. Kesedihan begitu dalam dirasakan oleh family ini. Pedihnya, ketika berita kematian itu tersiar, tidak ada satu pun family dari mediang suami ataupun ibu dari anak-anak yatim piatu ini yangg hadir. Alasan pembatasan aktivitas lantaran pandemi virus Covid-19 bisa menjadi permakluman, ketiga orang ini bisa memakluminya.

Dua anak ini menjadi yatim piatu setelah kematian sang ayah. Wajah murung hingga larut dalam kesendirian terus berjalan selama beberapa waktu. Suatu malam menjelang tidur, Mbak Ning memanggil keduannya untuk berdiskusi. “Setelah ayah meninggal, ibu menyerahkan sepenuhnya kepada kalian berdua. Mama sangat senang jika kalian tetap tinggal di rumah ini hingga kapan pun. Namun, jika kalian mempunyai pilihan lain ibu tetap bakal mendukung,” tanyanya.

Setelah terdiam beberapa saat, anak wanita yangg sekarang sudah duduk di bangku kuliah itu langsung menjawab dengan tegas: “Saya ikut ibu di sini, di rumah ini.” “Bagaimana dengan adik?” Tanya Mbak Ning. Dengan wajah penuh kesedihan dia menjawab: “Saya ikut kakak dan ibu tinggal di sini.”

Pertemuan malam itu diakhiri dengan tindakan saling berpelukan dengan hangat. Air mata Mbak Ning tumpah lantaran kegembiraan yangg belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Di dalam hatinya dia tak henti hentinya mengucap “alhamdulillah” sembari terus mengucap: “Ya Allah, nikmat apa lagi yangg bisa saya dustakan, sungguh aku
bersyukur ya Allah…”

Selang beberapa bulan pasca kedukaan, tiba-tiba family almarhum laki-laki ini datang menemui kedua yatim piatu itu untuk meminta tanda tangan di surat kematian. Surat tersebut bakal digunakan sebagai bukti di dalam musyawarah family untuk pembagian tanah warisan di kampung halaman. Beberapa bulan berikutnya, family almarhumah ibu kedua anak yatim piatu itu juga datang jauh dari kampung halaman. Keperluannya sama, mereka meminta keduanya menandatangani
surat kematian ibunya yangg sudah beberapa tahun lamanya. Surat tersebut juga diperlukan untuk pembagian tanah warisan.

Beberapa tahun berlalu, kedua anak yatim piatu itu tidak pernah lagi mendapat buletin apapun tentang pembagian tanah warisan dari almarhum Bapak alias almarhumah Ibu. Hanya ada berita angin dari kerabat jauh bahwa tanah warisan dari kakek-neneknya sudah lenyap dibagi kepada saudara-saudara Bapak. Begitupun berita remang-remang dari family almarhumah ibu. Bagi anak wanita pertama yangg sedang menempuh kuliah di bagian hukum, realita itu terus menyisakan pertanyaan yangg tidak pernah dia temukan jawaban.

Dua anak yatim piatu itu terus berjuang menaklukkan tantangan hidup demi merintis harapan. Sementara kerabat bapak dan ibunya berpesta menikmati warisan kakek-neneknya. Mbak Ning terus bekerja keras menemani dua makhluk Allah yangg mulia itu untuk menggapai harapan.

Mbak Ning, jalan ke surga telah engkau rintis. Meski lelah, namun sinar mentari dan bulan itu selalu menerangi jalanmu. Ia nampak terang sekali, meski ada dalam kegelapan mata. Karena menyantuni anak yatim itu mulia, maka surga itu ada padamu.

*Penulis adalah Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id