Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pada tanggal (13/7) lalu, Serikat Taman Pustaka mengadakan sebuah aktivitas obrolan dalam rangka menyongsong Festival Literasi Taman Pustaka. Kegiatan obrolan ini diikuti oleh sejumlah taman baca alias apalagi taman pustaka yangg ada di bawah Muhammadiyah ataupun ‘Aisyiyah se-Indonesia.
“Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah tidak pernah lepas dari aktivitas literasi.” tegas Widyastuti dalam sambutannya. Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu dalam sambutannya menekankan bahwa kader-kader Muhammadiyah tidak boleh kering literasi. Menurut Widyastuti, perihal ini cukup terbukti dengan tetap eksisnya Majalah Suara Muhammadiyah hingga saat ini.
Dalam obrolan ini, beberapa pengurus taman baca menceritakan seperti apa dinamika taman baca yangg dikelolanya. Taman Baca Cahaya dari Lamongan misalnya, salah satu pengurus disana, Yono, menceritakan bahwa taman bacanya mulai kehilangan tempat untuk membuka forum. Sebelumnya, mereka sempat menempati Gedung Dakwah Muhammadiyah Belimbing. Karena dianggap kurang representatif dan dekat dengan pembaca, akhirnya mereka beranjak ke dekat Tempat Pelelangan Ikan.
“Masalah kami setelah pandemi ini adalah kurangnya relawan” lapor Yono. Ia mengeluhkan rekrutmen baru yangg hanya bisa menarik sedikit relawan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dahulu relawan taman bacanya adalah anak-anak IPM setempat yangg saat ini banyak merantau ke kota-kota lain.
Setelah Taman Baca Cahaya, Taman Pustaka KH Ahmad Dahlan Pulang Pisau juga menceritakan kisahnya. Berdiri pada tahun 2017, awalnya taman pustaka ini hanya pojok baca di masjid. Berkat pojok baca yangg dikembangkan dengan sungguh-sungguh tersebut, masjid yangg awalnya hanya 5 orang jemaah itu akhirnya menjadi masjid besar. Hal ini akhirnya mendapat perhatian dari Kemenag yangg saat itu sedang bekerjasama dengan Perpusnas. Taman Pustaka KH Ahmad Dahlan pun digadang-gadang menjadi pionir perpustakaan masjid di Indonesia.
Taman Pustaka KH Ahmad Dahlan ini juga mempunyai hambatannya sendiri. Taman Baca yangg telah mendapat support dari beragam pihak, termasuk Perpusnas itu, mengeluhkan tentang tidak adanya SDM yangg bisa menjadi pustakawan untuk mengelola calon perpustakaan yangg berasal dari pojok baca tersebut. “Padahal kita beberapa kali dituntut oleh Perpusnas dan Kemenag untuk melaporkan pengeluaran bulanan”.
Baca Juga: Perlunya Gerakan Seribu Taman Pustaka
Selanjutnya, David Effendi selaku pengelola Taman Baca Komunitas menceritakan sebenarnya seperti apa awalnya Serikat Taman Pustaka ini terbentuk. Berawal dari diinisiasi oleh beberapa pihak, serikat ini pun semakin berkembang dan menginspirasi penduduk persyarikatan di beragam daerah.
Dengan banyaknya geliat taman baca dan taman pustaka di beragam wilayah ini, semestinya perihal ini bisa dimaksimalkan dengan komitmen kuat untuk menjadikannya sebagai aktivitas pengetahuan Muhammadiyah. Hal ini bisa dimulai dengan memaksimalkan pengedaran ke beragam daerah, terutama di pelosok.
Kemudian, dia memberikan worldview-nya tentang dinamika industri perbukuan di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Ia menyesalkan penerbit-penerbit di Muhammadiyah yangg belum memberdayakan penulis-penulis pemula. Tidak hanya itu, segmentasi umur pada buku-buku yangg diterbitkan dari penerbit Muhammadiyah tetap sangat minim untuk remaja dan anak-anak. “‘Apa sumbangsih kita terhadap pemikiran para anak didik itu?”
Bagi David, Muhammadiyah sudah semestinya memerhatikan persoalan literasi ini. Demikian juga dengan Serikat Taman Pustaka selaku wadah bagi para penggiat literasi. (-lsz)
English (US) ·
Indonesian (ID) ·