
Sc: Klikdokter
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi*
Dalam lingkaran pertemanan saya di lingkungan mahasiswa dulu, ada dua orang kawan yangg memilih untuk menjalani pernikahan agak berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Seorang kawan laki-laki memilih untuk melakukan poligami, ketika merasa sedang berada pada puncak karir dengan kecukupan finansialnya. Dia menikahi secara diam-diam (sirri) seorang wanita muda yangg usiannya terpaut 20 tahun. Awalnya, tentu tanpa sepengetahuan istri pertama.
Satu kawan lain saya adalah seorang wanita yangg memilih untuk menjadi istri ke dua, juga dengan status penikahan tidak resmi menurut norma Negara. Ketika itu, dia memang silau dengan kemewahan style hidup seorang laki-laki yangg sedang menyukainnya. Meski terpaut umur cukup jauh, laki-laki ber anak-istri itu sedang menjadi pejabat krusial di sebuah Kementerian. Ia berjanji bakal menjadi suami dari dua orang istri yangg bakal dia perlakukan secara adil. Ia juga berjanji bakal mencukupi semua kebutuhan keduannya dengan standar yangg lebih baik.
Dampak Ikutan
Seiring dengan berjalannya waktu pernikahan keduannya, kawan laki-laki saya yangg dulu asyik, periang, ramah dan mudah bergaul, mendadak berubah drastis. Ia menjadi laki-laki pemurung, sensitif, mudah tersinggung. Tampilan fisiknya nampak jauh lebih tua dari rekan-rekan sebayannya. Uban memenuhi isi kepala, rambut acak-acakan, kumis dan jenggot dibiarkan tumbuh liar tak terpelihara. Setiap kali ada pertemuan reuni, dia nampak selalu gelisah, banyak sekali keluhan muncul dari dirinya, seolah berat sekali beban hidupnya.
Telpon genggam kawan laki-laki ini terus menerus berdering. Ia selalu menjauh saat berkomunikasi melalui telepon. Suarannya pelan, seolah takut sekali omongannya didengar orang lain. Salah satu kebiasaan buruknya adalah, dia sering sekali membikin ketidakejujuran kecil. Misalnya, dia bilang sedang rapat krusial berbareng rekan kerja, padahal kami sedang ngopi. Saya tahu lantaran dia terkadang memvideokan muka saya yangg diakuinnya sebagai kawan kantor. Saya selalu tergagap-gagap, salah tingkah, ketika dipaksa ikut nimbrung dalam skenario obrolan berbareng istrinya.
Kebiasaan asing lainnya adalah dia sering sekali mengganti nomer telepon pribadi. Dalam hitungan bulan, dia sudah berganti 3-4 kali. Ia pun tidak merasa cukup dengan satu buah telpon genggam. Dua perangkat telpon genggamnya telah menjadi properti paling keramat, sarat kerahasiaan, hingga kudu betul-betul dia jaga dari sentuhan siapapun. Bahkan, telpon genggam itu kudu dia bawa ketika masuk ke bilik mandi alias ke toilet dalam waktu lama. Saat hendak tidur, dia bakal memasukkan ke dalam laci yangg terkunci rapat.
Perjalanan hidup kawan wanita saya tidak seaneh kawan laki-laki, namun cukup pedih. Dia sedang senang dengan kehidupan serba cukup berbareng dua anak yangg tetap balita. Tiba-tiba suaminya meninggal bumi secara mendadak di kantor. Sedihnya, sebagai istri tidak resmi, dia tidak berani datang ke tempat penguburan, lantaran takut dengan istri pertama. Ia hanya bisa menangis keras memeluk ke dua anaknya yangg belum bisa diajak berbagi kesedihan.
Selang beberapa minggu pasca kematian, ada tamu yangg bertandang. Seorang wanita paruh baya beserta tiga orang remaja. Sang ibu yangg tampak mewah dan berkarisma itu menyampaikan pertanyaan singkat.
“Anda siapa kok tinggal di rumah family kami?” tanyannya.
“Saya istri dari Bapak RK (inisial almarhum),” jawabnya sembari menangis.
“Istri? Ada bukti pernikahan cengkir Bapak RK?” pertanyaan selanjutnya.
“Tidak ada,” jawabnya lemah.
Baca Juga: Peran Ayah sebagai Orang Tua Tunggal
Singkat cerita, Ibu dan ketiga remaja itu menjelaskan bahwa mereka adalah family inti dari almarhum RK, dari hasil perkawinan yangg sah, legal menurut patokan negara dan agama. Mereka berpesan bahwa properti (mobil dan rumah) milik family almarhum kudu dikembalikan kepada family yangg sah. Ia diberi waktu satu bulan untuk meninggalkan kunci rumah. Sedangkan mobil yangg digunakan adalah milik Negara dan segera diserahkan ke kantor.
Meski siang itu langit cerah, namun hati wanita muda ini mendadak gelap. Kepala dan batinnya penuh sesak dengan tanda tanya yangg tidak bisa dia jawab seketika. Ia menangis se jadi-jadinnya. Kedua anaknya hanya bisa berdiri separuh tegap. Keduannya ikut menangis keras, meski tidak tahu mereka menangis lantaran apa. Sebulan kemudian, Ibu muda ini memutuskan pulang ke kampung halaman, menemui ibu kandung dan menumpang hidup untuk sementara.
Allah pasti dan selalu menjamin kebaikan semua mahkluk-Nya. Perempuan muda ini tidak berlama-lama larut dalam kesedihan. Ia bangkit pelan-pelan, menggunakan segala keahlian yangg selama ini terpendam, hingga tumbuh menjadi ibu tunggal secara mandiri. Ia memahat pesan kuat di batinnya, bahwa; “hanya keledai yangg bisa jatuh dua kali ke dalam lubang yangg sama.”
Hakekat Poligami
Menemui sepenggal kisah yangg dialami oleh ke dua kawan saya itu telah membikin jiwa saya perih dan terkoyak. Mimpi mereka untuk mendapatkan sebuah kesenangan itu mendadak pupus. Keterpisahan jarak antara mimpi bagus dan realita pahit itu begitu tipis. Kenyataan yangg ada begitu nyata, semu dan tidak seimbang. Perjalanan hidup mereka telah memberi pesan sangat kuat, penuh kejujuran, seperti cermin besar yangg utuh, bersih, hingga bisa memantulkan raut wajah saya yangg sebenarnya.
Dalam waktu yangg sama, saya menemukan sebuah kitab saku yangg mengupas masalah poligami dengan uraian penjelasan yangg gamblang. Argumentasi keagamaan di dalam kitab itu sangat kuat. Ada dalil-dalil yangg berasal dari al-Quran dan Hadis dengan tafsiran yangg logis, memenuhi standar otoritas dari para ilmuan yangg mumpuni. Buku berjudul Pandangan Islam tentang Poligami itu ditulis oleh Musdah Mulia, diterbitkan oleh Lembaga Kajian Agama & Jender dan Solidaritas Perempuan, atas support The Asia Foundation, tahun 1999.
Buku ini mengupas bab tentang; Menyikap Tabir Poligami, lampau Poligami dalam Perspektif Islam, Implikasi Poligami, Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah Mengenai Poligami dan terakhir Kesimpulan.
Ibarat “Mengajari Ikan Berenang”, saya tidak akang mengupas substansi kitab di dalam tulisan ini. Silahkan membaca sendiri dengan hati terbuka. Saya bersaksi, bahwa ulasan di dalam kitab itu sangat jernih. Argumentasi yangg disajikannya sah dengan sumber rujukan yangg otoritatif. Pilihan bahasanya ringan, lugas, renyah dan sangat mudah dimengerti.
Saya juga tidak bakal memperdebatkan mengenai norma kepercayaan mengenai boleh-tidaknya melakukan praktik poligami, baik secara norma Negara ataupun Agama. Bagi yangg hendak melakukan poligami lantaran argumen hendak meniru praktik yangg pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, saya merekomendasikan untuk membaca kitab mini ini. Ia telah menjelaskan secara gamblang latar belakang, argumen dan praktik pernikahan yangg setara yangg dilakukan oleh Nabi. Semoga pandangan para pembaca kitab ini bisa semakin terlengkapi hingga sukur-sukur bisa tercerahkan setelah membacannya.
Kesimpulan akhir yangg saya amini setelah membaca kitab ini adalah, bahwa praktik pernikahan Rasulullah, bukan semata untuk menyalurkan syahwat yangg jauh dari maslahat. Selamat Membaca.
*Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan
English (US) ·
Indonesian (ID) ·