
Ilustrasi: Bincang Muslimah
Oleh: Hamim Ilyas*
Poligami alias perkawinan dengan istri lebih dari satu dalam waktu yangg sama, terus menjadi kontroversi di kalangan umat. Kontroversi ini tidak terlepas dari realita bahwa kepercayaan dengan lembaga-lembaganya, termasuk lembaga perkawinan, terbangun berasas kepercayaan. Kenyataan ini diungkapkan oleh banyak tokoh Muslim, “Allah membolehkan poligami, manusia tidak boleh melarangnya.”
***
Kepercayaan Allah membolehkan poligami didasarkan pada al-Quran yangg membicarakan kebolehan poligami dengan persyaratan sosial, etis, dan pembatasan jumlah tertentu. Pembicaraan demikian menunjukkan bahwa poligami dalam Islam bukan merupakan satu aliran yangg dogmatik-ta’abbudi (tidak dapat dipahami), tetapi rasional-ta’aqquli (dapat dipahami). Karena itu, kepercayaan Allah membolehkan poligami berada dalam jangkauan manusia untuk memahami latar belakang, maksud, dan tujuan Dia mengaturnya.
Pemosisian kepercayaan rasional-ta’aqquli-nya poligami merupakan aliran sesuai dengan pendirian mazhab Islam Berkemajuan bahwa Islam adalah kepercayaan yangg fungsional, mewujudkan kebaikan hidup hamba-hamba Allah di bumi dan alambaka (Masalah Lima) dengan ukuran perdamaian dan kesejahteraan (Kepribadian Muhammadiyah nomor 1).
Pendirian demikian sudah peralatan tentu berasas pandangan bumi bahwa hubungan Allah dengan alam ciptaan-Nya berkarakter ideasional, hubungan yangg dapat dipahami, tidak absolut mistri. Maksudnya, pengaturan poligami oleh Allah, yangg kemudian menjadi lembaga “mapan” dalam Islam, semestinya dipahami untuk mewujudkan rahmat-Nya melalui risalah yangg diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
Islam Tidak Memperkenalkan Poligami
Al-Quran mengatur poligami dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 3, 20 (dan 21), dan 129. Ayat-ayat ini turun dengan adanya asbabun nuzul, yang dalam perihal ini adalah asbabun nuzul makro menurut asy-Syathibi, yaitu muqtadla al-hal (situasi dan kondisi) yangg melingkupi khitab (pembicaraan), al-mukhathib (pihak yangg membujuk bicara), dan al-mukhathab (pihak yangg diajak bicara) (asy-Syathibi, 2005: III, 258).
Pembicaraan ayat-ayat itu tentang praktik poligami di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam yangg menurut keterangan sekelompok ustadz salaf (sahabat dan tabi’in) dilakukan laki-laki sesuai dengan kehendak hatinya (Shidiq Hasan Khan, 1992: III, 16). Keterangan ini menunjukkan bahwa di kalangan mereka tidak ada pembatasan jumlah istri dalam poligami sehingga bisa saja seorang laki-laki menikahi tidak hanya belasan, apalagi puluhan alias ratusan istri.
Beberapa sabda memang menyebut bahwa sekelompok orang Arab pada era Nabi, ketika masuk Islam, mempunyai istri tidak sampai belasan: Ghailan bin Salmah ats-Tsaqafi beristri 10 orang (H.R. Ahmad), al-Harits bin Qais al-Asadi beristri 8 orang (H.R. Abu Dawud), dan Naufal bin Mu’awiyah ad-Daili beristri 5 orang (H.R. asy-Syafi’i). Hadis-hadis ini hanya mengungkapkan fakta praktik poligami di kalangan sebagian mini mereka, bukan seluruhnya.
Selanjutnya, dari al-Quran dapat diketahui bahwa poligami sekehendak hati di kalangan masyarakat Arab pra-Islam dilaksanakan dengan kesewenang-wenangan terhadap istri. al-Quran surat an-Nisa’ [4] ayat 20 menunjukkan kesewenang-wenangan suami yangg mengambil paksa kekayaan istrinya agar dapat melaksanakan poligami; dan surat an-Nisa’ [4] ayat 129 menunjukkan kesewenang-wenangan suami menelantarkan istri sehingga tidak jelas status dan menjadi jelek nasibnya.
Asbabun nuzul di atas jelas menunjukkan bahwa dalam pengaturan poligami, Islam tidak memperkenalkan dengan menginisiasinya sebagai lembaga perkawinan baru. Dalam pengaturannya, Islam menetapkan patokan (regulasi) meliputi beberapa aspek mendasar untuk memperbaiki praktik poligami yangg ada di kalangan masyarakat yangg menjadi sasaran dakwahnya.
Regulasi I: Pembatasan Jumlah Istri
Aspek mendasar pertama yangg diatur al-Quran adalah jumlah istri yangg diperbolehkan dalam poligami dengan menetapkan pemisah maksimal jumlah istri 4 orang. Regulasi ini ditetapkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ [4] ayat 3 dan bertindak bagi seluruh umat Islam. Dalam pengaturan ada pengecualian bagi Nabi Muhammad saw. sebagai patokan khusus, yangg diperbolehkan poligami dengan lebih dari 4 istri.
Peraturan unik bagi Nabi dengan pertimbangan-pertimbangan: menghormati orang yangg berjasa besar dalam Islam, ialah Abu Bakar dan Umar bin Khatab, (pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah dan Hafsah); memberi penghargaan kepada aktivis dan pejuang Islam dan kemanusiaan (pernikahan Nabi dengan Ummu Salmah dan Ummul Masakin Zainab binti Khuzaimah); pengembangan dakwah Islam (pernikahan Nabi dengan Juwairiah dan Mariyah Qibtiyah); rekonsiliasi family suku Quraisy (pernikahan Nabi dengan Ramlah binti Abi Sufyan); dan dekonstruksi norma Jahiliah (pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy).
Baca Juga: Khitan Perempuan: Tradisi alias Syar’i?
Pertimbangan-pertimbangan itu terbukti efektif. Sekadar sebagai contoh dikemukakan keberhasilan pertimbangan dakwah dalam poligami Nabi dengan Juwairiyah, puteri kepala suku Ghathafan. Nabi menikahinya setelah memerdekakannya dari status sebagai budak yangg disandangnya akibat sukunya kalah bertempur dengan kaum Muslimin. Suku Ghathafan merupakan satu keluarga.
Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi memerdekakan dan menikahi Juwairiyah, maka mereka memerdekakan seluruh penduduk suku Ghathafan yangg lain lantaran merasa tidak elok memperbudak family Nabi. Karena dimerdekakan sehingga tidak menjadi budak akibat kalah perang, maka seluruh penduduk suku Ghathafan berjumlah sekitar 3000 orang masuk Islam.
Regulasi II: Syarat Darurat Sosial
Aspek kedua yangg diatur al-Quran adalah syarat kondisi masyarakat. Syarat kondisi ini diatur dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 3 yangg menghubungkan izin poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Berdasarkan asbabun nuzul makro, syarat kondisi ini dapat diketahui dengan merekonstruksi sejarah ketika ayat itu diturunkan pada tahun ke-4 H. Pada waktu itu umat baru saja mengalami kekalahan besar dalam Perang Uhud yangg menelan korban 70 orang laki-laki dewasa sebagai syuhada. Jumlah itu sangat besar untuk ukuran mereka yangg jumlah kaum prianya belum banyak.
Ketika itu, sebagaimana masa-masa sebelum dan sesudahnya, laki-laki menjadi tumpuan keluarga. Dengan gugurnya 70 laki-laki Muslim itu, banyak wanita menjadi janda dan banyak anak menjadi yatim dalam keluarga-keluarga yangg kehilangan penopang ekonominya. Dengan kata lain, di Madinah, pusat pemerintahan Islam yangg baru tumbuh ketika itu, terjadi booming janda dan anak yatim yangg potensial menjadi terlantar.
Pada masa ketika tribalisme tetap menjadi struktur sosial masyarakat Arab, perihal itu tidak menjadi persoalan lantaran kepala suku yangg mempunyai tanggungjawab memberikan agunan sosial kepada warganya, bakal memberi santunan kepada mereka. Namun, keadaan kemudian berubah seiring dengan perkembangan Hijaz menjadi rute perdagangan dari Yaman ke Syiria, yangg mendorong masyarakat Arab perkotaan berubah menjadi masyarakat perdagangan dengan segala konsekuensinya, seperti individualisme, pemanfaatan terhadap yangg lemah, dan persaingan.
Islam tidak memutar jarum jam sejarah mereka kembali ke masa purba, tetapi memperbaiki keadaan yangg ada dengan menekankan persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Karena itu, ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yangg gugur di medan perang, Nabi tidak berkedudukan sebagai kepala suku yangg menyantuni janda dan anak-anak yatim yangg mereka tinggalkan, tetapi sebagai kepala negara yangg kudu menjamin kesejahteraan warganya. Karena kas negara terbatas alias apalagi tidak ada, maka warganya yangg mempunyai keahlian secara mental dan material dihimbau untuk menanggulangi krisis itu dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial.
Dari paparan sekilas ini dapat diketahui bahwa poligami dalam Islam sebenarnya menjadi patokan yangg bertindak ketika terjadi darurat sosial, tidak dalam situasi normal dan “darurat” individual, seperti yangg dirumuskan dalam buku-buku fikih dan undang-undang perkawinan di beberapa negara Muslim.
Regulasi III: Syarat Tidak Sewenang-Wenang
Di samping persyaratan kondisi darurat sosial, pengaturan poligami dalam al-Quran juga menyasar pada aspek ketertiban hidup berkeluarga. Maksudnya poligami yangg dilakukan suami kudu tetap menjamin kedamaian family dengan seluruh personil family mempunyai rasa kondusif kolektif.
Pewujudan ketertiban hidup berfamili diatur dengan izin larangan suami melakukan kesewenang-wenangan terhadap istri. Al-Quran surat an-Nisa’ [4] ayat 20 melarang suami mengambil kembali kekayaan yangg telah diberikan kepada istri demi dapat melakukan poligami. Harta yangg dilarang untuk diambil ini dapat berupa mahar, nafkah, hadiah, dan hibah.
Selanjutnya, al-Quran surat an-Nisa’ [4] ayat 129 melarang suami melakukan kesewenang-wenangan dengan menelantarkan istri sehingga menjadi terkatung-katung (al-muallaqah), dalam pengertian tidak jelas statusnya: tetap menjadi istri alias sudah menjadi janda. Kesewenang-wenangan demikian tentu membikin istri merasa tidak tenteram lantaran merasa tidak kondusif secara ekonomi dan sosial.
Regulasi IV: Syarat Adil
Pembatasan jumlah istri dalam poligami dengan syarat darurat sosial dan agunan ketertiban hidup berfamili dalam al-Quran ditetapkan dengan kerangka etika sosial alias keadilan. Dengan pengaturan ini Islam bermaksud untuk mewujudkan keadilan dalam family dan masyarakat. Keadilan dalam family diwujudkan dengan larangan sewenang-wenang di atas dan dengan menetapkan syarat setara untuk bolehnya poligami.
Syarat setara ini ditetapkan dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 3 dengan ungkapan fa in khiftum an la ta’dilu fa wahidatan, “apabila Anda cemas tidak setara maka nikahilah satu wanita (saja)”. Istilah setara yangg digunakan dalam ungkapan ini adalah al-‘adl yang mempunyai pengertian wadl’u syai’in fi mahallihi (meletakkan sesuau pada tempatnya) dan al-mu’amalatu bi al-mitsli (memberi perlakuan secara “sama”).
Baca Juga: Istri Berpuasa Sunah, Apakah Harus Izin Suami?
Ini berfaedah bahwa poligami boleh dilaksanakan dengan syarat suami dapat memberi perlakukan yangg proporsional dan tidak diskriminatif terhadap istri-istrinya. Syarat ini, sesuai dengan ungkapan “apabila Anda khawatir,” wajib ada dalam diri suami sebagai kepercayaan sehingga jika dia tidak percaya maka berfaedah dia tidak memenuhinya.
Pembicaraan al-Quran surat an-Nisa’ [4]: 4 tentang syarat setara tetap terbuka, dalam pengertian ada kemungkinan suami dapat memenuhinya. Hanya saja al-Quran surat an-Nisa’ [4] ayat 129 menegaskan wa lan tastathi’u an ta’dilu bainan nisa’ wa law harashtum, “dan Anda tidak bakal dapat setara di antara istri-istri(mu) walaupun Anda sangat menginginkan”. Penegasan ini menunjukkan bahwa syarat setara tidak bakal dapat dipenuhi oleh suami. Dengan demikian, syarat setara itu menjadi tertutup sehingga secara etis poligami tidak dibolehkan.
Namun, lantaran poligami pada era Nabi menjadi tradisi yangg sangat kuat, apalagi tidak dapat ditawar, maka al-Quran memberi toleransi kepada para pelaku poligami dengan ungkapan fa la tamilu kulla almail fa tadzaruha ka al-mu’allaqah, “kamu jangan terlalu condong (kepada istri yangg Anda cintai) sehingga meninggalkan yangg lain terkatung-katung”. Dengan demikian, toleransi ini diberikan dengan catatan tidak ada penelantaran sosial dan ekonomi sebagaimana diuraikan di depan.
Karena poligami itu hanya menenggang tradisi maka kelanjutan al-Quran surat an-Nisa’ [4] ayat 129 menegaskan wa in tushlihu wa tattaqu fainna Allah kana ghafuran rahima, “dan andaikan Anda mengadakan perbaikan dan bertakwa maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Penegasan ini menunjukkan bahwa tradisi poligami dengan praktiknya yangg tidak setara kudu diperbaiki dengan penuh kesadaran untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (takwa). Perbaikan ini susah sehingga Allah menyediakan pembebasan dan rahmat bagi mereka yangg telah melakukannya, meskipun belum berhasil.
Apa ukuran keberhasilan memperbaiki tradisi poligami? Ukuran berasas etika (akhlak), sesuai dengan tidak etisnya poligami dalam pandangan al-Quran, adalah tiadanya praktik poligami dalam masyarakat. Suka maupun tidak suka, bangsa Indonesia sejak tahun 1970-an secara umum telah menempuh proses penghapusan lembaga poligami melalui Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Dalam undang-undang ini ditetapkan arti dan asas-asas perkawinan, termasuk asas monogami, serta patokan untuk mempersulit poligami, yangg sesuai dengan aliran al-Quran yangg otentik. Proses munkarisasi lembaga poligami yangg berjalan dalam masyarakat saat ini, sebagaimana tergambar dalam kontroversi yangg disinggung di atas, tidak dapat dilepaskan dari otentisitas ini.
Harapannya proses munkarisasi ini berujung pada ukuran etis al-Quran, yangg berfaedah tercapainya tujuan Risalah Islam Rahmatan lil ‘Alamin, mewujudkan hayah thayyibah (hidup baik) dengan tiga ukuran, ialah sejahtera sesejahtera-sejahteranya, tenteram sedamai-damainya, dan senang sebahagia-bahagianya bagi seluruh makhluk Allah.
*Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
English (US) ·
Indonesian (ID) ·