PENDAHULUAN
Istilah Manhaj Tarjih akhir-akhir ini semakin menempati posisi krusial dalam pemikiran keagamaan di Muhammadiyah. Meski istilah Manhaj Tarjih baru mengemuka beberapa dasawarsa belakangan ini, namun substansi wawasan dan pola pemahamannya sudah berkembang semenjak awal perkembangan Muhammadiyah. Perumusan Manhaj Tarjih sejalan dengan tumbuhnya kesadaran di kalangan ustadz Muhammadiyah bahwa wawasan, prinsip, pendekatan dan metode keagamaan Muhammadiyah perlu dirumuskan secara jelas agar bisa menjadi referensi berbareng ustadz dan penduduk persyarikatan.
Oleh lantaran itu Manhaj Tarjih sebenarnya adalah kristalisasi pandangan dan praktik keagamaan di Muhammadiyah ke dalam rumusan yangg lebih jelas. Contohnya adalah Rumusan Pokok Manhaj Tarjih Tahun 1986 yangg salah satu menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengikatkan diri dalam salah satu madzhab hukum, meskipun pendapat madzhab norma bisa dijadikan rujukan sepanjang sejalan dengan jiwa Alquran, sunnah, dan dasar lain. Rumusan ini baru, tetapi sudah dipraktekkan di Muhammadiyah semenjak lama.
Sebelum berdirinya Majelis Tarjih tahun 1928 (setelah diusulkan pada Muktamar Tahun 1927), Muhammadiyah sudah menjalankan shalat Idul Adha di lapangan tahun 1925. Pada tahun 1927, Muktamar Muhammadiyah mendorong penggunaan bahasa pribumi dalam khutbah Jumat. Meskipun saat itu dianggap belum lumrah, saat ini khutbah menggunakan bahasa setempat, meski bacaan-bacaan tertentu tetap berkata Arab sudah diterima luas. Praktik tersebut dulu menimbulkan kritikan lantaran dipandang tidak sesuai dengan pendapat umum di kalangan madzhab fikih.
Hal yangg sama bertindak pada penggunaan hisab untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal. Meski penggunaan hisab tidak dimulai oleh Muhammadiyah, namun Muhammadiyah dikenal sebagai pendukung penggunaan hisab, yangg di kalangan ustadz madzhab pun bukan dipandang sebagai pendapat mu’tamad mereka. Hisab dipergunakan pula oleh Kiai Ahmad Dahlan untuk mengukur ulang arah kiblat. Penggunaan hisab secara penuh ini rupanya lebih sesuai untuk Menyusun almanak Hijriyah Global.
Semua itu menunjukkan bahwa Manhaj Tarjih, meskipun baru dirumuskan secara rinci tahun 1986-an dan disempurnakan secara sistemik tahun 2000, telah dipraktikkan sejak awal perkembangan Peryarikatan. Manhaj Tarjih adalah ekstraksi dan ekspansi pemahaman dan praktik keagamaan dan ijtihad para ustadz Muhammadiyah dari masa ke masa. Makalah pendek ini dimaksudkan untuk menguraikan apa dan gimana Manhaj Tarjih untuk mendeskripsikan perkembangn konsep tarjih dan rumusan Manhaj Tarjih.
APA MANHAJ TARJIH
Istilah Manhaj Tarjih terdiri dari dua kata, ialah ‘manhaj’ dan ‘tarjih’. Term manhaj sebenarnya tidak lazim dipergunakan dalam norma Islam. Dalam norma Islam, metode ijtihad dibahas dalam ushul fikih dan norma fikih, sedangkan hasilnya dibahas dalam pengetahuan fikih. Dus, istilah manhaj tidak sama dengan ushul fikih, meskipun di Muhammadiyah kaidah-kaidah ushul menjadi bagian dari ‘Manhaj Tarjih.’ Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2015-2022, menjelaskan bahwa istilah ‘Manhaj Tarjih’ secara harfiah berfaedah langkah melakukan tarjih, namun Manhaj Tarjih lebih dari sekedar langkah bertarjih.[1] Penjelasan tersebut menegaskan bahwa manhaj berfaedah cara, tetapi pada praktiknya Manhaj Tarjih mempunyai pengertian lebih luas dari sekedar langkah ber-istinbath alias berijtihad dalam bagian hukum.
1. Perkembangan Pengertian Tarjih
a. Pengertian Tarjih
Penjelasan mengenai istilah Manhaj Tarjih tidak dapat dilepaskan dari istilah tarjih. istilah tarjih dikenal dalam disiplin ushul fikih, sebagai sistem penyelesaian terhadap pertentangan dua dalil yangg secara lahiriyah mengandung petunjuk yangg bertentangan. Contohnya, dalam satu Riwayat Nabi Muhammad melarang buang air dengan menghadap alias membelakangi kiblat, tetapi pada Riwayat lain sahabat Abdullah bin Umar memandang beliau buang air membelakangi kiblat.[2]
Kedua dalil tersebut mengandung ta’arudl (pertentangan petunjuk) sehingga memerlukan penyelesaian. Mekanisme pertama penyelesaian ta’arudl adalah dengan kompromi antardalil (jam’ wa taufiq). Jika diterapkan kompromi, maka Riwayat pertama diperlakukan sebagai dalil umum, sedangkan Riwayat kedua diperlakukan sebagai dalil khusus. Kesimpulannya, jika buang air itu dilakukan di luar ruangan alias pada tempat terbuka maka tidak boleh menghadap alias membelakangi kiblat. Sebaliknya, andaikan buang air itu dilakukan di tempat tertutup, maka boleh dengan menghadap alias membelakangi kiblat.
Apabila kompromi tidak bisa dilakukan, pertentangan dalil itu bisa diselesaikan melalui tarjih alias nasakh. Tarjih didefinisikan sebagai penguatan salah satu sisi (pengertian dalil) atas pengertian dalil lain.[3] Penguatan itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kekuatan sanad, dengan mempertimbangkan matan (isi hadis), dengan mempertimbangkan petunjuk dalil, alias dengan mempertimbangkan aspek lain.
Contoh tarjih adalah ketika ada dua dalil bertentangan dapat ditemukan pada dua riwayat berikut. Dalil pertama adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim dari istri-istri Nabi Muhammad:
اَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا
Bahwasanya Nabi Muhammad pernah terbangun subuh (pada waktu puasa) dalam keadaan junub
Sementara itu, dalil lain adalah riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah:
مَنْ يُصْبِحُ جُنُبًا فَلَا صَوْمَ لَهُ
Barangsiapa pada saat subuh dalam kondisi junub, maka tidak sah puasanya
Kedua sabda ini bertentangan petunjuknya lantaran sabda pertama menunjukkan bahwa orang yangg junub pada waktu subuh tidak batal puasanya, sedangkan sabda kedua menunjukkan bahwa orang junub pada waktu subuh batal puasanya. Ketika dilakukan tarjih dengan memandang aspek sanad, sabda pertama (Bukhari dan Muslim) diriwayatkan dari para istri Nabi Muhammad, sedangkan sabda kedua (Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban) diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dalam perkara junub yangg berkarakter individual dan privat, riwayat isteri Nabi Muhammad dipandang lebih andal dibandingkan Riwayat sahabat yangg tidak tinggal satu rumah, yangg dalam perihal ini adalah Abu Hurairah.
Istilah tarjih dipakai pula dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam madzhab fikih. Contoh, Imam Syafi’i pada qaul qadim beranggapan bahwa waktu shalat maghrib dimulai dengan tengelamnya mentari dan berhujung dengan hilangnya mega merah di langit. Namun, pada qaul jadid, Imam Syafi’i beranggapan bahwa waktu shalat maghrib adalah sekira cukup untuk azan, wudlu, menutup aurat, iqamat dan shalat lima 5 rakaat. Akhirnya berasas penelitian terhadap hadis, Imam Nawawi men-tarjih qaul qadim, bukan qaul jadid yangg lazimnya dipandang mewakili madzhab Syafi’i.[4]
Tarjih dalam pengertian “memilih pendapat paling kuat berasas pemeriksaan dalil” itulah yangg menjadi argumen awal berdirinya Majelis Tarjih. Majelis Tarjih dibentuk untuk membahas dan memutuskan persoalan kepercayaan yangg diperselisihkan oleh penduduk Persyarikatan dengan mengambil pendapat yangg kuat.[5] Majelis Tarjih ini digagas oleh K.H. Mas Mansur yangg memandang perlunya dibentuk majelis yangg membahas masalah kepercayaan untuk menyikapi banyaknya perbedaan pendapat dan faham mengenai norma kepercayaan di Masyarakat yangg rawan menimbulkan perpecahan.[6]
Jadi, latar belakang lahirnya Majelis Tarjih adalah untuk merespon perbedaan pendapat norma sehingga tarjih yangg dijalankan adalah mengenai penyelesaian perbedaan pendapat. Tugas yangg pertama dijalankan Majelis Tarjih adalah menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiyah mengenai ibadah mahdlah. Tidak mengherankan andaikan tema-tema yangg dibahas oleh Majelis Tarjih antara tahun 1928 – 1953 banyak mengenai dengan ibadah mahdlah, perawatan jenazah, dan wakaf.
Pengertian tarjih yangg tetap terbatas itu berkapak kepada perumusan ushul fikh oleh Majelis Tarjih. Bahasan ushul fikih oleh Majelis Tarjih awalnya hanya berisi kaidah-kaidah mengenai hadis, seperti sabda mauquf, sabda mursal, sabda dlaif yangg berbilang jalur, prioritas jarh atas ta’dil, dan penerimaan riwayat mudallis. Sebagai organisasi yangg membujuk untuk kembali kepada Alquran dan sunnah, Majelis Tarjih Muhammadiyah pun menyelesaikan masalah norma dengan menggunakan langsung dalil Alquran dan hadis. Seiring perkembangan, tema dan metode istinbath di Majelis Tarjih semakin luas dan variatif.
b. Pengertian Manhaj Tarjih
Perkembangan pengertian Manhaj Tarjih tidak lepas dari ekspansi pengertian tarjih. Syamsul Anwar menegaskan bahwa aktivitas ketarjihan adalah aktivitas intelektual untuk merespon masalah sosial dan kemanusiaan melalui perspektif pandang kepercayaan Islam. Manhaj Tarjih dia artikan sebagai: suatu sistem yangg memuat seperangkat wawasan (atau semangat/perspektif), sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yangg menjadi pegangan dalam aktivitas ketarjihan.[7] Pengertian tersebut menunjukkan bahwa Manhaj Tarjih bukan sekedar langkah untuk berijtihad dalam bagian norma Islam, melainkan wawasan, pendekatan, hingga metode praktis dalam melakukan aktivitas ke-tarjih-an, yangg merupakan upaya untuk menjawab masalah sosial dan kemanusiaan dengan perspektif pandang kepercayaan Islam.
Pada Munas ke-32 di pekalongan tahun 2024, pengertian Manhaj Tarjih mengalami penyempurnaan. Manhaj Tarjih diartikan sebagai: sistem yangg memuat wawasan, sumber, pendekatan, dan prosedur teknis tertentu dalam melakukan aktivitas intelektual untuk merespon masalah sosial dan kemanusiaan dari perspektif kepercayaan Islam. Pengertian Manhaj Tarjih di atas menyempurnakan rumusan yangg dikemukakan oleh Syamsul Anwar dengan memperteguh posisi Manhaj Tarjih, bukan hanya sebagai langkah ber-istinbath dalam bagian norma Islam, tetapi sebagai langkah pandang keagamaan dan langkah untuk memahami agama.
2. Perluasan Tugas Tarjih
Perluasan pengertian Manhaj Tarjih tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Perluasan tersebut tidak lepas dari ekspansi tugas Majelis Tarjih pada tahun 1961 dan kemudian tahun 1971-an dalam Qaidah Lajnah Tarjih. Istilah Lajnah Tarjih muncul tahun 1961 dan semakin jelas tahun 1971, sebagai Lembaga yangg menangani masalah ketarjihan dibawah koordinasi Majelis Tarjih Pusat. Namun, pada praktiknya istilah Majelis Tarjih lebih popular dan resmi dipergunakan sampai saat ini[8]. Tugas Lajnah Tarjih menurut Keputusan PP Muhammadiyah Tahun 1971 adalah sebagai berikut:
- Menyelidiki dan memahami pengetahuan kepercayaan Islam untuk memperoleh kemurniannya
- Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah dunyawiyah
- Memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun inisiatif sendiri oleh Majelis berasas nilai kepentingan
- Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bagian keagamaan ke arah yangg lebih maslahah
- Mempertinggi mutu ulama
- Hal-hal lain dalam bagian keagamaan yangg diserahkan oleh ketua persyarikatan[9]
Dengan Qaidah tersebut, tugas ketarjihan semakin luas. Tugas tarjih mencakup penelitian masalah agama; penyusunan tuntunan akidah, ibadah, dan akhlak; memberikan fatwa, sarana mediasi ikhtilaf, penelitian dan pengkajian aliran Islam, dan pendidikan ulama. Dengan tugas demikian, ketarjihan mencakup masalah penelitian, pendidikan, fatwa, dan penyusunan tuntunan tidak hanya dalam masalah norma Islam, melainkan juga dalam bagian pemikiran Islam. Karena itu, peran Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) adalah dalam keputusan ketarjihan dan pengembangan pemikiran pembaharuan dalam Islam.[10]
Sejalan dengan ekspansi tugas tersebut, nama Majelis Tarjih mengalami perubahan-perubahan. Majelis Tarjih berubah nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) Pada Muktamar Muhammadiyah Tahun ke-41 di Banda Aceh 1995 (pada kepemimpinan Prof. Amin Abdullah) dan kemudian menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) pada tahun 2005 (pada kepemimpinan Prof. Syamsul Anwar). Aktivitas ketarjihan tidak terbatas pada istinbath (penggalian) hukum, melainkan juga dalam bagian pengembangan pemikiran (tajdid) yangg menjadi ruh Persyarikatan.
3. Perkembangan Rumusan Manhaj Tarjih
Rumusan Manhaj Tarjih mengalami perkembangan secara bertahap. Manhaj Tarjih tidak dirumuskan jadi sejak awal berdirinya Majelis Tarjih pada tahun 1927/ 1928, melainkan setelah melalui serangkaian obrolan dan perdebatan yangg panjang. Berikut ini adalah pokok-pokok Manhaj Tarjih yangg disusun menurut perkembangannya.
a. Masalah Lima
Manhaj Tarjih mengalami perkembangan secara berjenjang dan semakin menemukan bentuknya akhir-akhir ini. Rumusan Manhaj Tarjih yangg berkarakter ideologis dapat ditemukan dalam Masalah Lima yangg diputuskan dalam Muktamar Khususi Majelis Tarjih di Yogyakarta pada tanggal 29 Desember 1954 s.d. 3 Januari 1955. Masalah Lima ini lahir dari upaya KH Mas Mansur untuk menjawab pertanyaan mengenai pengertian beberapa perihal mendasar, yangg mengenai dengan Amal Usaha Persyarikatan pada tahun 1935 dan dipidatokan pada akhir Kepemimpinannya di PP Muhammadiyah tahun 1952. Amal Usaha Persyarikatan banyak yangg terinsipirasi oleh aktivitas kepercayaan lain, khususnya dalam bagian kendidikan, kesehatan, dan sosial sehingga perumusan Masalah Lima dapat dipandang sebagai Upaya untuk memposisikan persoalan sosial yangg terbuka untuk inisiasi dan mana persoalan yangg menjadi ranah agama.
Masalah Lima inilah yangg menjadi landasan bagi Muhammadiyah untuk menyikapi hubungan antara agama, dunia, dan ibadah. Ahmad Azhar Basyir, Ketua Majelis Tarjih Tahun 1985-1990 memandang Masalah Lima ini sebagai rumusan strategis ang menggambarkan alam pikiran Muhammadiyah mengenai Islam.[11] Arti krusial Masalah Lima terletak pada arti yangg jelas mengenai agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas. Pengertian kepercayaan menjadi dasar untuk memahami mana yangg termasuk aliran kepercayaan dan mana yangg bukan. Pengertian bumi memperjelas wilayah pembaharuan alias dinamisasi yangg terbuka luas tanpa terkena kategori bid’ah. Pengertian ibadah memperjelas ibadah yangg sah menurut kepercayaan dan mencegah penyimpangan dalam ibadah. Pengertian sabilillah dan qiyas memperjelas ruang untuk berceramah di jalan Allah dan penerapan norma kepercayaan dalam persoalan-persoalan baru.
b. Kaidah Ushul Fikih
Kaidah ushul fikih dibahas lebih jelas dalam Muktamar Tarjih XXI di Klaten bulan April Tahun 1980 dan telah masuk dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT). Kaidah ushul fikih ini hanya memuat pembahasan mengenai status hadis, yangg meliputi tujuh persoalan, yangg dikemukakan di sini secara singkat idenya, yaitu:
- kehujjahan sabda mauquf
- kehujjahan sabda mauquf yangg dihukumi marfu’
- kehujjahan sabda mursal shahabi
- kehujjahan sabda mursal tabi’i
- kehujjahan sabda dla’if
- kaidah jarh wa ta’dil
- riwayat dari mudallis
Jadi, pembahasan qaidah ushul fikih ini tidak menggambarkan seluruh tema ushul fikih, melainkan terbatas pada pembahasan mengenai norma kehujjahan beberapa macam hadis. Qaidah ini menjadi dasar bagi ijtihad secara langsung dengan merujuk kepada sabda lantaran bahasan-bahasan di atas menjadi obyek perbedaan pendapat di kalangan ustadz hadis.
c. Pokok Manhaj Tarjih Tahun 1986
Pokok Manhaj Tarjih dirumuskan oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah hasil Muktamar ke-41 di Surakarta Tahun 1985. Pada tahun 1986 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih tersebut disebarkan ke seluruh wilayah dan dapat diterima. Pokok-Pokok Manhaj Tarjih Kaidah ini memuat pembahasan yangg luas, baik menyangkut wawasan, dan metode dalam memahami kepercayaan meskipun tidak diuraikan berasas bab. Pokok-Pokok Manhaj Tarjih ini tidak hanya memuat pandangan mengenai norma Islam, melainkan juga wawasan berakidah hingga penggunaan dalil dalam bagian akidah. Pokok-Pokok Manhaj Tarjih tersebut ada 18 dengan ringkasan pendapat sebagai berikut:[12]
- Alquran dan sunnah sahihah sebagai dasar istidlal (pengambilan norma dari dalil)
- Keputusan melalui musyawarah dengan ijtihad jama’i (kolektif)
- Tidak mengikatkan diri pada madzhab, tetapi dapat menggunakan pendapat madzhab sebagai bahan pertimbangan
- Berprinsip terbuka dan toleran
- Penggunaan dalil mutawatir dalam bagian akidah
- Tidak menolak ijma’ sahabat
- Penyelesaian ta’arudl adillah (pertentangan petunjuk antardalil) dengan kompromi baru tarjih
- Menggunakan sadd dzari’ah
- Ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami Alquran dan sunnah sesuai dengan tujuan syariah
- Penggunaan dalil secara komprehensif, utuh dan bulat
- Hadis ahad bisa mentakhshis dalil umum Alquran, selain dalam bagian ibadah
- Prinsip taysir (memudahkan)
- Akal bisa dipergunakan dalam memahami masalah ibadah dari Alquran dan sunnah sepanjang diketahui latar dan tujuan
- Akal diperlukan dalam perkara bumi untuk kemaslahatan
- Pemahaman sahabat terhadap dalil musytarak bisa dipergunakan
- Makna dzahir didahulukan atas takwil dalam bagian akidah
Dua pokok lagi yangg ditambahkan oleh Fathurrahman Djamil adalah:
- Jalan ijtihad: ijtihad bayani, ijtihad qiyasi, dan ijtihad istishlahi
- Kaidah-kaidah menggunakan hadis, sebagaimana disebutkan di atas[13]
Pokok-pokok Manhaj Tarjih di atas merupakan rumusan pertama yangg perincian mengenai Manhaj Tarjih. Meskipun belum sistematis, tapi-tapi pokok-pokok tersebut telah mengeksplisitkan beragam pandangan, pemahaman, praktik ijtihad dan tajdid di Muhammadiyah.
d. Manhaj Tarjih Tahun 2000
Rumusan Manhaj Tarjih yangg lebih sistematis dapat ditemukan dalam hasil Musyawarah Tarjih tahun 2000. Pada tahun ini dilangsungkan dua kali Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-24 tanggal 29-31 Januari 2000 di Universitas Muhammadiyah Malang dan Munas ke-25 tanggal 5 s.d. 8 Juli 2000 M di Pondok Gede Jakarta. Pembahasan mengenai Manhaj Tarjih tersebut dilanjutkan pada Munas ke-26 tanggal 1 s.d.5 Oktober 2003 di Padang. Di antra pembahasan pada Munas-Munas tersebut adalah Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Rumusan Munas ke-24 di Malang tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam disahkan pada Munas ke-25 di Jakarta dan. Munas ke-26 di Padang mengamanatkan pengkajian lebih lanjut rumusan tersebut dan menyosialisasikannya kepada masyarakat.
Pembahasan mengenai Manhaj pada Munas ke-24 berjalan menjadi alot sehingga dilanjutkan dengan Munas enam bulan selanjutnya pada tahun yangg sama. Isu yangg menjadi polemik adalah mengenai pendekatan bayani, burhani, dan irfani, dengan pendekatan irfani yangg tetap diperselisihkan. Namun secara berjenjang ketiga pendekatakan tersebut telah diterima luas. Hasil dari Munas ke-24 mencakup beberapa hal, yaitu:
1) Sumber Ajaran: Alquran dan sunnah maqbulah yangg dipahami secara komprehensif dan integralistik dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara spiral serta penegasan kembali Masalah Lima
2) Manhaj Ijtihad Hukum, yangg mencakup:
-
- Menjelaskan beragam istilah teknis dalam hukum, seperti ijtihad, maqashid syariah, ittiba’, taqlid, talfiq, tarjih, sunnah maqbulah, taabbudi, taqquli, qathi’ wurud dan dalalah, dzanni wurud dan dalalah, tajdid dan pemikiran
- Sumber norma dan kedudukan Ijtihad. Sumber norma adalah Alquran dan sunnah sahihah dan ijtihad berasas persamaan illat
- Pengertian, posisi dan kegunaan ijtihad. Posisi ijtihad adalah sebagai metode penetapan hukum, bukan sumber hukum. Lingkup ijtihad adalah masalah-masalah dzanni dan masalah yangg tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah secara eksplisit.
- Metode, Pendekatan Teknik. Metode: bayani – ta’lili – istislahi. Pendekatan: hermeneutik, historis, sosiologis, dan antropologis. Teknik: ijma – qiyas – mashalih mursalah – urf
- Ta’arud al-Adillah. Urutan penyelesaian: al-jam’ wa al-taufiq – tarjih – nasakh – tawaqquf (ditangguhkan). Tarjih dengan memandang segi: sanad – matan – materi norma – eksternal.
- Beberapa norma mengenai hadis: kehujjahan sabda mauquf murni – kehujjahan mauquf marfu’ – qarinah sabda mauquf yangg marfu’ – kehujjahan mursal tabi’i – kehujjahan mursal sahabi – sabda dlaif yangg banyak jalur – mendahulukan jarh atas ta’dil – penggunaan penafsiran sahabat atas lafal musytarak – mendahulukan makna dzahir atas tafsir sahabat
3) Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam
a) Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam
-
-
- Sumber: Sumber Islam adalah Alquran dan sunnah. Sumber Pemikiran Islam: teks, ilham, realitas
- Fungsi Pemikiran Islam: mendukung universalisme Islam sebagai petunjuk menuju kesalehan perseorangan dan kesalehan sosial
- Metode: ikhbari (naqli) dan nadzari (aqli)
- Manhaj pemikiran yangg dikembangkan dalam Manhaj Tarjih adalah translator dari
-
b) Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam
-
-
- Mura’ah (konservasi) alias pelestarian nilai dasar dalam wahyu
- Tahditsi (inovasi) alias penyempurnaan aliran Islam
- Ibda’i (kreasi) alias pembuatan rumusan pemikiran Islam
-
c) Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam
-
-
- Pendekatan bayani
- Pendekatan burhani
- Pendekatan irfani
-
Selain rumusan di atas, Syamsul Anwar menambahkan aspek wawasan dalam Manhaj Tarjih. Wawasan ini sudah dikandung dalam Pokok Manhaj Tarjih 1986, namun dalam rumusan tahun 2000 justru tidak terjabarkan. Wawasan tersebut antara lain:
a) Wawasan mengerti kepercayaan (mengacu pada arti kepercayaan dalam Masalah Lima)
b) Wawasan Tajdid:
-
-
- Pemurnian dalam bagian iktikad dan ibadah
- Mendinamisasikan kehidupan masyarakat
-
c) Wawasan Toleransi, ialah bahwa putusan tarjih tidak menganggap dirinya saja yangg betul dan tidak menjatuhkan pendapat yangg tidak dipilih oleh tarjih
d) Wawasan Keterbukaan, ialah bahwa putusan tarjih dapat dikritik dalam rangka perbaikan
e) Tidak berafiliasi madzhab tertentu, meski tidak menafikan pendapat fukaha.[14]
e. Penyempurnaan Manhaj Tarjih 2024
Pada Munas Tarjih ke-32 Pekalongan 23-25 Februari 2024 terdapat beberapa penyempurnaan rumusan wawasan dalam Manhaj Tarjih. Hasil Munas ke-32 tersebut mengenai dengan Manhaj Tarjih adalah menyangkut pengertian, wawasan, dan sumber tarjih.
1) Pengertian Manhaj Tarjih menurut Hasil Munas Pekalongan 2024 adalah sebagaimana yangg telah dijelaskan pada bagian pengertian tarjih di muka
2) Wawasan dalam Manhaj Tarjih dalam rumusan Munas Pekalongan 2024 menegaskan kembali wawasan-wawasan yangg dikemukakan oleh Syamsul Anwar, namun meniadakan rumusan wawasan “tidak berafiliasi madzhab,” dan menggantinya dengan “wawasan wasthiyah” (wawasan moderasi), yangg didasarkan atas Risalah Islam Berkemajuan hasil Muktamar ke-48 di Surakarta tahun 2022
3) Pengakuan atas sumber paratekstual. Sebelumnya, Muhammadiyah hanya mengakui dua sumber agama, ialah Alquran dan sunnah sahihah/ maqbulah. Pandangan tersebut tetap dipertahankan, ialah bahwa Alquran dan sunnah adalah sumber utama aliran Islam. Selain itu, dalil-dalil ijma’, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab dan urf diakui sebagai sumber paratekstual setelah pada rumusan Manhaj Tarjih 2000, dalil-dalil tersebut masuk dalam Teknik ijtihad. Sumber paratekstual lebih sesuai disebut sebagai ‘dalil paratekstual’ untuk tidak mengacaukannya dengan sumber.
RELEVANSI MANHAJ TARJIH
Manhaj Tarjih sebenarnya merupakan penjabaran dari semangat dasar persyarikatan. Muhammadiyah berdiri untuk mengadakan tajdid alias pembaharuan. Tajdid, menurut Umar Hasyim, adalah upaya untuk mengembalikan wajah kaku Islam. Ciri unik dari semangat pembaharuan Islam, menurut HAR Gibb, ada empat. Pertama adalah membersihkan Islam dari pengaruh yangg tidak sejalan (bid’ah dan khurafat). Kedua dalah pembaharuan pendidikan untuk mempertinggi martabat umat Islam. Ketiga adalah pembaharuan rumusan aliran Islam agar sejalan dengan alam pikir modern. Keempat adalah pembelaan Islam dari pengaruh sekulerisme Barat dan aliran Nasrani.[15] Manhaj Tarjih menyediakan wawasan keagamaan dan pendekatan sekaligus metode dalam menjawab masalah sosial-keagamaan melalui kacamata kepercayaan Islam.
Semangat tarjih tidak lepas dari dua kata kunci aktivitas Muhammadiyah. Kunci aktivitas Muhammadiyah adalah purifikasi dan dinamisasi. Kata kunci pertama menunjukkan sifat keagamaan Muhammadiyah dan kata kunci kedua menunjukkan sikap Muhammadiyah terhadap kemajuan. Purifikasi artinya pembersihan kepercayaan dari unsur-unsur yangg tidak sejalan dan dinamisasi berfaedah sikap Muhammadiyah yangg terbuka dan aktif dalam pengembangan kehidupan sosial-kemasyarakatan. Dua kata kunci tersebut dapat dilihat cerminanya pada Masalah Lima di atas.
Semangat itu juga yangg tercermin dalam beragam arsip Persyarikatan. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup ditegaskan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya aliran Islam dalam bagian akidah, akhlak, ibadah dan muamalah. Dalam bagian akidah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya iktikad Islam yangg murni, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut aliran Islam. Dalam bagian akhlak, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai adab mulia dengan berpatokan kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam bagian ibadah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah sebagaimana dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Sementara itu, dalam bagian muamalah duniawiyah Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat duniawiyah berasas aliran kepercayaan dan menjadikannya sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT.[16]
Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ditegaskan bahwa landasan dan pedoman hidup penduduk Persyarikatan adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan pengembangan dari pemikiran-pemikiran umum (baku) yangg bertindak dalam Muhammadiyah, seperti; Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Kepribadian muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, dan hasil-hasil Keputusan Majelis Tarjih.[17] Oleh lantaran itu, Manhaj Tarjih adalah bagian dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah yangg selaras dan berkelindan dengan beragam arsip pokok persyarikatan lainnya.
PENUTUP
Manhaj Tarjih menempati posisi krusial bagi Muhammadiyah sebagai satu system sosial. Menurut Talcott Parsons, setiap sistem sosial memerlukan empat prasyarat untuk keberfungsiannya, yaitu, ialah adaptation (adaptasi), goal attaintment (pencapaian tujuan), integration (kemampuan menjaga keutuhan), dan latency alias pattern maintenance (pemeliharaan pola). Keempatnya dibutuhkan organisasi untuk bisa eksis dan lestari. Adaptasi adalah keahlian sistem untuk menyesuaikan diri dan mengontrol lingkungan. Pencapaian tujuan adalah kemampun sistem untuk merumuskan tujuan yangg menjadi arah aktivitas sosial. Integrasi adalah keahlian untuk menyelesaikan bentrok dan mengkoordinasi seluruh komponen sistem. Latensi adalah pemeliharaan dan pelembagaan nilai dasar.[18]
Manhaj Tarjih menjadi bagian krusial bagi sistem sosial di Persyarikatan untuk melakukan adaptasi, penentuan arah organisasi, integrasi anggota, dan pemeliharaan nilai dasar Muhammadiyah. Kekuatan nilai ini menjadi modal melestarikan semangat dan mobilitas perjuangan Muhammadiyah. Kemampuan sistem sosial untuk hidup dan lestari tidak bisa dilepaskan dari keahlian untuk memelihara dan melembagaan nilai-nilai dasar tersebut. Sosialisasi Manhaj Tarjih adalah sarana untuk pemeliharaan pola dan nilai dasa tersebut bagi penduduk Persyarikatan.
FOOTNOTE
[1] Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid. 2018): 6
[2]https://tarjih.or.id/sejarah-majelis-tarjih/ Unduh 16 Juli 2024
[3]Abdul Hamid Hakim. Al-Bayan. (Jakarta: Penerbit Saadiyah Putra, T.Th). 181
[4]Lihat Musthafa Dib al-Bigha. Al-Tadzhib fi Halli Matn Abi Syuja’. (Surabaya: al-Haramain. 2010): 28-29
[5]Fathurahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. (Jakarta: Logos Publishing House. 1995): 64-67
[6]Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan Bekerjasama dengan Lembaga Pustaka dan Informasi. 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan. (Jakarta: Kompas: 2010): 103
[7]Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih: 10
[8]https://tarjih.or.id/sejarah-majelis-tarjih/. Unduh 15 Juli 2024
[9]Lihat dalam Slamet Warsidi. “Fiqh Indonesia: Tradisi Ijtihad dalam Muhammadiyah.” Dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Penyunting). Fiqh Indonesia dalam Tantangan. (Surakarta: FAI UMS. 1991): 49
[10]Sudarno, Syamsul Hidayat dan Mahasri Shohabiya. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis, dan Organisasi. (Surakarta: LPID Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2010): 102-103
[11]Syamsul Hidayah. Konstruksi Metodologi Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Profetika. Vol. 9, No. 1 (Januari 2007): 99-125
[12]Lihat uraiannya dalam Asmuni Abdurrahman. Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004): 24 dan 84.
[13]Fathurahman Djamil. Metode Ijtihad: 163-164
[14]Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih: 11-19
[15]Umar Hasyim. Muhammadiyah Jalan Lurus, dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, dan Pendidikan: Kritik dan Terapinya. (Surabaya: Bina Ilmu. 1990): 1-3
[16]Lihat Umar Hasyim. Muhammadiyah Jalan Lurus: 216-217
[17]Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2012): 2-3
[18]Michael Haralambos, Martin Holborn, dan Robin Herald. Sociology: Themes ad Perspectives. (London: HarperCollins Publishers Limited. 2008): 860