Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyerukan kepada umat Islam, khususnya penduduk Muhammadiyah, untuk menjadikan Ramadan sebagai bekal rohani dalam memperbaiki diri dan kehidupan bermasyarakat.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan bahwa puasa tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga merupakan proses tanwir, pencerahan jiwa, pemikiran, dan orientasi tindakan.
“Mari kita jadikan puasa sebagai proses tanwir, ialah pencerahan jiwa, pikiran, dan orientasi tindakan kita agar tahun ini dan ke depan setelah kita beribadah, kita menjadi insan yangg lebih baik. Dalam perihal jiwa agar lebih hanif, tulus, dan bersih dalam menghadapi persoalan, maupun dalam pemikiran yangg membawa maslahat. Dalam tindakan, baik secara pribadi maupun kolektif, kita kudu menjadi teladan, sehingga orang merasa bahwa dari kaum Muslimin inilah lahir sikap hidup yangg mendamaikan, menyatukan, sekaligus membawa kemajuan bersama,” ujar Haedar Nashir, Rabu (12/2/25).
Dalam rangka menyambut Ramadan 1446 H, PP Muhammadiyah menyampaikan sepuluh pesan utama yangg diharapkan dapat menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalani bulan suci ini:
Pertama, Ramadan adalah kesempatan untuk melahirkan pencerahan hidup, baik dalam berakidah maupun dalam menjalani kehidupan secara keseluruhan. Puasa kudu menjadi jalan baru kerohanian yangg membawa peningkatan kualitas ketaatan dan takwa kepada Allah, sehingga setiap muslim bisa menampilkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Ketakwaan yangg sejati tidak hanya berkarakter personal, tetapi juga tercermin dalam sikap mendamaikan, menyatukan, mencerdaskan, dan menebar amal bagi kehidupan sesama.
Kedua, puasa Ramadan semestinya menghadirkan pencerahan rohaniah dalam beragam aspek kehidupan. Ibadah puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga membentuk karakter yangg berbudi pekerti tengahan (wasathiyah), menjunjung tinggi perdamaian, menghargai kemajemukan, dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Umat Islam kudu bisa mengaktualisasikan nilai-nilai rahmatan lil-‘alamin dengan sikap adil, amanah, ihsan, dan penuh kasih sayang.
Ketiga, ibadah Ramadan hendaknya membentuk pribadi yangg tercerahkan, baik dalam adab maupun tindakan. Muslim yangg tercerahkan tidak mudah marah, tidak berbicara buruk, tidak menebar kebencian, serta menjauhi sikap royal dan pamer kemewahan. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama di media sosial, umat Islam kudu menebar kebaikan, menjauhi hoaks, ujaran kebencian, dan sikap permusuhan yangg hanya merusak persatuan dan kebersamaan.
Keempat, puasa yangg mencerahkan kudu melahirkan kepedulian sosial yangg tinggi. Spiritualitas Ramadan berbudi pekerti Al-Ma’un, ialah mengasah kepekaan terhadap persoalan sosial seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan. Umat Islam hendaknya menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk membantu sesama, menjunjung tinggi keadilan, dan menegakkan prinsip kemanusiaan yangg menghormati harkat dan martabat setiap individu.
Baca Juga: Green Life Style Ramadan & Idulfitri
Kelima, ibadah puasa yangg dilakukan dengan penuh kesadaran bakal membentuk karakter manusia Indonesia yangg religius dan berkeadaban luhur. Kejujuran, keterpercayaan, keberanian, serta komitmen terhadap prinsip kebenaran kudu menjadi bagian dari kepribadian setiap muslim. Jika nilai-nilai ini tertanam dengan baik, maka beragam penyakit sosial seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan sumber daya alam, dan bentrok antar sesama dapat dicegah.
Keenam, Ramadan juga mengajarkan pentingnya toleransi dalam perbedaan. Perbedaan dalam praktik ibadah hendaknya tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan memperkuat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah insaniyah. Puasa kudu menjadi jalan keselamatan dan kebahagiaan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam membangun peradaban yangg lebih maju.
Ketujuh, dalam lingkup keluarga, Ramadan kudu menjadi momentum untuk mempererat hubungan antar personil keluarga. Jadikan rumah sebagai tempat paling damai, tempat yangg dapat menyelesaikan beragam persoalan dengan langkah yangg baik. Ibadah Ramadan juga kudu menjadi arena edukasi bagi anak-anak agar tumbuh dengan nilai-nilai keislaman yangg penuh kasih sayang dan kebijaksanaan.
Kedelapan, hikmah puasa semestinya mengajarkan hidup hemat, tidak boros, dan tidak berlebihan dalam konsumsi. Hal ini krusial tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi para pejabat publik agar mempunyai integritas dalam mengelola anggaran dan aset negara. Kekuasaan kudu digunakan sebagai amanah untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi alias golongan tertentu.
Kesembilan, bagi para pemimpin dan tokoh masyarakat, Ramadan adalah saat yangg tepat untuk berintrospeksi diri. Pemimpin yangg baik adalah mereka yangg bisa menjalankan amanah rakyat dengan penuh tanggung jawab, menjauhi ujaran yangg provokatif, serta mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan bagi bangsa. Ramadan semestinya menjadi refleksi bagi para pemimpin agar mereka semakin jujur, adil, dan bijak dalam setiap kebijakan yangg diambil.
Kesepuluh, para pemimpin bangsa dan umat diharapkan bisa mengembangkan pengetahuan dan hikmah agar menjadi teladan bagi masyarakat. Indonesia memerlukan sosok-sosok yangg bertakwa, mempunyai keadaban tinggi, serta bisa membawa kemajuan bagi bangsa. Dengan ketakwaan yangg sejati, para pemimpin bakal mempunyai integritas moral, intelektual, dan sosial yangg kuat, sehingga kebijakan yangg diambil betul-betul membawa kemaslahatan bagi semua pihak. (sa)
English (US) ·
Indonesian (ID) ·