Mualaf Muhammadiyah dan Krisis Kesadaran Kader - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Mualaf Muhammadiyah dan Krisis Kesadaran Kader

Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd. – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumatera Utara/Dosen Unimed

Di tengah kesibukan dan dinamika Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yangg kian kompleks, terdapat satu realitas yangg sering kali terabaikan: tidak semua perseorangan yangg berlindung di bawah label “Muhammadiyah” betul-betul mempunyai kesadaran bermuhammadiyah. Ada yangg mengenal persyarikatan ini lantaran aspek keturunan—lahir dan tumbuh di lingkungan family Muhammadiyah. Sebagian lainnya berasosiasi lantaran bekerja di lembaga pendidikan, rumah sakit, alias universitas Muhammadiyah. Ada pula yangg menjadi bagian dari aktivitas ini lantaran pernikahan dengan penduduk persyarikatan, sementara sebagian mini datang dengan kesadaran intelektual setelah mendalami pengajian dan menemukan nilai-nilai Islam berkemajuan.

Fenomena ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, bukan sekadar dijadikan bahan keluhan di forum-forum internal. Justru dari sini kita dapat menelusuri akar kuat alias lemahnya sistem pengkaderan di tubuh Muhammadiyah. Oleh lantaran itu, pendapat untuk membikin kuesioner alias angket sederhana mengenai latar belakang seseorang menjadi Muhammadiyah patut direalisasikan. Melalui info tersebut, kita dapat memetakan realitas kaderisasi: apakah kebanyakan penduduk Muhammadiyah berasal dari family persyarikatan, hasil dakwah struktural, alias lantaran keteladanan sosial dan pemikiran ideologis.

Apabila info semacam itu dikumpulkan dari beragam daerah, kemudian dianalisis dan disusun dalam laporan ilmiah oleh Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI), hasilnya bakal menjadi bahan refleksi strategis dalam merancang pola kaderisasi yangg lebih tepat, khususnya di lingkungan Baitul Arqam. Sebab, gimana mungkin kita menyusun kurikulum kaderisasi yangg efektif jika kita belum memahami latar belakang para kader yangg kita bina?

Dalam realitas sehari-hari, sering kali kita menjumpai perseorangan yangg bekerja di AUM namun tidak aktif di ranting maupun bagian Muhammadiyah. Mereka menerima penghasilan dari lembaga persyarikatan, tetapi belum tentu memahami nilai-nilai ideologis yangg melandasi kebaikan upaya tersebut. Sebaliknya, ada pula yangg tidak bekerja di AUM namun justru sangat aktif dalam aktivitas persyarikatan, apalagi menjadi penggerak di tingkat ranting dan cabang.

Selain itu, terdapat pula sosok ideal—mereka yangg bekerja di AUM sekaligus aktif di Muhammadiyah serta memegang amanah organisasi. Namun, di sisi lain, muncul kejadian yangg cukup memprihatinkan: perseorangan yangg ketika tidak lagi bekerja di AUM perlahan menjauh dari Muhammadiyah, apalagi ada yangg beranjak ke organisasi keagamaan lain.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kita tengah menghadapi krisis kesadaran kader. Menjadi bagian dari Muhammadiyah tidak semestinya didasarkan pada status pekerjaan, garis keturunan, alias lingkungan sosial, melainkan pada kesadaran ideologis yangg tumbuh melalui proses pengkaderan yangg autentik dan berkesinambungan. Tanpa kesadaran ideologis tersebut, Muhammadiyah hanya bakal menghasilkan “pegawai Muhammadiyah”, bukan “mujahid Muhammadiyah”.

Karena itu, Buku Ideologi Muhammadiyah dan Baitul Arqam MPKSDI semestinya menjadi referensi wajib bagi siapa pun yangg mau memahami “ruh bermuhammadiyah”. Buku ini banget krusial terutama bagi mereka yangg dapat disebut sebagai “mualaf Muhammadiyah”—yakni perseorangan yangg baru mengenal Muhammadiyah lantaran lingkungan kerja, pernikahan, alias pergaulan sosial. Tanpa penguatan ideologi dan pemahaman nilai, mereka mudah larut dalam rutinitas pragmatis dan kehilangan semangat aktivitas yangg sejati.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menyalahkan pihak mana pun, tetapi sebagai pengingat bahwa pengkaderan tidak boleh dipandang sekadar sebagai formalitas pelatihan, melainkan proses menyalakan api kesadaran. Setiap AUM hendaknya menjadi ruang pembibitan kader, bukan sekadar tempat mencari nafkah. Demikian pula, setiap ketua MPKSDI mempunyai tanggung jawab moral untuk memastikan seluruh pegawai, dosen, guru, dan tenaga kependidikan memahami satu prinsip mendasar:

“Menjadi bagian dari Muhammadiyah bukan hanya tentang bekerja di bawah logonya, tetapi hidup dalam nilai-nilainya.”

Dari refleksi sederhana ini, diharapkan lahir langkah besar untuk menyusun peta kesadaran kader Muhammadiyah yangg lebih jeli serta memperkuat ruh dakwah Islam berkemajuan di beragam tingkatan. Sebab tanpa kader yangg sadar, militan, dan setia pada ideologi, kebaikan upaya sebesar apa pun dapat kehilangan jiwanya.

Sebagaimana sering diingatkan oleh beragam ketua persyarikatan, pembinaan ideologi merupakan urat nadi keberlangsungan gerakan. Karena itu, krusial bagi MPKSDI di seluruh tingkatan untuk menindaklanjuti refleksi ini dengan riset kaderisasi yangg terukur dan tindak nyata dalam pembinaan ideologi. MPKSDI. Mari kita mulai dari sini.

Wallahu a’lam bish shawab

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan