Merawat Niat dalam 22 Tahun Pernikahan - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 8 bulan yang lalu

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Saya baru saja merayakan 22 tahun pernikahan. Seorang kawan dekat menyampaikan ucapan selamat yangg disertai dengan kata-kata menghibur. Menurutnya, ketika usia pernikahan sebuah pasangan sudah melewati nomor dua puluh tahun, pintu kebahagiaan bakal semakin terbuka. Ibarat botol yangg selama ini kosong, akhirnya dia menemukan tutupnya. Mengapa? Karena lama waktu yangg cukup lama itu memberikan kesempatan bagi pasangan untuk belajar menerima, memaklumi, dan menoleransi setiap perbedaan yangg kadang membikin hubungan terasa tidak nyaman.

Pernikahan yangg telah berjalan selama itu sering disebut sebagai fase keemasan. Waktu yangg cukup bagi pasangan untuk menjadi lebih dewasa, sehingga kebahagiaan mereka bisa menyempurna. Pada fase ini, pasangan mencapai kedewasaan dalam hubungan, dengan komunikasi yangg lebih baik, kesiapan lebih dalam menghadapi perubahan hidup, serta peningkatan kualitas hubungan intim yangg didasarkan pada saling menjaga rasa hormat dan kasih sayang.

Namun, ada pandangan dari kawan lain yangg berbeda. Dia mengatakan bahwa 20 tahun adalah waktu yangg cukup bagi pasangan pernikahan untuk memutuskan hal-hal krusial dalam hubungan mereka. Masa belajar memahami, menerima, dan menoleransi kebiasaan serta karakter negatif pasangan dianggap sudah cukup. “Masak sudah belajar selama itu, kebiasaan jelek yangg sama tetap tak bisa diubah? Berarti, perlu ada metode lain untuk mengubah perilaku pasangan. Mungkin perlu terapi kejutan!” kata seorang kawan wanita yangg separuh frustrasi dengan perilaku negatif pasangannya.

Meski tak ada patokan pasti, 20 tahun adalah waktu yangg cukup lama untuk seseorang belajar mewujudkan perubahan dalam dirinya. Pada fase itulah, pasangan kudu menentukan sikap secara tegas, apakah bakal melanjutkan ikatan pernikahan alias mengakhiri. Jika selama itu tak ada perubahan seperti yangg disepakati, maka kesabaran pun kudu ada batasnya.

Perubahan

Menjalani 22 tahun pernikahan, saya menyadari bahwa saya tidak pernah berada dalam satu situasi yangg tetap. Saya lebih banyak berada dalam situasi yangg samar, di antara dua kondisi kebatinan yangg telah disebutkan sebelumnya. Tidak selalu dalam kegembiraan menyambut kebahagiaan, dan pun sebaliknya, saya—amit-amit—tidak pernah berada dalam situasi yangg menginginkan mengakhiri pernikahan lantaran tidak tahan dengan kemarahan alias kejengkelan.

Baca Juga: Ikhtiar Menjaga Keutuhan Keluarga

Tentu saya kudu berterima kasih lantaran berada di antara keduanya. Setiap keberhasilan mini dalam upaya saya untuk menemukan kebahagiaan hidup patut saya syukuri. Saya pun tidak boleh capek untuk terus berjuang, bersabar, serta memahami, menerima, dan menoleransi setiap sikap dan perilaku pasangan yangg kadang membikin jengkel. Seperti roda yangg terus berputar, begitulah hubungan saya dan pasangan. Ketika hari ini saya yangg membikin pasangan jengkel, besok alias lusa, pasangan saya pun bisa melakukan perihal yangg sama. Peristiwa itu terus berulang dengan berganti-ganti.

Saya berkesimpulan bahwa perubahan adalah perihal yangg paling konsisten dalam relasi pernikahan. Manusia terus berubah. Dari yangg kasar bisa menjadi lembut, dari yangg penuh perhatian menjadi abai, dari acak-acakan menjadi lebih rapi dan bersih, dari yangg pendiam bisa berubah menjadi cerewet dan membosankan, alias sebaliknya.

Apakah perubahan itu akhirnya menjadi baik alias buruk, menyenangkan alias menjengkelkan? Masing-masing orang bakal punya argumen sendiri untuk menilai dan merasakannya. Pola perubahan itu tak bertindak umum dan tidak selalu cocok untuk semua pasangan. Namun, berupaya mewujudkan dan menerima setiap perubahan adalah keniscayaan bagi setiap pasangan.

Kembali Pada Niat

Kebosanan adalah realita lain dalam relasi pernikahan. Ada yangg mengatakan bahwa kebosanan sejatinya hanyalah akibat. Ia muncul lantaran seseorang telah menodai komitmen pernikahan alias melakukan tindakan lain yangg melukai emosi pasangan. Kebosanan tidak terjadi hanya lantaran terjebak dalam rutinitas yangg monoton. Rasa jenuh bisa muncul lantaran pasangan—mungkin—gemar membandingkan pasangannya dengan orang lain yangg dianggap lebih baik, alias dalam kasus yangg lebih ekstrem, seseorang telah mengalihkan perhatiannya kepada orang lain selain pasangannya.

Ketika kebosanan itu menghinggapi, salah satu solusinya adalah kembali pada niat awal pernikahan. Ada pepatah Arab yangg mengatakan, “Buah dari setiap pekerjaan itu tergantung pada niat.” Itulah saatnya saya kudu kembali pada niat pernikahan.

Jika niat saya menikahi pasangan hanya lantaran fisiknya yangg menarik, maka saya kudu siap menghadapi kekecewaan, lantaran kecantikan itu pasti bakal memudar seiring waktu. Standar kecantikan yangg dulu begitu istimewa, bakal segera digantikan oleh karakter dan sifat original yangg tercermin dalam perilaku keseharian. Jika saya menikahi pasangan hanya untuk melampiaskan gairah seksual secara sah, saya pun kudu siap menerima realita bahwa dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas seksual tidak bakal mendominasi.

Jika niat saya menikahi pasangan hanya lantaran mau memperoleh harta, jabatan, alias karir, saya kudu siap menghadapi realita bahwa semua itu tidak ada jaminannya. Tidak ada yangg kekal di bumi ini—harta, jabatan, dan kekuasaan bisa lenyap dalam sekejap. Melakukan tinjauan ulang terhadap niat dalam pernikahan dan berupaya untuk memperbaruinya, merupakan langkah krusial dalam menjaga kehidupan rumah tangga yangg tidak hanya menggembirakan, tetapi juga membahagiakan.

Ada dua perihal yangg bakal selalu terjadi dalam perjalanan pernikahan, ialah perubahan dan keunikan. Keduanya melekat pada kepribadian manusia dan bakal senantiasa ada dalam setiap proses perjalanan rumah tangga yangg kita jalani bersama, layaknya perahu mini yangg kita dayung berbareng menuju pulau impian.

*Penulis adalah Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id