Oleh: Emma Rosada
Islam masuk ke Pulau Bali sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 melalui beragam jalur, baik itu jalur perdagangan, hubungan sosial, dan penyebaran kepercayaan oleh para ulama. Meskipun kebanyakan masyarakat Bali berakidah Hindu, namun jejak Islam terlihat cukup signifikan di beberapa wilayah di Bali.
Pada abad ke-20, Islam berkembang di Bali. Di masa kolonial Belanda maupun setelah kemerdekaan Indonesia, terjadi peningkatan jumlah pendatang muslim dari luar Bali yangg membawa nilai-nilai Islam. Muhammadiyah sendiri mulai masuk di Bali melalui Kabupaten Jembrana yangg terletak di ujung barat Pulau Bali di tahun 1930an. Sejarah ‘Aisyiyah di Bali pun mempunyai keterkaitan erat dengan kehadiran Muhammadiyah yangg dimulai dari Kabupaten Jembrana sebagai wilayah yangg paling dekat dengan Pulau Jawa. Dari sana ‘Aisyiyah mulai berkembang.
Muhammadiyah pertama kali diperkenalkan oleh para pedagang dari Banyuwangi yangg membawa pengaruh Muhammadiyah ke Jembrana pada awal abad ke-20. Haji Abdul Karim Tamini dan rombongannya dari Banyuwangi memperkenalkan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan Islam yangg bertujuan
untuk memurnikan aliran Islam dan mengedepankan pendidikan, kebaikan sosial, serta pembinaan keagamaan.
Pada 14 November 1934, berdirilah Muhammadiyah bagian Negara di Kabupaten Jembrana yangg merupakan bagian Muhammadiyah pertama di Bali. Seiring dengan berdirinya Muhammadiyah, ibu-ibu di Jembrana juga membentuk ‘Aisyiyah sebagai wadah berkecimpung bagi kaum perempuan. Kegiatan yangg dilaksanakan mencakup pendidikan melalui kursus-kursus, pengajian agama, serta santunan sosial bagi fakir miskin.
Namun saat Perang Dunia II berjalan dan Jepang mulai menduduki Bali, aktivitas Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah terhambat. Jepang memandang aktivitas organisasi ini sebagai bagian dari pergerakan nasional, sehingga banyak tokoh Muhammadiyah diawasi dengan ketat. Namun, meski secara umum mobilitas langkah Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dibekukan, aktivitas tetap dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi di rumah-rumah para aktivis.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Jembrana mulai kembali bergeliat. Bahkan di tahun 1960-an, mengalami kebangkitan yangg ditandai dengan terbentuknya kepengurusan baru dan dilaksanakannya beragam aktivitas dakwah, pendidikan, serta sosial.
Pada tahun 1968, Muhammadiyah beserta ‘Aisyiyah melaksanakan Musyawarah Daerah, salah satu keputusannya mengubah status Pimpinan Cabang Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Negara menjadi Pimpinan Daerah Muhammadiyah-‘Aisyiyah Negara. Di tahun yangg sama, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah setempat juga mendirikan taman kanak-kanak yangg menempati rumah salah seorang penduduk ‘Aisyiyah.
Baru kemudian di tahun 1974, terdapat sumbangan dari dermawan sehingga gedung TK ABA bisa didirikan. Tak hanya kebaikan upaya Pendidikan, Muhammadiyah-‘Aisyiyah di wilayah tersebut juga mendirikan BKIA. Hingga sekarang PDA Jembrana telah mengembangkan aktivitas dan kebaikan usahanya, yaitu
2 TK ABA, TPA, serta mempunyai 3 PCA ialah Negara, Perumnas, dan Melaya.
Setelah Muhammadiyah di Jembrana mendapat tanggapan positif dari masyarakat muslim setempat, dakwah Muhammadiyah pun meluas ke wilayah Utara Pulau Bali, ialah Kabupaten Buleleng. Pada 13 September 1939, tokoh-tokoh Islam di bawah kepemimpinan Raden Padmodihardjo bermufakat mendirikan bagian Muhammadiyah dan terpilihlah Ketua Muhammadiyah bagian Singaraja ialah Bapak M. Muchsin. Pada saat yangg sama, dibentuklah Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Singaraja yangg dinahkodai Siti Hawani, sedangkan sekretaris dipercayakan pada Siti Nafsiah.
Pada tahun 1940 ‘Aisyiyah di Buleleng mulai mendirikan Taman KanakKanak melalui Nasyiatul ‘Aisyiyah ialah “Taman Pelajaran Nasijatoel ‘Aisyiyah”. Pendirian kebaikan upaya Taman KanakKanak ini menjadi terobosan ‘Aisyiyah mengingat pada masa itu belum terdapat sekolah semacam itu di tengah organisasi muslim di Singaraja. Sekolah yangg terletak di Kampung Bugis tersebut mempunyai sejumlah siswa dan seorang pembimbing yangg merangkap sebagai kepala sekolah, ialah Analis M. Amin, lulusan Muallimat Yogyakarta.
Baca Juga: Rayakan Hari Peduli Sampah, LLHPB PWA Jawa Tengah Selenggarakan Konsolidasi dan Refreshing
Saat Jepang berkuasa pada tahun 1942, sekolah milik Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah juga dibekukan. Meskipun sekolah yangg didirikan itu berumur relatif singkat, namun kehadiran kebaikan upaya ’Aisyiyah bisa memberikan pencerahan di tengah masyarakat. Kehadiran sekolah pada masa kolonial menjadi simbol aktivitas pembaharuan ‘Aisyiyah di bagian utara Pulau Dewata.
Setelah kemerdekaan, giat kebaikan upaya di Buleleng kembali dimulai tahun 1954 dengan berdirinya Taman Kanakkanak ASRI yangg kemudian berubah nama menjadi TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA) di tahun 1969. Tak hanya kebaikan upaya pendidikan, Muhammadiyah pun mendirikan kebaikan upaya kesehatan berupa BKIA di tahun 1970 yangg kemudian diserahkan pengelolaannya kepada ‘Aisyiyah pada 1981. Sampai saat ini, ‘Aisyiyah Buleleng terus berkembang sehingga mempunyai 4 PCA, ialah Seririt, Pengastulan, Buleleng, dan Gerokgak.
Di Kota Denpasar, bagian ‘Aisyiyah yangg digagas oleh Ibu Tut Sunarsinah Faqih Hasan bermulai dari berdirinya pengajian ibu-ibu. Saat itu, bapak Faqih Hasan dan Ibu Tut Sunarsinah menjadi pembimbing di SMP Negeri 1 Denpasar yangg mempunyai kepala sekolah seorang muslim. Pengajian pun kemudian diselenggarakan di letak sekolah dengan peserta ibu-ibu dari Kampung Arab dan para istri polisi maupun tentara di wilayah tersebut.
Pengajian sempat menghadirkan HS Habib Adnan sebagai penceramah yangg kemudian memperkenalkan Muhammadiyah dan ’Aisyiyah. Pada tanggal 22 Desember 1963 terbentuklah kepengurusan ’Aisyiyah Cabang Denpasar, dengan ketua Ibu Tut Sunartinah dibantu oleh Ibu Tri Kartinah Djuraemi dan Ibu Zaenab.
Pada tanggal 21-23 April 1966, Muhammmadiyah bersama-sama dengan ’Aisyiyah Bali melaksanakan Musyawarah Kerja II bertempat di Denpasar. Salah satu keputusannya memisahkan kepengurusan wilayah Bali menjadi dua (2) Daerah, ialah PDA Bali Utara bertempat di Singaraja dengan Ketua Ibu Syoehoedi dan PDA Bali Selatan bertempat di Denpasar dengan ketua Ibu Bambang Sukarno dan sekretarisnya Ibu Mariati Abbas.
Dengan merujuk kepada keputusan tersebut maka PDA Denpasar berubah menjadi PDA Badung. Namun pada tahun 1992 PDA Badung kembali menjadi PDA Denpasar. Selama perjalanannya, PDA Denpasar mempunyai 6 PCA, ialah Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Padang Sambian, Pemogan, Wanasari dan 3 PRA ialah Ubung, Ceningan Sari dan Tegal Wangi.
Selain itu, PDA Denpasar juga mengelola kebaikan upaya 6 TK ABA meliputi TK ABA I sampai TK ABA VI. Sedangkan PDA Badung, saat ini telah berdiri sendiri. PDA Badung mempunyai 2 kebaikan upaya ialah PAUD Dalung dan TK ABA Mentari; serta 3 PCA ialah PCA Kuta, PCA Kuta Utara dan PCA Kuta Selatan.
PDA Kabupaten Tabanan berdiri tidak lama setelah adanya PDM Tabanan. Berdirinya PDA bermulai dari keberadaan PCA Tabanan di tahun 1965 yangg kemudian berubah menjadi PDA Tabanan. PDA Tabanan mempunyai aktivitas di bagian pendidikan dengan mendirikan taman kanak-kanak. Pada tahun 1999, diinisiasi berdirinya TK ABA di Bajra yangg disusul kemudian dengan berdirinya TK ABA di Tabanan pada tahun 2001. Saat ini PDA Tabanan mempunyai 4 PCA, ialah PCA Tabanan,
Kediri, Selemadeg, dan Kediri.
Di bagian timur Bali, ‘Aisyiyah bermulai dari PDA Klungkung yangg berdiri tahun 1964. Berdirinya PDA Klungkung bermulai dari bagian Aisyiyah Klungkung yangg kemudian berkembang menjadi PDA Klungkung. PDA Klungkung mempunyai 1 kebaikan upaya Taman Kanak Kanak.
Setelah PDA Klungkung, pada tahun 1966 berdiri PDA Karangasem. PDA yangg berada di ujung timur pulau dewata ini mempunyai 1 kebaikan upaya Taman Kanak-kanak dan TPA di lingkungan Dangin Sema. PDA Karangasem mempunyai 3 PCA, ialah PCA Kampung Anyar, Dangin Sema dan Bebandem. Baru selanjutnya PDA Gianyar mulai terbentuk tahun 2015 disusul PDA Bangli pada 2017. Kedua PDA ini tergolong baru dan belum mempunyai PCA serta kebaikan usaha.
English (US) ·
Indonesian (ID) ·