Menikmati Wisata Kriminal di Medan, Sumatera Utara - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Menikmati Wisata Kriminal di Medan, Sumatera Utara

“Sepertinya Pintu Pemerintah Atau Kepolisian Harus Digedor Setiap Detik”

Oleh : Dr. Salman Nasution

Kawasan Sumatera Utara khususnya kota Medan sudah tidak aman, mengingat pidana selalu datang setiap saat, tidak mengenal siang alias malam, korban anak mini dan dewasa sudah merasa was-was disaat di dalam alias di luar rumah. Pesan orang tua terhadap anak-anaknya pun beraneka ragam, disaat si anak membawa kendaraan bermotor ke sekolah, “hati-hati keretanya, jangan sampe hilang”. Bagaimana tidak, Sumatera Utara berada pada posisi ketiga dengan jumlah kejahatan sebanyak 62.278 tindak pidana pada Agustus 2025 (data diambil dari link rri.co.id). Selanjutnya, pada minggu pertama Oktober 2025, Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim POLRI mencatat 8.356 kasus kejahatan di seluruh wilayah Indonesia, dan satu diantara kota dengan jumlah kejahatan paling tinggi dalam periode adalah Medan, Sumatra Utara.

Ada beberapa korban pidana menyatakan bahwa ada argumen tidak menggedor pintu pemerintah alias kepolisian lantaran argumen percuma (sama aja) alias tidak ada gunanya. Karena ada angan korban disaat melaporkan maka pihak kepolisan tidak bertindak cepat, namun hanya mencatat laporan. Korban menunggu kehadiran pihak kepolisan untuk memandang dan memeriksa tempat kejadian tersebut, namun ini tidak dilakukan. Mungkin jika ada terjadi pembunuhan, pihak polisi datang. Artinya dari info di atas, kemungkinan besar, jumlah kejahatan bisa lebih tinggi dari info yangg ada.

Walaupun pihak kepolisian membantah, pihak kepolisian tetap meminta kepada masyarakat untuk tetap memberikan laporan sebagai info dan menjadi info kepolisian untuk mengetahui pelaku kejahatan. Karena tidak sedikit juga penangkapan pelaku pidana dari laporan masyarakat. Tentunya, semua pihak mengharapkan adanya minimalisasi kejahatan di Medan, Sumatera Utara bukan semakin hari semakin meningkat yangg menawarkan beragam jenis kejahatan yangg ada, tinggal gimana masyarakat mau lihat jenis pidana apa seperti penjambretan, tawuran, jual beli Narkoba, pencurian dan perampasan, rudapaksa sampai pada pembunuhan, bisa disebut wisata kriminal. Apakah visitor menikmati keanekaragaman kejahatan alias tidak.

Istilah wisata sering dihubungkan dengan bisnis, seperti wisata kuliner, wisata halal, wisata budaya, wisata alam dan lainnya dengan menambah pendapatan ekonomi masyarakat dan negara. Namun dalam konteks pidana alias wisata pidana bahwa walaupun Medan, Sumatera Utara berada pada puncak kejahatan yangg sangat tinggi, namun kehadiran wisata luar negeri ke kota Istana Maimun tidak mengalami penurunan, cukup stabil dari tahun ke tahun apalagi cendrung naik, misalnya sepanjang Januari sampai Agustus 2024, Badan Pusat Statistik Sumut menyebut jumlah wisman yangg datang ke Sumut mencapai 164.250, apalagi lebih tinggi daripada periode tahun sebelumnya 133.272 orang.

Bukan berarti, terjadinya peningkatan jumlah visitor asing, mereka kondusif menetap alias berekreasi di Medan, Sumatera Utara. Ditahun 2019, Satreskrim Polrestabes Medan mengungkap kasus penjambretan terhadap penduduk negara asing (WNA) asal Italia Betty Fransisco (45). Betty menjadi korban penjambretan telepon genggam di Medan, Sumatera Utara. Namanya manusia dan media, cerita Betty bakal sampai ke masyarakat Italia terkhusus tempat dimana dia tinggal.

Betty bukan satu-satu WNA yangg menjadi korban kriminal, ada WNA lainnya. Aksi pidana mudah dilihat oleh semua kalangan mulai dari anak-anak, dewasa hingga orang tua, termasuk mereka-mereka adalah korban apalagi calon korban. Terkhusus di wilayah Belawan di Medan Utara. Yaitu wilayah dengan tingkat kejahatan tertinggi di wilayah Medan dan sekitarnya.

Solusi buat pemerintah dan kepolisan.

Sampai saat ini, penulis belum memandang solusi preventif (pencegahan), mitigasi (antisipasi), sampai pada represif (penegakan hukum) dari pihak kepolisian dalam meminimalisir alias zero tolerant terhadap kriminalitas. Masih terkenang beberapa tahun yangg lalu, nyaris disetiap persimpangan jalan, ada pos kepolisian lampau lintas yangg menangani lampau lintas, namun tidak menutup kemungkinan pihak kepolisian menegur alias menangkap pengguna lampau lintas yangg tidak alim lampau lintas termasuk ketidak-milikan surat-surat pengendara bermotor seperti STNK dan SIM. Di saat itu itu, cukup memberikan pengaruh positif bagi pengguna jalan raya. Namun pos polisi hanya tinggal kenangan, sehingga tidak heran ada beberapa pengendra motor banyak tidak menggunakan kelengkapan termasuk helem di jalan raya.

Selanjutnya, ada ABRI masuk desa di tahun 1980-an. Tujuan ABRI Masuk Desa adalah mempercepat pembangunan nasional, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui pembangunan bentuk dan non-fisik, serta menjaga stabilitas nasional dengan mendekatkan ABRI kepada rakyat melalui aktivitas hormat sosial, namun intinya, ada rasa kondusif bagi masyarakat disaat ABRI masuk ke desa (lihat riset Isnu Novia Setiowati dengan titel Perkembangan ABRI Masuk Desa (AMD) Tahun 1980-1998).

Tentunya, terciptanya keamanan masyarakat menjadi program vital pemerintah terkhusus kepolisian, ialah kepolisian kudu berada di tengah-tengah masyarakat. Mereka kudu datang disaat masyarakat merasa tidak kondusif untuk melakukan transaksi ekonomi, bersosial dan beraktifitas lainnya. Jika ada pos polisi lampau lintas, ada ABRI masuk desa, maka kudu ada polisi masyarakat yangg tinggal alias bertempat tugaskan di tengah-tengah pemukiman masyarakat, guna meminimalisir kriminalitas.

Semakin tinggi tingkat kejahatan suatu wilayah, tidak menutup kemungkinan beberapa polisi ditugaskan berada dipemukiman tersebut yangg siap menjaga kemananan masyarakat. berbeda di wilayah elit seperti rumah komplek yangg selalu dijaga oleh satuan pengamanan alias SATPAM. Jika jumlah oknum kepolisian tidak mencukupi untuk menjaga, tentu yangg dilakukan perekrutan kepolisian dari masyarakat.

Terkadang, tindakan kejahatan sudah jauh dari perkiraan masyarakat. Pelaku kejahatan sudah mempunyai langkah untuk mendapatkan barang berbobot dari para korban. Tidak hanya skill dalam mencuri, senjata tajam juga menjadi jalan terakhir untuk menghabisi korbannya. Masyarakat sangat minim dalam penanganan senjata tajam. Diperlukan training untuk mengatasi pelaku kejahatan jika itu menjadi satu-satunya jalan mendapatkan keselamatan.

Butuh anggaran yangg tepat guna yangg dibutuhkan untuk mengeksistensi kepolisian dipemukiman masyarakat. Perlu ada skema kepolisian keamanan masyarakat. Perlu ada institution approach kepolisian kepada masyarakat. Jika negara tidak punya uang, maka negara siap utang untuk menjaga keamanan masayrakat. Karena keamanan bakal meningkatkan untung masyarakat, tidak hanya dari sisi emosi aman, namun juga untung finansial, lantaran tidak sedikit masyarakat bekerja di siang hari, tapi juga di malam hari.

Selanjutnya dalam konteks hukum, sampai saat ini para narapidana kejahatan menjadi beban negara. Negara menyiapkan anggaran triliunan untuk narapidana, tidak hanya masalah konsumsi makan minum, namun juga penggunaan listrik dan lainnya. Mereka diharapkan tinggal di lapas dengan angan bertaubat dari perbuatan. Tentu ada solusi bagi mereka agar kehadiran narapidana berfaedah bagi masyarakat dan negara, tidak hanya taubat. Narapidana dapat menjadi pekerja sosial, tidak sedikit jalanan yangg rusak, parit yangg kotor, menghidupkan lahan kosong. Dalam perihal ini disebut Program Reintegrasi Sosial alias Restorative Justice melalui Kerja Sosial.

Tidak rugi negara jika narapidana diberi makan dan minum, namun tenaga mereka dimanfaatkan untuk pekerjaan sosial. Penulis yakin, perlu waktu untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial masyarakat, namun jika pemerintah dan kepolisan punya niat suci dalam menjaga negara maka program-program keamanan masyarakat bakal tercipta. Semoga Medan, Sumatera Menjadi Negara yangg Baik dan Diberkahi. Amiin.

*** Penulis, Salman Nasution, adalah Dosen UMSU, KPEU MUI, MES SU

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan