Menikah untuk Menghindari Zina, Apa Iya? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

 CNN Indonesia

Sc: CNN Indonesia

Oleh: Ahimsa W. Swadeshi*

Sewaktu duduk di bangku SMA, saya kerap mendengar di beberapa kajian dan menemukan beberapa konten media sosial tentang pandangan yangg mengatakan bahwa dengan menikah, seseorang bakal dihindarkan dari bujukan untuk melakukan zina. Pandangan tersebut sekarang makin menjamur apalagi betul-betul dijadikan argumen bagi sebagian orang ketika ditanyai kenapa memilih menikah di usia muda. Namun sebenarnya, gimana penjelasan mengenai perihal ini?

Di Balik La

Narasi “Menikah untuk Menghindari Zina” umumnya didasarkan pada firman Allah swt. dalam Q.s al-Isra ayat 32 yangg artinya, “Dan janganlah Anda mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yangg keji, dan suatu jalan yangg buruk.” Istilah zina, menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, berfaedah “segala persetubuhan yangg tidak disahkan dengan nikah, alias yangg tidak sah nikahnya”. Hal menarik dari ayat tersebut adalah redaksi kalimat yangg bersuara “janganlah Anda mendekati zina”. Alih-alih langsung melarang berzina, Allah Swt mewanti-wanti agar tidak “mendekati zina”. Oleh sebagian pihak, perintah ini dimaknai secara harfiah sehingga melahirkan konklusi perlunya menyegerakan menikah.

Perintah larangan untuk tidak mendekati zina ini merupakan langkah Allah swt. menuntun kita belajar mengenai keahlian izin alias mengelola diri. Beranjak dari fase anak-anak menuju dewasa, seorang manusia bakal memasuki fase remaja dan mengalami perkembangan biologis maupun psikologis di dalam dirinya, termasuk mulai tumbuhnya kecenderungan terhadap musuh jenis. Perintah “janganlah Anda mendekati zina” seyogianya adalah tuntunan untuk belajar mengelola diri di fase hidup yangg penuh kebimbangan dan ketidakstabilan saat menjalani fase itu.

Oleh karenanya, sebetulnya, pendekatan yangg lebih tepat untuk menemani proses belajar seorang remaja di fase tersebut bukanlah melalui larangan alias pemberian batas kaku yangg membikin remaja itu tertekan, apalagi tanpa diberi penjelasan yangg cukup. Justru, di masa ini, mereka perlu dilibatkan secara aktif untuk bisa belajar mengendalikan diri, mengenal kekuatan dan kelemahannya, serta mengambil keputusan-keputusan yangg bakal menjadi bekal baik untuk dirinya di masa mendatang.

Melalui penjelasan di atas, dugaan soal “menikah untuk menjauhi zina” menjadi tidak relevan. Lebih dari itu, tujuan pernikahan tidaklah untuk melegalkan hawa nafsu semata dan menumpahkan gairah biologis semata. Sebaliknya, sebelum memutuskan untuk memasuki bahtera rumah tangga, seseorang mestinya bisa untuk belajar melatih keahlian pengendalian dirinya, termasuk dalam mengelola gairah biologisnya. Jika dia belum bisa menguasai keahlian ini, dia belum lolos untuk memenuhi syarat siap menikah.

Mengenai pengendalian diri, kisah Nabi Yusuf AS dan Zulaikha dalam al-Quran agaknya tepat menjadi sebuah refleksi. Dalam Q.s. Yusuf ayat 24 disebutkan, “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak memandang tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yangg terpilih.” Ayat tersebut menyuratkan gimana Nabi Yusuf AS pada akhirnya sukses mengelola diri meski dihadapkan pada situasi susah yangg sempat menggodanya untuk berzina. Melalui kisah ini, kita belajar bahwa pengelolaan diri itu perihal yangg sangat mungkin diupayakan.

Pernikahan di Indonesia

Laki-laki maupun wanita perlu dibekali beragam pengetahuan dan keahlian sejak mini mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Sebab, pernikahan sebagai sebuah perjanjian agung sejatinya memerlukan persiapan akal, mental, serta bentuk yangg matang. Terdapat beragam penyesuaian terhadap peran, tanggung jawab, serta relasi yangg perlu dilakukan oleh para pasangan setelah memasuki kehidupan pernikahan. Ketidaksiapan masing-masing perseorangan hanya bakal menciptakan hubungan perkawinan yangg berpotensi retak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan tiga aspek tertinggi argumen perceraian adalah (1) perselisihan dan pertengkaran terus menerus, (2) ekonomi, serta (3) ada salah satu pihak yangg meninggalkan pihak lainnya. Sebenarnya, baru-baru ini, masyarakat dihebohkan oleh info lain dari BPS yangg memperlihatkan bahwa nomor pernikahan di Indonesia mengalami tren penurunan dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2023, jumlah nomor pernikahan turun hingga 1.577.255 setelah sebelumnya di tahun 2021 dan 2022 berada di atas 1.700.000.

Sebagian pihak memandangnya positif lantaran ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia semakin mempunyai pertimbangan yangg matang sebelum memutuskan untuk menikah. Meski begitu, perjuangan tetap panjang. Berbagai problem soal pernikahan, termasuk perkawinan anak, tetap menjadi salah satu rumor yangg memerlukan banyak perhatian.

Narasi “menikah untuk menghindari zina” yangg muncul di beragam kajian maupun di media sosial perlu menjadi pembelajaran. Meskipun mungkin awalnya diniatkan untuk merespons banyaknya kejadian kehamilan yangg tidak diinginkan dan mencegah hubungan pacaran yangg tidak sehat, narasi tersebut nyatanya malah membangun langkah berpikir yangg dangkal di masyarakat. Penyusunan narasi untuk melakukan edukasi mesti didasarkan pada kajian yangg mendalam, strategis, dan mencerahkan sehingga dapat membangun kesadaran masyarakat secara mengakar. [5/24]

*Sekretaris Departemen Pendidikan dan Advokasi PDNA Kota Yogyakarta

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id