Mengapa Istrimu Berjilbab? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 8 bulan yang lalu

 Harapan Rakyat

Ilustrasi: Harapan Rakyat

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi*

Saya pernah bekerja di sebuah lembaga yangg tidak terafiliasi dengan kepercayaan tertentu. Suatu hari, supervisor saya yangg kebetulan seorang wanita expatriate bertanya dengan tulus. Dia mau memahami budaya busana wanita Indonesia.

Dia bertanya, “Kenapa istrimu memakai jilbab?”

“Saya menghormati pilihan busana istri saya. Selama dia merasa lebih kondusif dan nyaman mengenakan jilbab, ya silakan saja. Kebetulan, istri saya kuliah di kampus negeri yangg tidak terafiliasi dengan kepercayaan tertentu. Jadi, keputusan untuk berjilbab adalah perihal yangg sangat individual baginya,” jawab saya.

Lalu dia bertanya lagi, “Apakah aliran kepercayaan Anda memang mewajibkan wanita berjilbab?”

Saya kemudian menjelaskan, “Ada sebagian wanita yangg menganggap berjilbab itu wajib, tetapi ada juga yangg tidak. Istri saya memandangnya sebagai tanggungjawab untuk dirinya sendiri, lebih lantaran aspek kenyamanan dan keamanan saja.”

Supervisor saya pun berkata, “Oh, begitu ya… Jadi tergantung kepercayaan masing-masing orang, ya?”

“Berjilbab merupakan salah satu ekspresi keagamaan yangg didasari oleh kepercayaan terhadap perintah agama. Menjalankan perintah itu adalah bagian dari ketundukan seorang hamba kepada Allah. Keyakinan adalah puncak dari kepercayaan perseorangan kepada-Nya. Keyakinan tidak selalu kudu didasarkan pada sikap logis dan tidak memerlukan persetujuan orang lain mengenai apakah itu dianggap layak alias tidak,” saya menjelaskan lagi.

Bagi yangg meyakini, menjalankan kepercayaan itu adalah perihal yangg baik, lantaran ketundukan kepada Allah adalah keniscayaan. Bagi mereka yangg meyakini bahwa berjilbab itu wajib, maka tindakan itu bakal terasa ringan.

Baca Juga: Istri Berpuasa Sunah, Apakah Harus Izin Suami?

Beragama itu sangat privat, lantaran pahala alias dosa atas kebaikan perbuatan manusia bakal kembali pada pertanggungjawaban masing-masing individu. Pertanggungjawaban itu bakal terjadi kelak di akhirat, di mana Allah yangg bakal menjadi pengadil tunggal. Jika ada pemaafan alias penghukuman, itu semua adalah kewenangan prerogatif Allah. Tidak ada yangg tahu, sebaik alias sealim apa pun seseorang.

Supervisor saya tampak semakin bingung dan tentu saja tidak sepenuhnya paham. Sambil tersenyum hormat, dia mengungkapkan kebingungannya.

Saya melanjutkan penjelasan saya, “Untuk urusan sosial kemasyarakatan, praktik berakidah seseorang haruslah tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain alias mengganggu ketertiban sosial. Misalnya, salat itu wajib bagi umat Muslim, tetapi jika dilakukan di tengah jalan raya, padahal tempat-tempat salat sudah tersedia dengan nyaman, perihal itu bisa mengganggu orang lain yangg mau melewati jalan tersebut. Meski menunaikan kewajiban, salat di tengah jalan raya tetap melanggar prinsip ketertiban berbareng dan dapat mencederai kemaslahatan hidup bersama.”

Bagi saya, salat adalah tanggungjawab pribadi bagi setiap hamba Allah. Begitu juga dengan berjilbab. Istri saya mengenakan jilbab lantaran keyakinannya. Tentu saja, perihal itu dia lakukan tanpa mengganggu kenyamanan orang lain. Pilihan tersebut kudu dihormati. Begitu pula bagi wanita lain yangg berkeyakinan bahwa jilbab itu tidak wajib. Mereka juga kudu dihormati.

Memaksa alias melarang orang untuk mengenakan jilbab sama saja dengan mengganggu privasi orang lain. Itu berfaedah melanggar prinsip dan kewenangan dasar individu, yangg ujung-ujungnya malah dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan jauh dari kemaslahatan.

*Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id