Mendorong Pemberitaan Media Online Responsif Gender - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 8 bulan yang lalu

Oleh: Susilastuti Dwi N.

Perempuan kiranya tetap selalu menarik perhatian sebagai bahan pemberitaan. Sayangnya pemberitaan tentang wanita condong kurang mengandalkan aspek-aspek, seperti prestasi, kualitas, dan pemikiran mereka. Sebagai bahan berita, wanita sering kali sekadar dijadikan objek pemanfaatan untuk meningkatkan clikbait, rating, apalagi oplah satu media lantaran daya tarik seksual dan sensual mereka di dalam bumi yangg patriarkis ini.

Sebenarnya hadirnya new media alias media online memberikan angan bahwa pemberitaan tentang wanita bisa lebih meningkat secara kualitas sehingga menampilkan wanita secara lebih utuh. Namun, realitanya pemberitaan tentang wanita tetap sering bias gender, tidak responsif gender. Kentalnya budaya patriarki telah menempatkan wanita sebagai objek pemanfaatan dalam pemberitaan di media.

Terkait dengan perihal tersebut, Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Sri Rahayu di Yogyakarta beberapa waktu lampau mengemukakan pemberitaan tentang perempuan, khususnya kasus kekeras- an seksual belum seperti yangg diharapkan. Media tetap menempatkan ke- kerasan seksual sebagai objek pemberitaan. Tingginya kasus kekerasan seksual terhadap wanita merupakan salah satu topik pemberitaan yangg dianggap menarik dan memang demikian dalam kenyataannya bagi publik.

Tidak bolehkah menjadikan kekerasan seksual terhadap wanita seperti itu sebagai objek pemberitaan? Tentu saja boleh. Pemberitaan kasus- kasus kekerasan seksual yangg dialami wanita diharapkan bisa membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk peduli dan responsif terhadap masalah yangg dihadapi perempuan. Namun, dalam realitanya pemberitaan tentang kekerasan seksual di media massa juga mengandung kerentanan dan akibat dalam upaya perlindungan korban.

Hal itu terjadi jika pemberitaan tentang kekerasan seksual yangg menimpa wanita disajikan secara vulgar, dengan penjelasan mendetail tentang peristiwa dan korbannya. Pemberitaan seperti itu jelas berakibat pada stig- matisasi maupun framing yangg merugi- kan korban. Merujuk hasil penelitian Nuzuli (2021) rumor seksual dan kekerasan seksual merupakan topik yangg mempunyai nilai jual tinggi bagi media online. Topik kekerasan yangg paling sering diliput di media online adalah buletin pemerkosaan, pelecehan seksual, dan “penjualan” perempuan. Pelangga- ran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) tetap banyak dilakukan dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual pada perempuan.

Pelanggaran KEJ dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual pada perem- puan antara lain adalah pencampuradu- kan antara kebenaran dan opini (31%). Pasal 3 KEJ mengatur wartawan Indonesia agar selalu menguji informasi, memberitakan secara seimbang, tidak mencampurkan antara kebenaran dan opini yangg menghakimi, serta menerapkan asas prasangka tidak bersalah. Selanjutnya, media buletin online juga sering mengungkap identitas korban (31%), termasuk mengungkap identitas pelaku anak (20%). Padahal KEJ pasal 5 menyebut bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyebut identitas kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yangg menjadi pelaku kejahatan”. Ketentuan itu dimaksudkan agar identitas diri anak yangg terlibat dalam kejahatan susila tidak mudah terlacak. Anak, ialah mereka yangg berumur kurang dari 16 tahun dan belum menikah, haruslah dilindungi.

Baca Juga: MTK PDA Demak Selenggarakan Pelatihan Muballighat

Akibat pola pemberitaan semacam ini, isi buletin online tentang kekerasan seksual condong tetap menggiring pembacanya untuk membikin stereotype (pelabelan) dan menghakimi korban. Hal ini jelas merugikan perempuan. Tidak hanya itu, narasi di media online tetap menormalisasi kekerasan seksual, menyudutkan, dan menyalahkan korban sehingga kekerasan seksual kepada wanita dianggap sebagai sesuatu yangg wajar.

Merujuk hasil penelitian tahun 2022 terhadap berita-berita dari sembilan media online ditemukan adanya masalah redaksi pemberitaan yangg belum mencerminkan sikap responsif kelamin dan perlindungan terhadap korban. Pemberitaan yangg belum responsif kelamin terlihat dalam pilihan kata yangg bermasalah. Pertama, pelabelan melalui repetisi kata-kata stereotype yangg memberikan makna negatif seperti janda, mbak, layani, pelanggan, gampangan, kembang, ibu muda, cantik, seksi, kebaya
merah, gadis. Kedua, diskriminasi/violence, seperti penggunaan kata digilir, diperkosa, dipaksa, jual perempuan, kawin paksa, korban prostitusi. Ketiga, marginalisasi, seperti diusir warga, penyebar kejelekan keluarga, merusak nama baik.

Keempat, victim blaming (penyalahan korban) seperti baju ketat, rok mini, body seksi, mandul, tidak menyenangkan suami. Adapun redaksi pemberitaan yang
belum mencerminkan perlindungan terhadap korban antara lain adalah sebagai berikut. (1) Pengungkapan identitas korban seperti nama, nama
orang tua, alamat rumah/tempat kerja, alamat sekolah. (2) Pemaparan kejadian secara perincian dengan diksi yangg vulgar (meremas dada/bokong, digoyang, kemaluan), dan repetisi narasi kekerasan. (3) Penghakiman korban, seperti penggunaan istilah pelakor, penggoda, janda, pulang malam, tidak punya pekerjaan, korban berperan. (4) Penghukuman seperti narasi melakukan zina, layak diceraikan, dinikahkan dengan pelaku, dirajam.

Redaksi pemberitaan tersebut jelas tidak responsif kelamin dan melanggar Pasal 5 KEJ. Hal ini berakibat pada masalah perlindungan korban. Pemberitaan di media online khususnya dan media lainnya semestinya menaati KEJ. Wartawan, jejeran redaksi, organisasi wartawan, dan Dewan Pers yangg mengawal kerja jurnalistik perlu bersinergi untuk bersama-sama meningkatkan kualitas karya jurnalistik yangg responsif gender, khususnya mengenai masalah kekerasan seksual pada perempuan.

Wartawan kudu jeli dalam menggunakan judul, diksi, maupun narasi agar buletin menjadi responsif kelamin dan memberikan perlindungan kepada korban. Ruang redaksi alias newsroom perlu lebih ketat dalam memproduksi dan menerbitkan berita-berita kekerasan seksual yangg menimpa wanita dan anak. Pelatihan-pelatihan jurnalistik yangg responsif kelamin kudu dioptimalkan. Pemberitaan yangg bias kelamin kudu ditekan seminimal mungkin. Usaha ini memerlukan penyamaan frame tentang persoalan kelamin di masyarakat. Persoalan kelamin tetap besar akibat kuatnya budaya patriarki. Oleh lantaran itu, Dewan Pers diharapkan segera menyusun standar penulisan yangg responsif.

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id