Magang Nasional di Tengah Awan Perlambatan Industri
Oleh : Arif Pratama Marpaung – Dosen Fakulktas Ekonomi & Bisnis UMSU
Pemerintah tengah mematangkan Program Magang Nasional sebagai bagian dari delapan langkah percepatan kebijakan ekonomi 2025. Program ini dirancang untuk memperkuat kualitas sumber daya manusia melalui kemitraan strategis antara perguruan tinggi dan bumi industri. Skema yangg dijadwalkan meluncur pada kuartal IV tahun 2025 ini menargetkan 20.000 lulusan baru dari beragam universitas untuk menjalani magang selama enam bulan di perusahaan swasta maupun BUMN, dengan tunjangan setara bayaran minimum provinsi (UMP). Pemerintah menyiapkan anggaran Rp198 miliar untuk tahap awal implementasi.
Kebijakan ini dimaksudkan sebagai bridging program antara bumi pendidikan dan bumi kerja. Lulusan perguruan tinggi diharapkan tidak hanya mengantongi ijazah, tetapi juga kompetensi yangg sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja modern. Namun, di tengah pendapat ideal tersebut, terdapat sejumlah catatan yangg perlu dicermati secara kritis. Besaran kompensasi yangg hanya setara UMP dinilai terlalu rendah jika disandingkan dengan kualifikasi pendidikan peserta. Jika dihitung secara sederhana, tunjangan setara UMP berfaedah pendapatan sekitar Rp9.000 per jam—nilai yangg tidak mencerminkan keahlian intelektual dan ahli lulusan sarjana yangg diharapkan menjadi knowledge worker di masa depan.
Selain persoalan kompensasi, waktu penyelenggaraan program juga mengundang perhatian. Program ini digagas di tengah indikasi perlambatan aktivitas industri nasional. Berdasarkan info Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku dan penolong pada Agustus 2025 turun 9,06 persen dibanding periode yangg sama tahun sebelumnya, menjadi US$13,65 miliar dari US$15,01 miliar. Penurunan serupa terjadi pada Juli 2025 sebesar 11,94 persen. Merosotnya impor bahan baku ini menandakan penurunan aktivitas produksi di beragam sektor manufaktur, sekaligus menunjukkan sikap hati-hati perusahaan dalam menjaga arus kas dan kapabilitas produksi.
Perlambatan tersebut juga tercermin pada Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yangg berada di level 50,4 pada September 2025, turun dari 51,5 pada bulan sebelumnya. Meski tetap berada di area ekspansi, nomor ini mengindikasikan adanya tekanan yangg signifikan pada sektor riil. Kondisi ini diperburuk oleh volatilitas nilai tukar, pelemahan permintaan domestik, dan ketidakpastian ekonomi global. Banyak perusahaan sekarang memilih menahan ekspansi, mengurangi jam kerja, alias menunda perekrutan tenaga kerja baru. Dalam situasi seperti itu, kapabilitas industri untuk menyerap peserta magang secara produktif menjadi terbatas.
Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi contoh nyata tekanan tersebut. Kebijakan tarif impor tinggi dari Amerika Serikat yangg mencapai 19 persen telah menurunkan daya saing produk Indonesia dibandingkan Vietnam dan Bangladesh. Akibatnya, sejumlah pabrikan konsentrasi menjaga likuiditas dan efisiensi biaya daripada memperluas lapangan kerja. Dalam konteks ini, Program Magang Nasional berisiko kehilangan nilai strategisnya, lantaran perusahaan mungkin sekadar menerima peserta magang tanpa memberikan pengalaman belajar yangg substantif.
Selain tantangan ekonomi, persoalan tata kelola (governance challenge) juga tidak bisa diabaikan. Pemerintah perlu memastikan sistem seleksi peserta, pengedaran ke perusahaan, serta pengelolaan anggaran dilakukan secara transparan dan akuntabel. Perbedaan standar bayaran minimum dan kapabilitas industri antarwilayah juga perlu menjadi pertimbangan. Tanpa sistem yangg terkoordinasi dengan baik, kebijakan ini mudah terjebak dalam simbolisme administratif—lebih berfaedah sebagai proyek pencitraan daripada solusi struktural bagi peningkatan kualitas tenaga kerja.
Meski demikian, kesempatan untuk memperkuat kebijakan ini tetap terbuka. Integrasi magang dengan kurikulum kampus dapat membangun kesinambungan antara teori dan praktik. Pemerintah juga dapat memberikan tax incentive bagi perusahaan yangg aktif merekrut peserta magang, memperluas sektor partisipasi ke bagian ekonomi hijau, industri kreatif, maritim, serta teknologi digital. Jika disertai pengarahan ahli (mentoring system) dan pertimbangan keahlian peserta, program ini berpotensi menghasilkan talent pipeline yangg sesuai dengan kebutuhan industri masa depan.
Keberhasilan Program Magang Nasional semestinya tidak diukur dari jumlah peserta alias total biaya yangg terserap, melainkan dari relevansi kompetensi yangg dihasilkan dan tingkat penyerapan tenaga kerja setelah magang berakhir. Di tengah awan perlambatan industri, kebijakan ini menuntut arah yangg presisi, manajemen yangg transparan, serta support nyata dari sektor riil. Dengan kreasi kebijakan yangg matang dan sinergi lintas sektor yangg kuat, program ini berpotensi menjadi investasi jangka panjang dalam membangun tenaga muda Indonesia yangg produktif, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan ekonomi dunia yangg semakin dinamis.
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·