Harga emas melonjak dalam beberapa pekan terakhir. (Foto: Freepik)
MAKLUMAT — Dosen Perbankan Syariah Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Ninda Ardiani SEI MSE, menyoroti kenaikan tajam nilai emas bumi yangg menembus level US$4.000 per troy ounce dalam beberapa pekan terakhir. Menurutnya, lonjakan ini merupakan sinyal kuat meningkatnya kekhawatiran penanammodal terhadap ketidakpastian global.
Di Indonesia, nilai emas batangan juga melonjak hingga sekitar Rp2,36 juta per gram, yangg mencerminkan tekanan dobel dari nilai internasional dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Dosen Perbankan Syariah Umsida, Ninda Ardiani SEI MSE.Menurut Ninda, kenaikan nilai emas pada dasarnya menunjukkan kebutuhan penanammodal untuk mencari aset lindung nilai (safe haven) di tengah akibat geopolitik dan arah kebijakan suku kembang dunia yangg belum menentu. Namun di sisi lain, kejadian ini juga memperlihatkan wajah spekulatif ekonomi masyarakat.
“Banyak perseorangan membeli emas bukan untuk tujuan melindungi nilai kekayaan (hedging), melainkan lantaran tergoda kesempatan untung cepat,” ujarnya, dikutip dari laman resmi Umsida, Ahad (26/10/2025).
Ia menilai perilaku spekulatif tersebut dapat menimbulkan akibat bagi stabilitas ekonomi makro dan kesejahteraan mikro rumah tangga.
Ketika pembelian emas didorong oleh ekspektasi “harga pasti naik”, pasar menghadapi akibat gelembung (price bubble). Jika koreksi nilai terjadi, masyarakat bisa menanggung kerugian, konsumsi menurun, dan biaya produktif mengalir ke aset yangg tidak memberikan nilai tambah bagi sektor riil.
Pendekatan Keuangan Syariah sebagai Jalan Tengah
Dalam perspektif finansial syariah, praktik spekulatif terhadap emas perlu dikritisi secara mendasar. Islam memandang kekayaan sebagai amanah (trust) yangg kudu digunakan secara produktif dan etis. Prinsip-prinsip seperti larangan gharar dan maysir menjadi dasar agar transaksi finansial tidak mengandung unsur ketidakadilan alias perjudian.
“Spekulasi terhadap nilai emas, di mana pelaku membeli bukan lantaran kebutuhan riil alias tujuan investasi jangka panjang, melainkan semata lantaran berambisi nilai naik, sangat dekat dengan unsur maysir tersebut,” jelas Ninda.
Ia menegaskan bahwa pasar ideal dalam Islam adalah pasar yangg bebas dari ketidakpastian ekstrem dan berorientasi pada kemaslahatan. Karena itu, finansial syariah mendorong agar investasi diarahkan ke sektor riil seperti pertanian, manufaktur, dan upaya mikro yangg produktif.
“Aliran biaya ke sektor riil tidak hanya menghasilkan untung finansial, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi masyarakat dan menciptakan pemerataan kesejahteraan,” tuturnya.
Sementara itu, penumpukan biaya pada instrumen spekulatif seperti emas tanpa produktivitas justru berpotensi memperlebar kesenjangan sosial.
Harga Emas: Kebijakan dan Etika Publik
Lebih lanjut, Ninda mendorong otoritas moneter dan lembaga finansial untuk memperkuat literasi finansial syariah di masyarakat, agar publik memahami bahwa “untung cepat” bukanlah karakter investasi Islami.
“Produk emas syariah seperti pembiayaan murabahah emas bisa menjadi pengganti investasi yangg halal, aman, dan transparan,” imbuhnya.
Ia juga menilai, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menyeimbangkan pengawasan pasar dengan kebijakan makroprudensial, termasuk membatasi penggunaan angsuran untuk pembelian emas secara spekulatif.
Menurutnya, kenaikan nilai emas bukan tanda kemakmuran, tetapi refleksi keresahan global. “Dalam pandangan Islam, kestabilan ekonomi tidak diukur dari kenaikan nilai aset, melainkan dari keadilan, keberlanjutan, dan keberkahan dalam sirkulasi harta,” tegasnya.
Ia juga menandaskan bahwa emas semestinya tetap menjadi simbol ketahanan dan kehati-hatian, bukan perangkat pertaruhan finansial.
“Dalam bingkai ekonomi syariah, keseimbangan antara rasionalitas ekonomi dan moralitas spiritual menjadi kunci agar emas dan kekayaan secara umum betul-betul membawa manfaat, bukan mudharat,” pungkas Ninda.
*) Penulis: Romadhona S / Ubay NA
15 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·