Literatur KHGT (5) : Review Buku “Awā’il al-Syuhūr al-‘Arabiyyah Hal Yajūzu Syar’an Itsbātahā bi al-Hisāb al-Falaky?” Karya Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M) - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 minggu yang lalu

Literatur KHGT (5) : Review Buku “Awā’il al-Syuhūr al-‘Arabiyyah Hal Yajūzu Syar’an Itsbātahā bi al-Hisāb al-Falaky?” Karya Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M)

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU

Buku “Awa’il al-Syuhur al-‘Arabiyyah Hal Yajuzu Syar’an Itsbataha bi al-Hisab al-Falaky?” (Awal-Awal Bulan Arab Apakah Boleh secara Syariat Menetapkannya dengan Hisab Astronomi?) karya Ahmad Muhammad Syakir ini diterbitkan oleh Maktabah Ibn Taimiyyah, Mesir, cetakan kedua, tahun 1407 H/1985 M. Berisi 30 halaman. Selesai ditulis tahun 24 Zulhijah 1357 H/13 Februari 1939 M. Ahmad Muhammad Syakir adalah ustadz sabda asal Mesir. Ia adalah pentahkik kitab ar-Risālah karya Imam Asy-Syafi’i.

Dalam karyanya ini Ahmad Muhammad Syakir menegaskan dua perihal krusial ialah kebolehan penggunakan hisab dan urgensi penyatuan waktu-waktu ibadah. Dalam penjabarannya kitab ini sangat kaya literasi dengan banyak merujuk dan menganalisis beragam pendapat ustadz dan mazhab. Dibagian awal (mukadimah) dijelaskan kebenaran bahwa hingga saat ini belum ada di kalangan umat Islam kesatuan (unifikasi). Praktik rukyat di negeri-negeri Islam kerap dilakukan masing-masing (hlm. 4).

Terhadap legalitas dan kebolehan hisab, Ahmad Muhammad Syakir menuturkan bahwa bangsa Arab pada awalnya tidak mengerti astronomi dengan pemahaman komprehensif karena bangsa Arab kala itu tetap ‘ummy’  (buta tulis-hitung). Karena itu Nabi Saw menjadikan sarana termudah dalam menentukan awal bulan ialah rukyat (melihat anak bulan), karena Allah tidak membebani lebih dari kesanggupan umat. Namun seiring berkembangnya Islam, ditandai beragam kemenangan (futūhāt) dan capaian dalam bagian pengetahuan pengetahuan, memberi ruang hisab astronomi. Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, cukup banyak mahir fikih dan mahir sabda yangg tidak mengetahui astronomi, apalagi kebanyakan mereka tidak mempercayai pendapat para mahir di bagian ini, terlebih menganggap hisab
sebagai sesuatu yangg bid’ah (hlm. 8-9). Ahmad Muhammad Syakir menjawab perihal ini secara logis dan argumentatif.

Adapun sabda Nabi Saw “fa in ghumma ‘alaikum faqdurū lahu” dan “fa in ghumma ‘alaikum fa akmilū ‘al-iddata tsalātsīn”, Ahmad Muhammad Syākir menjawab dengan mengutip pendapat Ibn Suraij (w. 306 H/918 M) yangg menggabungkan dua riwayat ini dalam
dua keadaan berbeda. Redaksi “faqdurū lahu” berarti “kadarkanlah dengan kalkulasi al-manazil (hisab-falak)”, yangg tertuju untuk orang-orang yangg mengerti pengetahuan perhitungan, sementara pernyataan “fa akmilū…” tertuju untuk orang-orang awam (hlm. 15-16).

Adapun mengenai penanggalan global, Ahmad Muhammad Syakir mengawali dengan menganalisis konsep perbedaan matlak (ikhtilaf al-mathali’), lampau penyatuan matlak (ittihad al-mathali’). Dalam perihal ini dia mengakui bahwa perbedaan terbit bulan dan benda-benda langit
merupakan kebenaran tak terbantah yangg disebabkan banyak perihal diantaranya lantaran berbedanya posisi lintang dan bujur. Fukaha silam sendiri berbeda pendapat tentang perihal ini, namun kebanyakan tidak memandang perbedaan matlak (hlm. 17). Disini Ahmad Muhammad Syakir
menampilkan pendapat-pendapat para ustadz yangg dikategorikan pendapat jumhur tentang matlak global. Namun demikian dia tidak menafikan adanya pendapat sejumlah ustadz yangg mendukung matlak lokal, dimana dia menampilkan pendapat-pendapat itu.

Pandangan matlak lokal, yangg berarti tiap-tiap negeri bertindak rukyat masing-masing, menurut Ahmad Muhammad Syakir dalam konteks awal praktik itu memang logis. Namun ini menurutnya lebih dalam konteks kesanggupan (at-taklif bil mukallafin) ketika itu.

Tatkala pengetahuan (hisab astronomi) telah berkembang maka meniscayakan untuk menerima dan menerapkan matlak dunia oleh lantaran konteks hadis-hadis rukyat sesungguhnya adalah global. Terlebih lagi rukyat lokal kala itu digunakan dalam kondisi lantaran adanya aspek hambatan tulis-hitung, lantaran itu tatkala aspek itu telah hilang, yangg ditandai dengan capaian dan kemajuan pengetahuan pengetahuan, maka hisab dan matlak dunia menjadi pilihan logis.

Berikutnya setelah menguraikan jenis pendapat dan dinamika para ustadz tentang ini, Ahmad Muhammad Syakir menegaskan pandangan dan dukungannya atas matlak global. Dalam perihal ini secara tegas dia menguatkan matlak global. Bahkan menurutnya penetapan awal bulan di permukaan bumi ini sejatinya mesti satu hari yangg sama. Ia menyatakan sebagai berikut,

” ; والذي أهدروا اختلاف المطالع وحكموا بسريان الرؤية في بلد على جميع أقطار الأرض كانوا ناظرين
إلى الحقيقة المجردة أن أول الشهر يجب أن يكون في هذه الكرة الأرضية يوما واحدا وهو الحق الذي لا
مرية فيه “

“Dan mereka yangg mengabaikan perbedaan matlak dan menetapkan berasas perjalanan keterlihatan bulansabit di suatu negeri untuk seluruh penjuru bumi maka mereka memandang kebenaran yangg hakiki, bahwa awal bulan wajib di permukaan bumi ini satu hari, ini merupakan kebenaran yangg tidak ada keraguan tentangnya” (hlm. 20).

Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H/1958 M)

dan karyanya “Awa’il al-Syuhur al-‘Arabiyyah Hal Yajuzu Itsbataha bi al-Hisab al-Falaky”

Dalam konteks unifikasi tampak Ahmad Muhammad Syakir secara tegas menolak perbedaan matlak dan menyatakan bahwa awal bulan di permukaan bumi ini sejatinya wajib jatuh pada satu hari yangg sama, betapapun antar negara itu saling dan sangat berjauhan,

والبديهي الذي لا يحتاج إلى دليل أن أوائل الشهور لا تختلف باختلاف الأقطار أو تباعدها

“Dan yangg nyata, yangg tidak memerlukan dalil bahwa awal-awal bulan tidak ada perbedaan lantaran perbedaan wilayah (negara) alias lantaran jaraknya yangg jauh” (hlm. 19).

Adapun norma dan standar almanak dunia menurut Ahmad Muhammad Syakir adalah saat terbenam bulansabit setelah gurub mentari (di Makkah) walaupun hanya sesaat (lahzhah wahidah). Disini tampak Ahmad Muhammad Syakir menempatkan Makkah sebagai standar. Adapun alasannya berasas al-Qur’an dan sunah, antara lain QS. Al-Baqarah ayat 189 yangg menjelaskan hilal-hilal (al-ahillah) yangg dimaknai dan difungsikan sebagai sistem waktu (li at-tauqit) dalam beragam hal, paling utama dalam sistem waktu perhajian. Spesifikasi penyebutan haji dalam ayat ini adalah isyarat lembut adanya konteks hubungan tempat tertentu, dalam perihal ini tempat dilakasanakannya ibadah haji ialah di Makkah (hlm. 21).

Sementara itu berasas sunah, Ahmad Muhammad Syakir mengutip beragam riwayat yangg menyatakan tentang kolektifitas puasa, idul fitri, idul adha, menyembelih kurban, wukuf, Arafah, Mina, dan Muzdalifah. Antara lain Ahmad Muhammad Syakir mengutip riwayat dari Abu Hurairah berikut,

فطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون وكل عرفة موقف وكل منى منحر وكل فجاج مكة منحر وكل
جمع موقف

“Idul fitri kalian adalah saat orang-orang beridul fitri, idul adha kalian adalah saat orang-orang beridul adha, semua arafah adalah tempat wukuf, semua Mina adalah tempat menyembelih, semua jalur (jalan) adalah Makkah dan tempat menyembelih, setiap pertemuan (berkumpul) adalah tempat wukuf” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini menunjukkan bahwa puasa dan hari raya dilaksanakan secara kolektif lagi dunia dan menetapkan satu tempat tertentu ialah Arafah dan Makkah sebagai pusat. Bahkan kata “ ’arafah” sendiri sesungguhnya menunjukkan hari dan alias tempat (yauman, makanan), demikian lagi penyebutan Makkah, Mina, dan Muzdalifah. Karena itu menurut Ahmad Muhammad Syakir penyebutan tempat-tempat haji dan waktunya dalam beragam riwayat menguatkan pandangan Ahmad Muhammad Syakir bahwa konteksnya adalah haji wadak. Karena itu dipahami bahwa makna sabda adalah puasa masyarakat Makkah dan sekitarnya, demikian lagi lebaran dan kurban. Maka menurut Ahmad Muhammad Syakir tempat-tempat ini adalah yangg dipedomani dalam menetapkan bulansabit bagi umat Islam di penjuru bumi dan untuk diikuti seluruh umat Islam pula. Ini sekali lagi menjadi isyarat, hikmah, dan makna dalam pengkhususan penyebutan haji dalam ayat tersebut.

Karena itu jika perihal ini dapat direalisasikan maka bakal bersatulah umat Islam dalam penaggalan. Dalam perihal ini Makkah adalah sumber Islam dan tempat wahyu, tempat bertemunya umat Islam setiap tahun dengan saling mengenal dan saling merindukan, sementara disana ada Baitullah (Kakbah) yangg menjadi arah kiblat dalam salat, yangg menjadi miniatur kesatuan, dan Makkah sekali lagi sebagai pusat dalam penentuan waktu (hlm. 29-29). Wallahu a’lam[]

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan