MUHAMMADIYAH DALAM PERSPEKTIF GERAKAN TAJDID.
Oleh: Drs.H.Talkisman Tanjung, Wkl ketua PDM Mandailing Natal.
Muhammadiyah disamping sebagai aktivitas Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, juga dikenal sebagai aktivitas Tajdid. Tajdid berasal dari kata : _”jaddada – yujaddidu -_ __tajdiidan”_, nan berfaedah menjadi baru alias terbarukan. Tajdid adalah pembaharuan dalam aliran Islam agar terlepas dari tiga kebatilan ialah takhayyul, bid’ah dan khurafaat.
Ketika muhammadiyah didirikan, upaya praktis dan pragmatis nan dilakukan adalah menyebarkan aliran Islam nan betul dan baik sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Misalnya, memperbaiki arah kiblat, menghilangkan praktek-praktek tahayyul, bid’ah dan khurafat, memurnikan penyelenggaraan syari’at-syari’at Islam, dan sasaran utama adalah pemurnian dibidang aqidah dan ibadah.
Menurut Haedar Nashir, muhammadiyah memberikan makna pembaharuan kedalam dua gerakan, ialah pertama, aktivitas purifikasi nan mengenai dengan persoalan aqidah dan ibadah. Sedangkan nan kedua, aktivitas modernisasi dan reformasi, terutama dibidang mu’amalah duniawiyah. Muhammadiyah melakukan semua ini adalah untuk memfungsikan Islam sebagai hudan, furqan dan rahmatan lil’alamin, sehingga kehidupan masyarakat terbimbing dengan baik. Dan semua dilakukan lantaran muhammadiyah berpandangan bahwa tajdid itu merupakan salah satu watak dari aliran Islam itu sendiri. Artinya, muhammadiyah memaksimalkan potensi logika nan sehat dan bersih untuk kepentingan kemajuan ummat dan bangsa.
Quraisy Shihab mengartikan tajdid itu sebagai ‘pencerahan’ sekaligus ‘pembaruan’. Namun didalam matan keperibadian muhammadiyah disebutkan bahwa dakwah amar ma’ruf nahi mungkar ditujukan kepada nan telah Islam dan nan belum Islam. Kepada nan telah berakidah Islam dakwah muhammadiyah itu berkarakter tajdid (pembaruan), ialah mengembalikan kepada aliran Islam nan original dan murni. Sementara dakwah muhammadiyah kepada nan belum berakidah Islam berkarakter rayuan dan seruan. Jadi prinsip tajdidnya sebatas pemurnian(tajrid dan tanzhif), ialah dengan semboyan “kembali kepada Al-qur’an dan As-sunnah nan maqbulah.
Dalam perihal kepentingan pengembangan muhammadiyah sebagai aktivitas tajdid kedepan, mengerti kepercayaan nan berkarakter teosentrisme nan hanya memposisikan manusia sebagai hamba Allah, tetapi kurang adaptif, empati terhadap persoalan kemanusiaan, nampaknya tidak memadai dan, selain dia berkarakter terbatas juga diprediksi bakal kewalahan menghadapi tantangan dan masalah kehidupan masyarakat nan relatif semakin kompleks. Konsep _hablun min Allah_ dan _hablun min al-nas_ adalah konsep nan universal (kaaffah) nan ditawarkan Islam berkemajuan dalam beragama. Dengan konsep tersebut muhammadiyah bakal bisa melakukan lompatan jauh dan mendalam membawa visi dan misi Islam berkemajuan sesuai perkembangan zaman.
Melihat dan memperbincangkan muhammadiyah dalam perspektif aktivitas tajdid, ada satu contoh kasus sebagai komparasi nan terjadi di bumi gereja di Eropa Barat pada awal abad 20 nan lalu. Dengan munculnya industrialisasi nan luar biasa di Eropa Barat akhirnya melahirkan tiga kelas masyarakat yaitu, kapitalis, borjuis(menengah) dan proletar. Pada waktu itu gereja ditantang gimana bisa terlibat alias melibatkan diri dalam persoalan kemiskinan di tengah masyarakat kelas seperti itu. Dan akhirnya muncul bidat-bidat (aliran bid’ah dlm gereja) baik di gereja katolik mapun gereja kristen. Kelompok bidat ini berpandangan, bahwa andaikan gereja tidak segera melibatkan diri dalam persoalan kemiskinan nan dihadapi masyarakat Eropa, dikhawatirkan bakal mrnumbuhkan marxisme/komunisme alias atheisme, karena masyarakat Eropa sudah tidak percaya kepada gereja. Dan andaikan kita memandang sejarahnya, memang marxisme itu lahir ditengah-tengah masyarakat proletariat di Eropa Barat, bukan di Rusia. Kaum proletar ini muncul di Eropa Barat pada saat industrialisasi mencapai puncaknya.
Dalam realitasnya, bidat-bidat nan muncul setelah terjadi pergolakan ditubuh gereja katolik/kristen, seperti “jalan keselamatan”, mereka bergerak untuk terjun melibatkan diri dalam persoalan kemanusiaan. Pada bulan-bulan musim dingin (di Kanada dll), masalah terbesar nan dihadapi kaum proletar adalah penyediaan jaket (baju anti dingin) nan bakal dipakai 3 s/d 4 bulan. Jaket nan baru harganya 100-150 dollar nan tentu sangat tidak terjangkau oleh masyarakat. Nah, organisasi ‘jalan keselamatan’ tampil sebagai pahlawan, mereka mendirikan toko-toko nan menjual jaket jejak nan harganya berkisar 1 – 2,5 dollar saja. Sementara gereja dimasa itu hanya konsentrasi memikirkan ritual hubungan antara manusia dengan Tuhan, lupa hubungan manusia dengan manusia. Dapat kita ketahui akhirnya bidat-bidat itu berkembang dan diminati , sementara secara perlahan gereja ditinggalkan oleh umatnya.
Sebenarnya kasus nan mirip dengan kasus tersebut dimasa lampau diawal abad 19 muhammad darwis nan akhirnya lebih dikenal K.H.Ahmad Dahlan telah berhadapan dengan situasi dan kondisi nan sama. Yaitu berhadapan dengan masyarakat miskin, sekaligus masyarakat nan bodoh, jumud dan taklid, lantaran Indonesia dalam belenggu penjajahan. Akhirnya satu persatu persoalan ummat itu sukses diurai oleh K.H.Ahmad Dahlan, mulai dari masalah Pendidikan, kesehatan, kemiskinan sampai kepada menanamkan kepercayaan bahwa ber-islam nan betul itu tidak hanya sebatas kajian/konsep, tetapi ber-islam nan betul itu adalah diamalkan. Beliau baca dan tela’ah surat Al-ma’un, buahnya adalah lahirnya Rumah sakit, klinik, panti-panti sosial, sekolah/madrasah dan sebagainya. K.H.Ahmad Dahlan disebut sebagai ‘mujaddid’ (pembaharu), ini adalah suatu penghormatan. Menurut K.H.Ahmad Dahlan tajdid itu adalah gimana agar Islam itu, qur’an dan hadits itu dibumikan, artinya diamalkan. Silahkan kepercayaan itu didiskusikan, diperdebatkan, dilakukan pengkajian-pengkajian, tetapi ingat, jangan gara-gara hanya lantaran berdebat masalah tatacara shalat Taraweh, masalah shalat iftitah, dan sebagainya mengakibatkan telat bangun subuhnya dan nyaris tidak mengerjakan shalat subuh.
Kedepan pemaknaan aktivitas Tajdid perlu dipertajam, tidak hanya sebatas purifikasi, modernisasi, tetapi perlu dilakukan reformasi-reformasi. Misalnya, jika selama ini muhammadiyah mendirikan Perguruan Tinggi, nan terbayang program studi nan bakal dibuka adalah hukum, ekonomi, keguruan, pengetahuan Agama. Kalau agak bonafid, kedokteran dan farmasi. Tetapi kenapa tidak, dimasa depan muhammadiyah berfikir untuk mendirikan akademi perhotelan, akademi sekretaris, dll. Kita bisa memandang di Turki itu resepsionis hotel itu adalah wanita-wanita berjilbab, menepis pikiran mesum kita bahwa nan bekerja dihotel itu mengenai dengan orang nan rendah moralnya, padahal dakwah muhammadiyah perlu masuk kedunia perhotelan, tidak hanya sekedar bercap syari’ah, tetapi gimana kedepan hotel-hotel kita itu adalah hotel nan sarat dengan pelayanan islami, mempunyai sarana-sarana hotel nan islami, religius, nan membikin pengguna hotel nyaman dan tenang jauh dari kema’siyatan dan sebagainya. Desain hotel nan dibuat adalah kreasi hotel nan Islami, mempunyai fasilitas, sarana dan prasarana nan Islami. Demikian juga image sebagian orang bahwa menjadi seorang sekretaris itu hanya bakal menjadi santapan bos, nan sebenarnya image itu kudu dirobah menjadi image nan positif jauh dari pikiran-pikiran mesum. Kondisi nan sama juga ada pada bumi transportasi, bakal ada pramugari-pramugari nan islami, ramah, tetapi tidak montok dan mengundang kema’siyatan dan sebagainya.
Dakwah organisasi nan menjadi program muhammadiyah pada abad kedua ini bakal menjadi sangat efektif andaikan ada kebaikan usaha-amal upaya penunjang nan merupakan hasil dari lompatan-lompatan nan jauh dari pemikiran dakwah Islam kedepan. Konsep Tajdid nan dikembangkan oleh K.H.Ahmad Dahlan, justru menjadi prioritas muhammadiyah dalam perspektif aktivitas tajdid, ialah “ber-Islam nan benat itu adalah belajar/berinovasi dan beramal”. Dan gerajan tajdid muhammadiyah kudu lebih teliti lagi menyisir persoalan-persoalan ummat nan semakin kompleks ini. Harapan kebangkitan Islam tertumpu kepada Persyarikatan Muhammadiyah nan hari ini sudah mengglobal. Wallahu a’lam.
Batahan, medio Sya’ban 1444 H.