Muslim Amerika dan Islamophobia
Oleh: Imam Shamsi Ali*
Isu Islamophobia bukan lagi perihal baru dan telah acapkali disampaikan dalam beragam kesempatan, baik melalui ceramah-ceramah, seminar dan konferensi, maupun tulisan-tulisan di beragam media. Isunya memang selalu ada (eksis) dan nyata (real). Bahkan terasa tak pernah terhenti dan terus menerus datang di tengah perjalanan dakwah dan keislaman di Amerika dan dunia.
Tulisan ini kembali datang lantaran kita sedang memperingati Hari anti Islamophobia (Day to combat Islamophobia) pada tgl 15 Maret dengan diadopsinya sebuah resolusi Sidang Majelis Umum PBB tentang perihal ini. Untuk memperingati lahirnya resolusi nan dimaksud masyarakat Muslim
Amerika bakal mengadakan rangkaian aktivitas selama tiga hari, dari tgl 15 hingga 18 Maret mendatang.
Acara nan bakal menghadirkan tokoh-tokoh nasional Muslim Amerika, Kongres dan Senator, serta tokoh-tokoh kepercayaan Islam dan kepercayaan lain nan sejalan (like-minded) di St Louis Missouri. Hari Kamis, 15 Maret bakal diadakan beragam aktivitas secara virtual nan dapat dikuti oleh masyarakat luas secara global. Lalu tgl 17 Maret bakal dilangsungkan khutbah secara serempak dengan tema ancaman Islamophobia di beragam Masjid-masjid di seluruh Amerika. Dan aktivitas puncak dengan seminar seharian tentang Islamophobia pada hari Sabtu, tanggal 18 Maret 2023.
Kebetulan saya juga bakal datang sebagai salah seorang pembicara (speaker) di beragam acara-acara nan dimaksud.
Fakta-fakta Islamophobia
Ada upaya-upaya penggiringan opini jika Islamophobia itu adalah mitos nan dibesarkan lampau tumbuh menjadi seolah sebuah realita. Bahkan lebih jahat lagi kejahatan kepada Komunitas Muslim ini berupaya dibalik (twisted) seolah Umat Islamlah sebagai pelaku dari beragam kekerasan dan kejahatan. Umat Islam oleh media massa umumnya ditampilkan sebagai pelaku (perpetrators) beragam kebencian dan kejahatan, apalagi ancaman (threat) kepada orang lain.
Hal ini nan menjadikan mereka nan tidak suka dan anti Islam bakal selalu berupaya menyudutkan Islam dan umat dengan segala langkah nan memungkinkan. Cerita peristiwa akhir tahun 2022 di kota New York nan pernah disampaikan beberapa waktu lampau hanya satu contoh gimana mereka Ingin membalik realita itu. Dari Islam dan Komunitas Muslim nan sesungguhnya baik apalagi berkontribusi bagi kebaikan, keamanan, dan kemajuan Amerika dibalik menjadi seolah musuh dan ancaman bagi negara dan bangsa ini.
Untuk mengingatkan saja bahwa di malam akhir tahun 2022 lampau ada tiga kasus nan terjadi di negara ini. Satu, pembacokan dua personil NYPD di Time Square NYC. Dua, penembakan massal di Florida nan menewaskan tiga orang. Tiga, penembakan massal di sebuah kota di Georgia nan juga menewaskan beberapa orang. Tapi kenyataannya hanya pelaku di Time Square nan kebetulan mengaku Muslim agamanya disebut-sebut di media massa; (Muslim radical, Islamic extremist, dll).
Kenyataan itu sebenarnya menyampaikan beberapa kebenaran tentang Islamophobia.
Pertama, bahwa Islamophobia itu kebenaran dan nyata. Dan jika kecenderungan kesalah pahaman dan ketakutan itu mulai berkurang bakal terjadi lagi peristiwa nan kemudian kembali menguatkannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa the Brookings Institute pada tanggal 29 Desember 2022 mengumumkan hasil survey nan menyimpulkan bahwa 78% masyarakat Amerika mulai memandang kepercayaan Islam dengan pandangan positif. Hal ini nan nampaknya mendapat reaksi dengan pembacokan polisi di Time Square. Dan itu terjadi justeru pada saat jutaan mata manusia tertuju ke sana lantaran seremoni akhir tahun.
Kedua, bahwa Islamophobia itu bukan baru. Secara teologis dan kebenaran historis Islamophobia telah menjadi bagian dari perjalanan dakwah Islam. Ayat-Ayat Al-Quran maupun sejarah para rasul dan nabi bukan perihal nan baru. Bahkan jika kita kaji perjalanan sejarah Islam di bumi Barat, termasuk Amerika, ketakutan nan mengantar kepada kebencian dan permusuhan memang berkarakter historis. Peperangan-peperangan nan terjadi nan melibatkan bumi Islam, dari Afghanistan, Irak-Iran, Teluk 1 dan 2, hingga ke terbentuk Taliban nan mengantar kepada peristiwa 9/11 di tahun 2001, semuanya tidak bisa terlepas dari upaya membangun persepsi tentang Islam nan berbahaya.
Ketiga, bahwa Islamophobia itu bakal menjadi bagian alami dari perjalanan dakwah dan keislaman Umat. Selain diyakini secara teologis dan menjadi kebenaran historis, kenyataannya memang Islamophobia tidak terhenti hanya karena faktor-faktor sesaat. Pergantian Presiden Amerika misalnya dari Donald Trump Ke Biden rupanya tidak menghilangkan Islamophobia. Realita ini nan kemudian disampaikan oleh Allah secara tersirat di Surah As-Soff: 8 dengan kata “yuriiduuna liyuthfiu nuurallah” (mereka mau memadamkan sinar Allah). Kata “uuriiduuna” ini dikenal sebagai corak “fi’il mudhori’l alias “present/continuous tense” nan menggambarkan keadaan Sekarang dan berkepanjangan ke masa depan.
Bentuk-bentuk Islamophobia di Amerika
Ketika berbincang tentang bentuk-bentuk Islamophobia di Barat dan Amerika khususnya, tentu banyak perihal nan dapat disampaikan. Hal itu lantaran memang upaya meredam perkembangan Islam sangat intens dan ragam. Kali ini Saya hanya bakal menyebut lima corak Islamophobia sebagai renungan bersama.
Satu, adanya upaya nan sistimatis dan secara terus menerus (konstan) untuk membangun imej alias persepsi bahwa Islam itu adalah kepercayaan pendatang baru dan ditampilkan sebagai tamu. Diakui Amerika memang adalah negara pendatang (imigran). Masalahnya kemudian hanya kepercayaan Kristen dan Yahudi nan diaanggap sebagai kepercayaan pribumi (agama original Amerika). Sehingga Amerika seringkali diakui sebagai Judeo-Christian nation. Padahal kebenaran sejarah menyebut bahwa Islam telah datang di bumi Amerika apalagi jauh sebelum Columbus menginjakkan kaki di bagian bumi ini.
Tujuan terutama dari imej alias persepsi nan terbangun ini adalah untuk menampilkan seolah Islam (Muslim) itu tidak punya hak, lemah, dan karenanya perlu disuguhi dan diberi. Orang-orang Islam ditempatkan pada posisi “lower hand” nan hanya menjadi beban bagi negara dan masyarakat. Akibatnya, imej dan persepsi seperti ini juga menjadi penyebab bagi tumbuhnya rasa minder (inferioritas) kepada sebagian Komunitas Muslim di Amerika.
Dua, realita bahwa bumi dibagi kepada apa nan disebut “Dunia Barat” dan “Dunia Timur” (West and East). Kenyataan ini sesungguhnya bukan berasas kepada pembagian pengetahuan permukaan bumi (letak bumi di bagian barat dan timur). Tapi sebenarnya lebih kepada pembagian demografi alias jenis manusia kepada bangsa Barat dan bangsa Timur. Maka kita kenal kemudian “western society or nations” dan seberangnya ada “eastern society or nations”. Australia dan New Zealand meski kenyataannya terletak di bagian paling timur bumi rupanya dikategorikan sebagai bagian dari western nation alias bangsa Barat.
Pembagian bumi seperti ini sejatinya sejak lama terbangun di atas motivasi rasial. Bahwa orang-orang nan di kategorikan bangsa Barat (western) itu adalah mereka nan dalam segala perihal superior; pintar, kuat, maju, berperadaban, dan seterusnya. Sebaliknya bumi Timur itu adalah bangsa nan inferior, terbelakang, bodoh, lemah, dan tidak beradab (uncivilized).
Berdasarkan kepada pembagian bumi alias manusia nan demikian itulah sejak lama kita kenal bahwa studi Islam di bumi Barat lebih dikenal dengan nama “orientalisme” alias studi mengerti ketimuran. Dengan penamaan ini secara sistematis dibangun imej alias persepsi bahwa Islam itu adalah kepercayaan ketimuran dengan Karakter inferioritas tadi. Islam adalah aliran nan mengajarkan kebodohan, kemiskinan, kelemahan, keterbelakangan, dan kebiadaban (uncivilized). Maka Barat kudu datang untuk mengedukasi orang-orang selain mereka, apalagi seringkali dengan pemaksaan. Konsep-konsep kehidupan seperti kebebasan, toleransi, demokrasi, dan HAM secara umum semuanya condong didefenisikan dengan defenisi Barat (western mindset).
Tiga, beragam peperangan melibatkan bumi Islam, nan pada galibnya dirancang (orchestrated) oleh bumi Barat sendiri (Amerika dan sekutunya) dijadikan justifikasi untuk melabel Islam sebagai kepercayaan kekerasan (peperangan dan terorisme). Peperangan-peperangan nan pernah dan tetap terjadi, dari Afghanistan, Irak-Iran, hingga di beragam bagian Timur Tengah lainnya menjadi argumen untuk membangun persepsi nan menakutkan tentang wajah Islam nan bengis (agama peperangan).
Padahal sekiranya pun peperangan-peperangan itu melibatkan orang Islam, adalah sangat tidak fair (adil) untuk menjadikannya sebagai justifikasi tuduhan terhadap Islam dan Umat secara keseluruhan sebagai aliran kekerasan, peperangan dan terorisme. America dan Eropa (termasuk Australia) hendaknya jangan lupa jika tangan-tangan mereka bergelimang darah telah melenyapkan jutaan manusia. Dari perang Salib, perang bumi I dan II, kolonialisme beratus tahun di negara-negara non Barat, hingga peperangan-peperangan masa sekarang sewajarnya menyadarkan bahwa Islam dalam realita justeru telah lama menjadi korban dari mereka nan mengaku lebih beradab (civilized).
Beberapa kebenaran sejarah juga dijadikan justifikasi bahwa Islam memang datang untuk mengambil alih dan menguasasi bumi Barat. Kenyataan ini sering diekspresikan oleh mereka dengan kata-kata: “they have come to take over”. Sejarah kekuasaan Islam di Barat, khususnya di Eropa, menjadi momok nan menakutkan. Sampai-sampai kata “Turkish coffee” di sebagian negara Barat diidentikkan dengan kekuasaan Ottoman Empire di masa lalu.
Empat, terjadinya beragam kekacauan sosial (social chaos) di beragam bagian bumi Islam, khususnya di beragam area nan telah diporak porandakan oleh kekuatan luar (khususnya Barat sendiri) juga dijadikan pembenaran untuk membangun imej alias persepsi Islam sebagaj aliran nan chaotic (kekacauan). Hal ini nan terlihat dengan jelas di Afghanistan, Irak, Libia, Suriah, dan lain-lain.
Kegagalan negara-negara kebanyakan Muslim membentuk pemerintahan nan stabil, diikuti oleh beragam kekacauan sosial, apalagi ketidak mampuan mewujudkan stabilitas sosial menjadi argumen bagi mereka untuk semakin menyalahkan Islam dan Umat. Mereka tidak saja bertepuk tangan di kembali pahit getirnya realita nan dialami oleh Umat di beragam area itu. Justeru sebaliknya mereka menampilkan diri sebagai pahlawan memihak nilai-nilai demokrasi, kebebasan, emansipasi wanita, dan lain-lain.
Lima, kehadiran para pengungsi di beragam negara Barat, termasuk Amerika, nan tentunya lantaran peperangan-peperangan nan dirancang (orchestrated) oleh mereka sendiri juga ditampilkan sebagai perihal nan menakutkan. Kedatangan mereka tidak saja dianggap menjadi beban bagi negara-negara itu. Lebih dari itu kehadiran mereka di nilai sebagai ancaman dalam banyak hal. Ternasuk ancaman budaya dan tentunya ancaman agama, apalagi ancaman eksistensi mereka.
Walau diakui bahwa salah satu perihal pasti tentang para pengungsi dari negara-negara Muslim itu, apalagi termasuk dari negara-negara yang selama ini dianggap telah kehilangan identitas kepercayaan seperti Bosnia, rupanya tetap mempertahankan keimanannya di negara-negara baru itu. Masyarakat Bosnia di kota New York misalnya saat ini mempunyai beberapa masjid dengan Komunitas nan cukup solid.
Realita ini menjadi sumber ketakutan tersendiri. Apalagi Islam ditampilkan di beragam media massa sebagai aliran alias idiologi nan antitesis dengan budaya dan style hidup Barat. Kehadiran para pengungsi dari bumi Islam, dengan budaya nan non liberal menjadikan mereka semakin berimajinasi dengan imajinasi-imajinasi nan menakutkan. Islam dicurigai datang untuk mengungkung kebebasan, merendahkan wanita, berpikiran sempit, apalagi membenci dan membinasakan mereka nan berbeda, dan seterusnya.
Menyikapi Islamophobia
Tentu banyak lagi wajah Islamophobia di kalangan masyarakat Amerika dan Barat. Lima corak di atas hanya segelintir contoh nan dapat kita jadikan sebagai injakan untuk merenung dan berpikir. Selain lebih jeli dalam memandang kejadian nan ada juga kita dituntut untuk memahami apa dan gimana menghadapi realita nan pahit itu. Apalagi kejadian Islamophobia ini didukung oleh tendensi ragam kepentingan. Termasuk kepentingan politik dan kekuasaan gobal, apalagi kepentingan ekonomi dan kapitalisme dunia.
Yang pasti dengan merujuk kepada realita Islamophobia tadi Umat ini tidak bakal bisa mengelak (escaping) apalagi melarikan diri (running away) dari realita ini. Sebaliknya justeru jati diri Umat ini mewajibkannya untuk mengantisipasi dan menghadapinya.
Surah As-Soff nan dikutip terdahulu diikuti oleh info sekaligus tantangan agar Umat ini tegap dan tegas dalam menyikapi Islamophobia itu. “Tidakkah Aku (Allah) menunjukkan pada kalian sebuah perdagangan nan bakal menyelamatkan kalian dari api nan pedih? Yaitu beragama kepada Allah dan hari Akhirat serta berjuang di jalan Allah dengan kekayaan dan diri-diri kalian. Itu lebih baik bagi kalian jika saja kalian mengetahui”.
Bagi masyarakat Muslim di Barat, khususnya di Amerika, jihad terbesar adalah berjuang dengan segala daya dan kapabilitas nan ada untuk merombak persepsi nan salah dan jahat mengenai kepercayaan ini. Di negara nan dikenal sebagai “the land of opportunity” ini justeru memberikan angan bahwa kesalah pahaman, apalagi kemarahan dan permusuhan kepada Islam bukanlah tabiat original dari bangsa Amerika. Sebab sejatinya dalam sejarahnya justeru Amerika adalah negara dan bangsa nan mempunyai hati (a nation with heart) untuk memberi kasih sayang (compassion) kepada mereka nan datang ke negara ini. Bahkan bangsa Eropa nan datang pertama kali ke negara ini juga diterima dengan hati nan penuh kasih sayang oleh bangsa original Amerika (Native American).
Bagi masyarakat Muslim Amerika dan Barat secara umum, minimal ada tiga perihal krusial dan perlu terus menerus dilakukan.
Pertama, terus melangkah dengan kepala tegap (izzah) membuktikan (bukan sekedar mengatakan) bahwa Islam adalah kepercayaan nan “rahmah” (kasih sayang) untuk semua manusia. Sebagai kepercayaan rahmah tentu perlu realita di dalam kehidupan. Karenanya masyarakat Muslim di Amerika selain kudu menjaga keagamaan dan keislaman mereka, juga tertantang untuk merealisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, masyarakat Muslim Amerika perlu menyadari Urgensi menjadi bagian integral dari masyarakat luas (mainstream). Mereka kudu mengambil bagian dalam kehidupan publik di segala bidang; ekonomi, pendidikan, budaya dan sosial, apalagi politik dan pertahanan negara. Hal ini sesungguhnya ditekankan dalam Al-Quran dengan kata “dari kalangan mereka”. Bahwa rasul-rasul itu diutus dari kalangan mereka (minhum).
Ketiga, masyarakat Muslim perlu terus menerus melakukan “self education” (mendidik diri) dan merombak mentalitas. Dari sikap mentalitas pendatang dan tamu menjadi mentalitas tuan rumah. Bahwa siapapun di negara ini dianggap bagian, tuan dan pemilik, serta punya kewenangan dan tanggungjawab nan sama. Mentalitas tuan rumah ini bakal menguatkan motivasi untuk membangun “sense of belonging”. Dan dengan rasa kepemilikan ini bakal tumbuh motivasi untuk menjaga, marawat sekaligus membangun dan memajukan negaranya.
Keempat, untuk menghadapi Islamophobia masyarakat Muslim kudu tetap membangun angan dan optimisme. Bahwa sepanjang apapun terowongan itu pada ujungnya ada sinar nan bersinar. Sebagaimana di akhir Surah As-Soff tadi Allah janjikan: “Maka Dia (Allah) memberikan kekuatan (ta’yiid) kepada orang-orang beragama maka mereka pun mendapatkan Kemenangan”. “Dan niscaya janji Allah itu tidak teringkari”.
Penutup
Saya mau mengakhiri dengan pernyataan syukur dan bangga tentunya atas diadopsinya resolusi SMU-PBB nan menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti Islamophobia (Day to Combat Islamophobia). Resolusi itu pastinya sesuatu langkah maju dan perlu disyukuri. Akan tetapi saya perlu mengingatkan bahwa perihal ini tidak perlu disikapi secara euphoria. Seolah dengan Resolusi itu Islamophobia telah selesai.
Perlu diketahui bahwa resolusi SMU-PBB sebagaimana ribuan resolusi lainnya tidak berkarakter mengikat negara-negara anggota. Hal itu mengingatkan kita bakal ratusan resolusi nan mendukung Palestina. Kenyataannya Palestina tidak kemana-mana lantaran memang resolusi itu berkarakter “non binding” (tidak mengikat). Resolusi SMU-PBB hanya bakal menambah tumpukan berkas dan penggembira sesaat jika tidak ditindak lanjuti oleh negara-negara anggota.
Karenanya, angan kita adalah agar semua personil PBB, dimulai dari negara-negara OKI sebagai sponsor, kudu menindak lanjuti resolusi itu dalam corak perumusan perundang-undangan nan mengatur Islamophobia di negara masing-masing. Jika tidak maka sekali lagi resolusi itu hanya bak mainan nan kocak untuk bumi Islam memang lucu-lucu!
Congratulations on the “Day to Combat Islamophobia”!
* Manhattan City, 15 Maret 2023
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·