Kemiskinan dan Iman yangg Retak: Al-Qur’an Meluruskan Persepsi yangg Keliru
Di banyak tempat di negeri ini, kemiskinan tetap menjadi wajah yangg paling tua di antara semua wajah penderitaan. Namun, di mata sebagian orang, kemiskinan justru dimuliakan—dilihat sebagai jalan penyucian jiwa. Seolah ayah adalah tanda suci, dan miskin adalah jalan menuju surga.
Pandangan itu, kata Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996), adalah salah satu kekeliruan mendasar dalam langkah sebagian umat memaknai aliran Islam. “Langkah pertama yangg dilakukan Al-Qur’an adalah meluruskan persepsi yangg keliru tentang kemiskinan,” tulisnya.
Dalam sejumlah ayat, Al-Qur’an justru mendorong manusia untuk mencari fadhlullah — kelebihan rezeki dari Allah.
“Apabila telah selesai shalat (Jumat), maka bertebaranlah di bumi dan carilah karunia Allah.” (QS Al-Jumu’ah [62]: 10).
Kecukupan apalagi disebut sebagai hidayah Tuhan kepada Nabi Muhammad ﷺ:
“Bukankah Allah mendapatimu miskin, lampau Dia menjadikanmu berkecukupan?” (QS Adh-Dhuha [93]: 8).
Jika kemiskinan adalah keutamaan, tentu ayat ini tidak menempatkan kekayaan sebagai anugerah. Dalam pandangan Al-Qur’an, kekayaan bukanlah musuh dari kesalehan — yangg berdosa bukan memiliki, melainkan melupakan.
Rasulullah sendiri berdoa: “Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.” (HR Abu Dawud).
Dalam riwayat lain: “Hampir saja kefakiran membawa kepada kekufuran.” (HR Ibnu Majah).
Kefakiran dalam pandangan Nabi bukan simbol kesalehan, tapi kondisi yangg berisiko mengguncang ketaatan dan martabat manusia.
Kerja: Ibadah dan Martabat
Islam memandang kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi ibadah sosial. “Jalan pertama dan utama yangg diajarkan Al-Qur’an untuk mengentaskan kemiskinan adalah kerja,” tulis Quraish Shihab.
Ayat-ayat suci menegaskan pentingnya bekerja dan berusaha: “Apabila engkau telah menyelesaikan satu pekerjaan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh pekerjaan yangg lain.” (QS Al-Insyirah [94]: 7–8).
Sosiolog Muslim klasik Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan, hatikecil kepemilikan mendorong manusia untuk bekerja. Hasil kerja yangg mencukupi disebut rizq, sementara kelebihan disebut kasb (hasil usaha). “Kerja dan usaha,” tulis Ibnu Khaldun, “adalah dasar utama kemakmuran, dan meninggalkannya berfaedah melawan hatikecil kemanusiaan.”
Rasulullah SAW apalagi menegaskan martabat kerja keras: “Salah seorang di antara kalian mengambil tali lampau membawa kayu bakar dan menjualnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain.” (HR Bukhari).
Zakat dan Keadilan Sosial
Namun kerja saja tak cukup. Islam menegakkan struktur ekonomi berbasis kewajiban sosial: zakat, sedekah, dan tanggung jawab keluarga.
“Dalam kekayaan mereka terdapat kewenangan bagi orang miskin yangg meminta dan yangg tidak meminta.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 19).
Zakat, dalam pandangan Quraish Shihab, bukanlah kebaikan sukarela melainkan kewenangan sosial yangg wajib ditunaikan. Ia bukan sekadar kedermawanan, tetapi sistem keadilan. Pemerintah pun, dalam pandangan Islam klasik, mempunyai kewenangan untuk memaksa penunaian amal sebagai corak pengedaran kekayaan.
Sosiolog Islam Muhammad Baqir al-Sadr, dalam Iqtisaduna (1961), menulis bahwa amal adalah “sistem pengaman sosial yangg menjamin kesinambungan ekonomi tanpa mematikan produktivitas.” Dengan kata lain, Islam menolak kesenjangan struktural, tetapi juga menolak komunisme yangg menghapus kepemilikan pribadi.
Negara dan Amanah Sosial
Islam tidak hanya menyerahkan pengentasan kemiskinan pada kesadaran individu. Pemerintah—sebagai khalifah di muka bumi—memiliki tanggungjawab konstitusional untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat.
“Hendaklah orang yangg mempunyai kelapangan memberi nafkah sesuai kelapangannya.” (QS At-Thalaq [65]: 7).
Quraish Shihab menegaskan, negara kudu datang sebagai penjamin kesejahteraan publik, melalui kebijakan pajak, pengelolaan zakat, dan perlindungan terhadap golongan rentan. Tanpa itu, solidaritas hanya menjadi slogan.
“Tahukah Anda orang yangg mendustakan agama? Itulah yangg menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS Al-Ma’un [107]: 1–3).
Menemukan Keseimbangan: Antara Qana’ah dan Ambisi
Islam mengenal konsep qana’ah—merasa cukup dengan yangg ada. Tapi, kata Quraish Shihab, qana’ah bukan berarti nrimo atau pasrah pada kemiskinan. Qana’ah adalah sikap setelah berupaya maksimal dan ridha dengan hasil yangg halal.
Dalam bahasa Quraish Shihab yangg lembut tapi tajam:
“Seseorang tidak dapat menyandang sifat qana’ah selain setelah melalui tahap bekerja, berusaha, memiliki, dan rela memberi.”
Artinya, Islam menolak kemiskinan yangg dipelihara, tapi menghormati kesederhanaan yangg sadar,
Jadi, bagi Islam, kemiskinan bukan sekadar urusan ekonomi, tapi moral dan politik. Ia adalah cermin sejauh mana masyarakat menegakkan keadilan sosial. Karena itu, Al-Qur’an menegur keras mereka yangg beragama tapi abai terhadap realitas sosial:
“Celakalah orang-orang yangg shalat, tapi lalai terhadap orang miskin.” (QS Al-Ma’un [107]: 4–7).
Kemiskinan, dalam pandangan Islam, bukan takdir yangg kudu diterima—melainkan kondisi yangg kudu diperangi, dengan kerja, zakat, dan keadilan.
Sebab di hadapan Tuhan, kemuliaan manusia tidak diukur dari kekayaan yangg dia miliki, tapi dari tanggung jawab yangg dia tunaikan kepada sesama. (jakartamu)
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·