Bandung, Suara ‘Aisyiyah – Indonesia adalah salah satu negara di bumi dengan resiko musibah yangg sangat tinggi. Berdasarkan info BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) tahun 2023, tercatat 4.940 musibah telah terjadi. Pada tahun tersebut rata-rata per harinya terdapat 15-17 musibah yangg terjadi baik dalam skala mini maupun besar.
Khotimun Sutanti selaku Wakil Ketua Umum MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Canter) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam forum GSM (Gerakan Subuh Mengaji) kemarin mengungkapkan bahwa masyarakat kita snagat rentan menjadi korban bencana, terutama perempuan. “Pada kasus perempuan, dampaknya bisa berlipat ganda.” lanjut Khotimun.
Khotimun mengungkapkan bahwa dalam setiap kejadian kebencanaan yangg ada, diperlukan adanya kajian baik dari pra hingga pasca bencana. Mulai dari gimana memastikan keamanan hingga menjaga martabat setiap manusia yangg menjadi korban. Menurutnya, dengan martabat yangg terjaga, kasus kejahatan bisa dicegah.
“Saat tsunami Aceh terjadi, korban wanita empat kali lipat dari laki-laki” ungkap Wakil Ketua Umum MDMC PP Muhammadiyah itu. Selain itu, di beberapa tempat ada banyak peningkatan kasus kekerasan seksual pasca bencana, di Papua dan Sulawesi Tengah misalnya. “Perkawinan paksa dan perkawinan anak juga banyak terjadi lantaran kesulitan ekonomi pasca bencana” terang Khotimun.
Selain itu, Khotimun juga menyayangkan sistem keamanan yangg bisa menjadi lumpuh saat bencana. Terlebih, bangunan di masyarakat yangg menempatkan wanita sebagai objek kekerasan mengakibatkan kasus kekerasan terhadap wanita meningkat. Oleh lantaran itu, dalam setiap krisis golongan rentan seperti perempuan, anak-anak, disabilitas, bisa terdampak dua kali.
Baca Juga: Hak Pendidikan bagi Anak pada Situasi Darurat
“Belum lagi soal krisis air bersih” tegas Khotimun. Menurutnya perihal ini menjadi krusial lantaran air bersih, terutama bagi wanita sangat krusial mengingat organ reproduksinya yangg sensitif. Aksesnya seringkali sulit, entah lantaran jauh, jalannya gelap dan tidak aman, apalagi soal toilet yangg terlalu rendah, dan sebagainya.
Tenda pengungsian pun juga belum tentu aman, apalagi tenda yangg kombinasi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bakal lebih susah untuk membuka jilbab saat hendak tidur, penyintas musibah yangg tidak merasa aman, dan sebagainya.
Selain itu, trauma healing yangg ada saat aktivitas psikososial tetap belum merata. Khotimun menyayangkan aktivitas psikososial yangg lebih banyak mengutamakan anak-anak dan melupakan kebutuhan trauma healing untuk orang dewasa.
Apa yangg bisa dilakukan? Menurut Khotimun salah satunya adalah rehabilitasi dan rekonstruksi. Terlebih dulu dilakukan identifikasi resiko dan akibat musibah di beberapa daerah. Ketersalingan yangg baik antara laki-laki dan wanita juga dapat mencegah kasus kekerasan yangg meningkat.
Lebih lanjut, dia mengingatkan untuk melibatkan wanita dan golongan rentan dalam sosialisasi, diskusi, dan pengambilan keputusan. Early warning system yangg telah dibangun bisa percuma jika ada golongan yangg tidak dilibatkan. (-lsz)
English (US) ·
Indonesian (ID) ·