Pendahuluan
Perbedaan pendapat dalam Islam telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad. Para sahabat berbeda pendapat mengenai banyak perihal sejak saat Nabi Muhammad tetap hidup sampai Ketika Nabi Muhammad telah wafat. Dalam satu riwayat disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلاَنِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا, ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ. فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ, ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ. وَقَالَ لِلْآخَرِ: لَكَ اَلْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ
Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dia berkata: Dua orang laki-laki keluar dalam satu perjalanan. Tibalah waktu shalat, namun keduanya tidak mempunyai air. Mereka pun bertayammum dengan debu yangg suci, lampau melaksanakan shalat. Namun kemudian mereka menemukan air saat waktu shalat itu tetap ada. Salah seorang dari mereka mengulangi shalat dan wudlunya, sedangkan yangg satunya lagi tidak mengulang. Kemudian keduanya menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal tersebut. Rasulullah berfirman kepada kepada yangg tidak mengulangi shalat: “Kamu telah sesuai dengan sunnah dan shalatmu cukup bagimu.” Dan beliau berfirman kepada yangg satunya lagi: “Kamu mendapatkan pahala dua kali.” (HR Abu Dawud dan al-Nasa`i)
Hadis tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, para sahabat pun bisa berbeda pendapat dalam mempraktekkan aliran kepercayaan lantaran perbedaan kondisi dan pemahaman dalam penyikapi satu kondisi tersebut. Kedua Nabi Muhammad bisa menerima perbedaan pendapat tersebut dengan baik. Dalam satu riwayat dikatakan:
إذا حَكَمَ الحاكِمُ فاجْتَهَدَ ثُمَّ أصابَ فَلَهُ أجْرانِ، وإذا حَكَمَ فاجْتَهَدَ ثُمَّ أخْطَأَ فَلَهُ أجْرٌ (رواه البخاري)
Jika seorang pemimpin berijtihad dan betul hasil ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Tetapi andaikan dia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala.
Namun pada prakteknya, perbedaan pendapat (ikhtilaf) rawan menimbulkan pertentangan dan perpecahan (syiqaq) hingga konflik. Beberapa hari lalu, ada masjid di Pakistan dibom lantaran melakukan peringatan maulid. Demikian pula perihal ini di Indonesia, shalat tarawih dibubarkan lantaran jumlah rakaatnya berbeda dengan jumlah rakaat yangg dilakukan Masyarakat sekitar. Masih banyak lagi kasus kekerasan akibat ikhtilaf yangg terjadi di bumi Islam hingga di Indonesia.
Hal demikian menunjukkan adanya persoalan dalam memahami ikhtilaf. Meskipun norma mengenai ikhtilaf telah diletakkan oleh Nabi Muhammad sendiri, namun pada praktiknya pertikaian di antara umat yangg bersyahadat kerap terjadi akibat perbedaan pendapat. Kondisi itu menunjukkan kebutuhan untuk memperjelas kembali fikih ikhtilaf (fikih mengenai perbedaan pendapat). Pertanyaannya adalah apa saja ragam ikhtilaf dan gimana semestinya umat Islam, khususnya penduduk Persyarikatan, menyikapinya ikhtilaf berasas manhaj Muhammadiyah.
Pengertian dan Kedudukan Ikhtilaf
1. Pengertian dan Arti Penting Ikhtilaf
Dalam tradisi Islam, perbedaan pendapat dikenal dengan istilah ikhtilaf maupun khilaf. Ikhtilaf alias khilaf, menurut Raghib al-Ashfahani, mengandung pengertian perbedaan pendapat yangg lahir dari perbedaan metode dalam satu pendapat. Ikhtilaf juga tidak selalu mengandung pertentangan, meskipun perbedaan pendapat itu mengandung perbedaan diametral. Istilah ikhtilaf dan khilaf lebih luas dari sekedar pertentangan lantaran setiap pertentangan merupakan ikhtilaf, tetapi tidak semua ikhtilaf adalah pertentangan (al-Ashfahani, 2009: 294).
Oleh lantaran itu salah satu karya komparasi pendapat di kalangan madzhab norma Islam yangg empat diberi titel Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah (Rahmat bagi umat dalam Ikhtilaf para-Imam), karya Abu Abdullah Muhammad bin Abdurrahman al-Dimasyqi. Menurutnya, pengetahuan mengenai kesepakatan (ijma) dan perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara ustadz itu krusial dan sebagai perkara lazim di kalangan mujtahid dan hakim. Ijma adalah norma Islam, sedangkan khilaf di antara para pemimpin madzhab adalah rahmat bagi umat lantaran menjadikan kepercayaan itu sebagai kelembutan dan penghormatan, bukan kesempitan (al-Dimasyqi, T.Th.: 13).
Ada ikhtilaf yangg tidak dianjurkan dalam Alquran, ialah ikhtilaf dalam pengertian penentangan terhadap aliran para nabi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هُرَيْرةَ عَبْدِالرَّحمنِ بنِ صَخْرٍ رضي الله عنه قال: سمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: “ما نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجتَنبوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فإنَّما أَهْلَكَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ واخْتلاُفُهُمْ على أَنْبِيَائِهِمْ”؛ رَواهُ البُخَارِيُّ ومُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Shakhrin RA, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apa yangg saya larang, maka jauhilah apa yangg saya perintahkan, maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya orang-orang terdahulu dari kalian dihancurkan oleh kebanyakan bertanya dan ikhtilaf (penentangan) mereka terhadap para-Nabi mereka.
Dengan demikian, ikhtilaf dalam pengertian penentangan terhadap aliran Rasul bukan termasuk ikhtilaf yangg dibenarkan lantaran perihal demikian masuk kategori penentangan. Apabila ikhtilaf itu berfaedah perbedaan pendapat, maka perihal demikian menjadi sunnah yangg plural terjadi dalam masyarakat, apalagi dalam Islam itu sendiri.
Ikhtilaf dalam agama, khususnya dalam norma Islam, telah terjadi sejak masa sahabat, tabi’in, para pemimpin madzhab hingga masa sekarang ini. Hal itu menunjukkan bahwa ikhtilaf menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah Islam. Perbedaan pendapat itu bisa menjadi Rahmah, saat mengayakan pengetahuan dan perilaku baik manusia, tetapi perbedaan bisa menjadi musibah ketika membawa kepada perpecahan dan pertikaian. Pemahaman mengenai khilaf alias ikhtilah merupakan pengayaan wawasan dan dimensi dalam kepercayaan sehingg atidak mudah terjebak dalam pendapat yangg sempit alias memutlakkan kebenaran dari pendapat dzanni (praduga berbukti).
Oleh lantaran itu, para ustadz dulu menjadikan intensivitas keterlibatan dalam kajian ikhtilaf sebagai parameter kepakaran dalam bagian fikih. Pemahaman mengenai ikhtilaf alias khilaf menjadi syarat bagi seorang mufti. Arti krusial pengetahuan mengenai ikhtilaf itu diungkap oleh beberapa ustadz klasik, sebagaimana riwayat Ibnu Abdul Barr (Wad’an, 2023):
a. Qatadah bin Diamah:
مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْاِخْتِلَافَ، لَمْ يَشُمَّ أنفَهَ الفِقْهِ
Barangsiapa tidak mengetahui ikhtilaf, makai a belum mencium aroma fikih
b. Hisyam bin Abdillah al-Razi:
مَنْ لَمْ يِعْرِفْ اخْتِلَافَ الْقِرَاءَةِ، فَلَيْسَ بِقَارِئٍ، وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْ اخْتِلَافَ الْفُقَهَاءِ، فَلَيْسَ بِفَقِيْهٍ
Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan qira’ah, maka dia bukan qari’. Barangsiapa tidak mengetahui perbedaan fikih, makai a bukan fakih.
Dalam karya ushul fikih pun, pemahaman mengenai ikhtilaf mendapatkan perhatian dari beberapa kalangan. Abu Ma’ali al-Juwaini dalam karya ushul fiqh-nya yangg popular, al-Waraqat, memasukan pemahaman terhadap khilaf dan madzhab sebagai syarat seorang mufti. Khilaf adalah persoalan yangg diperselisihkan, sedangkan madzhab adalah pendapat furu’ yangg telah disepakati oleh para ustadz dalam satu madzhab. Pemahaman mengenai khilaf, menurut Ibnu Firkah, dimaksudkan agar mufti mengikuti pendapat yangg kuat (madzhab) dan tidak menyimpang darinya dengan mengemukakan pendapat baru yangg tidak dikenal kemungkinan pemahamannya oleh ustadz sebelumnya (Ibnu Firkah, 2010: 186).
Perbedaan pendapat tersebut, dalam sejarah Islam, tidak hanya terjadi dalam bagian fikih semata, melainkan dalam bagian akidah. Lahirnya golongan Syiah, Muktazilah, Murjiah, dan Ahlussunnah menunjukkan terjadinya ikhtilaf dalam intern umat Islam mengenai akidah. Ikhtilaf tersebut apalagi bisa terjadi pada level lebih spesifik lagi, ialah antara pengikut ahlussunnah, yaiu ikhtilaf antara kalangan Asy’ariyah dengan Atsariyyah, yangg dikenal pula sebagai pengikut Hanbali dan kemudian Salafi.
Pokok perbedaan di antara mereka ada yangg sangat mendasar, seperti perbedaan mengenai sifat Allah dan apakah Alquran makhluk alias bukan. Ada pula perbedaan yangg lebih berat kepada perbedaan pendekatan dalam memahami agama. Kalangan Asy’ariyah lebih terbuka dengan penggunaan logika dan ta’wil dalam memahami nash-nash akidah, namun kalangan atsariyah menghindari penggunaan logika dan ta’wil dan lebih menitikberatkan kepada tafwidl (mengartikan sifat Allah secara literal, namun menyerahkan makna sebenarnya hanya kepada Allah).
2. Wilayah Ikhtilaf
Meskipun ikhtilaf itu menyangkut beragam aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, agama, maupun keyakinan, wilayah ikhtilaf yangg menjadi perhatian para ustadz adalah ikhtilaf dalam persoalan agama. Namun tidak semua persoalan kepercayaan menjadi wilayah ikhtilaf. Ada Batasan-batasan tertentu dalam kepercayaan yangg menerima ikhtilaf dan ada wilayah yangg tidak menerima ikhtilaf.
a. Ikhtilaf dalam Bidang Pokok Agama (Ushul al-Din)
Bidang yangg menjadi pokok kepercayaan (ushul al-din) bukan termasuk wilayah ikhtilaf menyangkut norma dan kewajibannya. Wilayah tersebut mencakup persoalan iktikad dasar, seperti keagamaan kepada Allah, kepada Kitab Allah, Rasulullah, Malaikat, Hari Akhir, Qadla dan Qadar, surga, neraka dan alam kubur; dan pokok hukum yangg qath’i (jelas dan terang petunjuknya), seperti tanggungjawab shalat, zakat, puasa, dan haji. Demikian pula dengan larangan-larangan dasar dalam agama, seperti larangan mencuri, larangan membunuh, larangan berzina, dan larangan melakukan syirik bukan termasuk wilayah ikhtilaf. Penolakan terhadap iktikad dasar dan tanggungjawab pokok syariah serta pembenaran terhadap larangan dasar kepercayaan dapat mengakibatkan seorang muslim keluar dari kepercayaan (al-Hadlrami, 2013: 66-80).
b. Ikhtilaf dalam Bidang Furu’
Ikhtilaf boleh diterima dalam bagian furu’ (persoalan bagian agama), baik dalam persoalan iktikad furu’ maupun masalah fiqhiyyah. Persoalan furu’ dalam bagian iktikad seperti norma tawassul dan sampainya kiriman pahala kepada orang yangg meninggal. Hal demikian menjadi obyek perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dari masa ke masa, namun bukan menjadi pokok iktikad Islamiyyah.
Bidang fikih adalah wilayah ikhtilaf yangg palig banyak terjadi. Berbagai karya mengenai perbedaan pendapat, baik lintas madzhab maupun intra-madzhab telah ditulis para ulama. Ada beberapa karya bagus mengenai ikhtilaf alias komparasi madzhab dalam tradisi fikih Islam, seperti:
a. Kitab-kitab mengenai khilaf yangg ditulis ustadz klasik, seperti Uyun al-Adillah fi Masail al-Khilaf bayn Fukaha al-Amshar karya Abu al-Hasan Ali al-Baghdadi alias Ibnu al-Qashar (w. 397 H), yangg membahas perbedaan pendapat antara ustadz amshar, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Hasan al-Syaibani, al-Auza’i, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Daud al-Dzahiri, Sufyan al-Tsauri, serta beberapa sahabat dan tabi’in, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan al-Zuhri, seperti khususnya dalam bab Thaharah (al-Bagdadi, 2006).
b. Ada kitab-kitab yangg dikenal sebagai kitab komparasi madzhab, seperti Bidayah al-Ijtihad karya Ibnu Rusyd, al-Mugni karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, dan al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri, dan al-Fiqh al-Islami karya Wahbah al-Zuhaili.
c. Bahkan ada karya yangg mengulas mengenai perbedaan yangg muncul dari satu tokoh saja akibat perubahan fatwa dan perbedaan riwayat yangg dinisbatkan kepadanya oleh para muridnya. Karya tersebut contohnya adalah Faraid al-Fawaid karya al-Munawi yangg mengulas beragam pendapat berbeda yangg dinisbatkan kepada satu tokoh madzhab Syafi’I (al-Munawi, 1995).
3. Ragam Ikhtilaf
Persoalannya adalah Ikhtilaf terkadang bisa diterima kebenaran keduanya lantaran bukan dua perihal yangg bertentangan, namun ada kalanya ikhtilaf itu berkarakter kontradiktori, ialah dua pernyataan yangg tidak mungkin kedua-duanya benar, melainkan hanya salah satu saja. Oleh lantaran itu, ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ikhtilaf Tanawwu’ (Keragaman Opsi)
Ikhtilaf tanawu’ adalah perbedaan pendapat yangg tidak mengandung pertentangan alias saling negasi antara dua pendapat, melainkan kedua-duanya benar. Ikhtilaf tanawwu’ terjadi dalam masalah perbedaan qira’at dalam Alquran, perbedaan bacaan, dan pilihan hukum. Perbedaan referensi Alquran, misalnya, adalah perbedaan kata مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ dan مَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. Kedua referensi tersebut termasuk referensi yangg mutawatir sehingga keduanya diperbolehkan menurut jalur periwayatan masing-masing pemimpin qira’at. Demikian pula dengan perbedaan referensi dalam shalat, yangg mempunyai landasan dalam hadis, dan perbedaan pemaknaan nash.
Contoh paling umum perbedaan pemaknaan nash adalah perintah Rasulullah kepada pasukan yangg diutus untuk memerangi Bani Quraidzah, yangg telah mengingkari umat Islam, nabi berfirman kepada para pasukan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلَا يُصَلِّيَنَّ الْعَصْرَ اِلَّا فِي بَنِيْ قُرَيْظَةَ (رواه مسلم)
Barangsiapa beragama kepada Allah dan hari Akhir, janganlah melaksanakan shalat ashar selain di Bani Quraidzah (HR Muslim)
Ternyata shalat ashar telah tiba di perjalanan sehingga sebagian sahabat menjalankan shalat (di jalan) karema mereka tidak mau kehilangan waktu ashar. Sebagian lain tetap bersikeras untuk melaksanakan shalat di Bani Quraidzah, meskipun mentari telah tenggelam. Tidak ada riwayat dari Nabi Muhammad menyalahkan alias membenarkan salah satu dari kedua pendapat di atas.
b. ikhtilaf Tadladud (Pertentangan/ Kontradiktori)
Ikhtilaf tadladdud adalah perbedaan pendapat dimana pendapat yangg satu menegasikan kebenaran pendapat lainnya, seperti satu pendapat menghalalkan dan pendapat lain mengharamkan. Perbedaan ini banyak terjadi pada lapangan akidah. Pendapat bahwa Islam adalah satu-satunya kepercayaan yangg betul di sisi Allah tidak membenarkan pendapat bahwa selain kepercayaan Islamlah yangg benar. Ikhtilaf ini juga terjadi di dalam intern umat Islam (Burhami, 2000: 12 dst).
4. Ikhtilaf dan Konflik
Baik ikhtilaf tanawwu’ maupun ikhtilaf tadladud mempunyai kesempatan untuk menjadi pertentangan dan perpecahan (syiqaq) atau, sebaliknya, saling kesepahaman. Perbedaan tanawwu’ jika tidak dipahami posisinya secara syar’i bakal melahirkan klaim kebenaran dan negasi pilihan lain sebagai kesalahan. Demikian pula ikhtilaf tadladud bakal lebih rentan lagi menimbulkan konflik, seperti bentrok Sunni-Syiah, bentrok sekitar Ahmadiyah dan lainnya. Puncak ikhtilaf tadladud adalah perbedaan agama, yangg bisa melahirkan peperangan.
Pada dasarnya ikhtilaf tidak serta merta membawa kepada perpecahan alias pertentangan. Pertentangan sebagai bentuk bentrok dapat terjadi andaikan ikhtilaf itu didukung oleh sikap permusuhan alias kebencian (attitude), tindakan (behavior) yangg menyerang alias mendiskreditkan pihak lain secara terbuka, serta pertentangan (contradiction), ialah tujuan yangg bertentangan di antara para pihak yangg didorong oleh perbedaan nilai dan struktur sosial (Ramsbotham; Woodhouse; Miall, 2005: 9-10).
Di sisi lain, ikhtilaf bisa menjadi pendorong proses perbincangan dan saling mengenal ketika disikapi dengan bijaksana. Ikhtilaf antarpenganut kepercayaan berbeda pun mempunyai jalan untuk sikap saling menghormati, yangg dalam Alquran memberikan rumus:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَ لِيَ دِيْنٌ
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (al-Kafirun ayat 6)
Ikhtilaf dalam perihal ushul (pokok keagamaan dan dasar syariat) pun tidak menutup pintu bagi kerjasama dalam bagian muamalah. Perbedaan dalam masalah ushul a-din antarumat berakidah adalah perihal tidak terelakkan, namun perihal demikian tidak menjadi argumen untuk berkonflik. Sementara penolakan terhadap aliran pokok kepercayaan oleh umat Islam sendiri menjadi ladang bagi amar ma’ruf dan nahi munkar, dengan langkah terbaik yangg diajarkan dalam Alquran.
Masalah furu’, baik mengenai iktikad maupun fikih terbyka bagi perbedaan pendapat. Perbedaanakidah furu’, seperti sampainya kiriman angan kepada orang meninggal dan praktik tawassul, kudu diterima sebagai perbedaan di antara umat Islam dalam memahami furu’ akidah. Demikian pula halnya beragam persoalan fikih yangg terjadi di Tengah Masyarakat. Dengan langkah demikian, perbedaan pendapat tidak melahirkan bentrok lantaran disikapi secara bijak dan proporsional.
5. Fiqh Ikhtilaf menurut Manhaj Muhammadiyah
Ikhtilaf memang menjadi tantangan bagi Muhammadiyah sejak awal kelahirannya. Perbedaan pandangan internal di kalangan penduduk Muhammadiyah membawa potensi perpecahan. Oleh lantaran itu, dibentuklah Majelis Tarjih pada tahun 1927 untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di kalangan internal. Itulah Sejarah kelahiran Majelis Tarjih, yangg misi awalnya adalah untuk mencegah perpecahan penduduk Persyarikatan akibat ikhtilaf. Oleh lantaran itu, penyelesaian ikhtilaf di dalam Majelis Tarjih diselesaikan melalui konsensus (mufakat). Keputusan norma yangg diambil diupayakan diterima secara bulat, ialah tanpa ada penentangan, sehingga proses untuk menyepakati satu persoalan kepercayaan di Muhammadiyah bisa melangkah lama.
Dalam perkembangannya, ada beberapa prinsip mengenai ikhtilaf yangg bisa dideduksikan dari keputusan Persyarikatan mengenai persoalan kepercayaan maupun dalam rumusan manhaj dan lainnya. Adapun prinsip ikhtilaf yangg terlihat dari rumusan maupun praktik keagamaan di Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a. Keputusan keagamaan dicapai melalui konsensus sehingga Upaya menyelesaikan ikhtilaf tidak membawa kepada pertikaian. Dalam “Penerangan Hal Tarjih”, Buah Kongres 26 tahun 1936, dinyatakan bahwa “Keputusan tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, jakni menentang ataoe mendjatuhkan segala jang tidak dipilih oleh tardjih itoe (Anwar, 2018: 18).”
b. Mengakui ikhtilaf tanawwu’ dalam beberapa aspek ibadah. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) bisa ditemukan adanya pengakuan terhadap tanawwu’ (keragaman) norma dalam satu masalah yangg ditunjukkan nash. HPT, misalnya, menyebut dua macam angan iftitah, ialah Allahumma ba’id dan Dalam ruku’ maupun diperkenankan pilihan angan yangg diajarkan Rasulullah (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011: 80-81). Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 menambahkan bahwa referensi salam dengan dua jenis (tanawwu’), baik berhujung pada redaksi ‘warahmatullah’ maupun ‘wabarakatuh’ adalah absah dan dapat diamalkan.
c. Pokok ke-4 Manhaj Tarjih menyatakan: “Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya keputusan Majelis Tarjih yangg paling benar.” Menurut Syamsul Anwar, toleran artinya putusan tarjih tidak menganggap dirinya saja yangg benar, sementara yangg lain tidak benar. Sementara itu, keterbukaan artinya bahwa segala kepuusan tarjih dapat dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan andaikan ditemukan dalil alias argumentasi yangg lebih kuat (Anwar, 2018: 18).
Keterbukaan dan toleransi tersebut tidak berfaedah adanya kebebasan absolut untuk menerima alias tidak menerima keputusan Persyarikatan. Produk pemikiran keagamaan di Muhammadiyah dibagi menjadi tiga kategori:
a. Keputusan, ialah hasil musyawarah tarjih dan ketua Muhammadiyah yangg telah ditanfidzkan sehingga mengikat kepada organisasi
b. Fatwa, ialah pendapat norma majelis tarjih, seperti termuat dalam jawaban masalah kepercayaan di Suara Muhammadiyah. Fatwa tersebut tidak mengikat dan bisa didiskusikan, meskipun secara moral bisa menjadi referensi berbareng penduduk persyarikatan
c. Wawasan alias opini ustadz Muhammadiyah yangg tidak mengikat kepada personil Persyarikatan.
Sifat mengikat pada keputusan tarjih tidak berfaedah menafikan keterbukaan dan toleransi, namun dalam konteks berorganisasi ada patokan yangg patut dijadikan referensi oleh anggota. Keputusan itu berkarakter mengikat, namun tetap terbuka untuk ditinjau dengan sistem organisasi pula.
Meskipun menghormati perbedaan pendapat, Muhammadiyah meletakkan wawasan dan prinsip dasar sebagai worldview (pandangan dunia) keagamaan Muhammadiyah. Worldview tersebut adalah wawasan purifikasi dan dinamisasi. Dalam beragama, Muhammadiyah mendasarkan kepada wahyu dan sunnah yangg maqbulah lantaran agama, dalam Masalah Lima, difahami sebagai “apa yangg diturunkan Allah dalam al-Qur’an dan yangg tersebut dalam al-Sunnah maqbulah, berupa perintah dan larangan (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011 : 177-180).”
Wawasan purifikasi itu berkonsekuensi kepada pendasaran diri kepada kepercayaan yangg berasas wahyu dan sunnah maqbulah, dengan berpegang kepada tauhid, dan menolak bid’ah dalam ibadah. Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah disebutkan:
Setiap penduduk Muhammadiyah wajib menjadikan ketaatan dan tauhid sebagai sumber seluruh aktivitas hidup, tidak boleh mengingkari keagamaan berasas tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat yangg menodai ketaatan dan tauhid kepada Allah SWT (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013: 10, 63-64).
Dengan demikian, di tengan perbedaan pendapat, penduduk Persyarikatan diminta untuk tetap teguh dengan kepercayaan yangg menjadi dasar Persyarikatan, meskipun kudu tetap dilandasi akhlakul karimah.
Bid’ah adalah musuh dari sunnah. Sunnah diartikan al-Suyuthi sebagai “jalan” sehingga orang yangg memelihara periwayatan sabda Nabi Muhammad dan atsar sahabat maupun tabi’in disebut ahlussunnah. Sementara itu, bid’ah adalah perbuatan yangg menentang atu menyelisihi syariat, baik dengan menambah alias mengurangi. Mayoritas ustadz salaf menghindari pelaku bid’ah, meskipun norma mendekatinya boleh, untuk memeliahara pokok agama, ialah mengikuti sunnah (al-Suyuthi, 1992: 22).
Ibadah, dalam masalah Lima, diartikan sebagai “ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan segala yangg diinginkan Allah.” Dengan sendirinya Muhammadiyah menolak bid’ah dalam perkara ibadah mahdlah. Sementara itu, dalam urusan dunia, yangg bukan menjadi tugas kenabian, tidak menjadi tugas diutusnya para-Nabi, diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan manusia. Dalam ranah bumi ini tidak dikenal bid’ah lantaran norma asal masalah bumi adalah boleh sampai ada larangan dari Alquran alias sunnah.
Bertoleransi dalam ikhtilaf tidak berfaedah tidak menjalankan dakwah. Keterbukaan tidak berfaedah pula sikap pasif dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, apalagi mengenai dengan penyelenggaraan aliran Islam. Thaha Jabir Alwani mengatakan terbagi menjadi dua:
- ikhtilaf yangg tujuannya adalah hawa nafsu, ialah kemauan pribadi dan kemauan pada materi. Ikhtilaf dalam perihal ini kudu dihindari.
- Ikhtilaf yangg tujuannya adalah kebenaran, seperti ikhtilaf dengan dengan kemusyrikan dan kekufuran alias pelanggaran terhadap ilmu. Ikhtilaf demikian hukumnya wajib (Alwani, 1405 H: 27-31).
Dalam perihal ushul, penduduk Persyarikatan kudu teguh memegang keagamaan dan aliran pokok agama, sedangkan dalam masalah furu’ selalu merujuk kepada keputusan yangg telah ditetapkan dengan tetap bersikap terbuka, tidak merasa diri paling benar. Terlebih, masalah furu’ kepercayaan umumnya masuk kategori dzann (persangkaan berdasar bukti), bukan suatu kebenaran mutlak.
Pedoman terbaik dalam mendakwahkan pandangan kepercayaan adalah aliran dari Alquran sendiri. Dalam surat an-Nahl 125 disebutkan:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yangg baik dan bantahlah mereka dengan langkah yangg baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yangg lebih mengetahui tentang siapa yangg tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yangg lebih mengetahui orang-orang yangg mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)
Hikmah adalah dalil-dalil yangg percaya berasas wahyu. Mauidzah hasanah adalah dalil dzan yangg menekankan kepada pengajaran dan ibrah bagi kalangan umum. Mujadalah (perdebatan) ditujukan kepada orang yangg menentang dan menghasut, dengan tetap memelihara kehormatan.
Dalam masalah furu’, perbedaan tidak menjadi argumen untuk permusuhan. Ahmad bin Hanbal, misalnya, beranggapan bahwa berbekam dan mengeluarkan darah membatalkan wudlu, sedangkan Malik dan Ibnu Musayyab beranggapan sebaliknya. Saat Ahmad bin Hanbal ditanya apakah bakal bermakmum pada pemimpin yangg mengeluarkan darah (tapi tidak berwudlu lagi). Ia menjawab: “bagaimana saya tidak shalat di belakang Imam Malik dan Said bin Musayyab?” Demikian pula halnya, Muhammad bin Idris al-Syafi’i mengerjakan shalat subuh di dekat makam Abu Hanifah tanpa berqunut. Saat ditanya, dia menjawab: “Apakah saya bakal menyelesihinya, sedangkan saya berada di dekatnya? (Alwani, 1405 H: 18-19)”
Contoh yangg diberikan oleh para ustadz klasik itu menjadi menjadi pelajaran tentang gimana menyikapi ikhtilaf secara bijak. Perbedaan pendapat dalam wilayah furu’ kepercayaan merupakan keniscayaan lantaran petunjuk dalil berkarakter dzanni. Pilihan terhadap satu pendapat berasas tarjih dalil maupun aspek lain perlu dilakukan, namun tidak berfaedah pendapat yangg tidak ditarjih alias diangap marjuh (lemah) tidak bisa dianggap salh sepenuhnya. Berbeda halnya dengan pokok-pokok keagamaan dan pokok hukum Islam yangg kudu diterima dengan keimanan.
Penutup
Ikhtilaf adalah sunnah dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ikhtilaf sendiri bukan persoalan lantaran yangg menjadi masalah adalah sikap terhadap ikhtilaf itu sendiri. Dalam Islam, ikhtilaf tanawwu’ tidak sepatutnya diartikan sebagai pertentangan, melainkan sebagai pilihan dalam menjalankan aliran agama. Adapun ikhtilaf tadladud, meskipun bentuknya adalah pendapat yangg bertentangan, namun perihal itu tidak serta merta melahirkan pertikaian selain ada sikap, perilaku dan pertentangan yangg mendorong terjadinya konflik.
Dalam manhaj tarjih, sikap toleran dan keterbukaan diletakkan sebagai wawasan dalam menjalankan agama, meskipun tidak berfaedah mengesahkan pelanggaran kepada aliran pokok agama, ialah tauhid. Putusan tarjih mengandung hukum-hukum yangg mengakui tanawwu’ dalam perkara ibadah, sepanjang ada landasan dari dalil. Toleransi tidak berfaedah mengabaikan dakwah dan pasif terhadap kemungkaran. Namun, dalam menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, pendekatan hikmah, mauidzah hasanah, dan mujadalah dengan langkah yangg lebih baik menjadi panduannya.
- Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Tengah. Tulisan ini adalah bahan yangg disampaikan pada “Pelatihan Muballigh Dasar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kota Semarang” Sabtu 07 Oktober 2023
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·