Bahaya Penyederhanaan Narasi : Refleksi Atas Tayangan yang Memicu Boikot Trans7 - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

BAHAYA PENYEDERHANAAN NARASI: REFLEKSI ATAS TAYANGAN YANG MEMICU BOIKOT TRANS7

Dr. Junaidi, M.Si – (Dosen Komunikasi Politik Islam UIN-SU, Medan dan Ketua MT PDM Medan)

Penyederhanaan narasi dalam media massa sering kali menjadi sorotan, terutama ketika tayangan tertentu memicu reaksi publik yangg signifikan. Gelombang boikot terhadap stasiun televisi Trans7 menjadi salah satu rumor paling hangat di pertengahan Oktober 2025. Pemicu utamanya adalah tayangan “Xpose Uncensored”, yangg menyoroti kehidupan pesantren dan para santri dengan narasi yangg dianggap melecehkan dan tidak berimbang. Tayangan itu memunculkan beragam respons keras dari masyarakat, terutama kalangan pesantren, kiai, dan alumni lembaga pendidikan Islam tradisional.

Sejak potongan video tayangan tersebut beredar di media sosial, tagar #BoikotTrans7 langsung menduduki posisi trending di platform X dan Instagram. Reaksi netizen tak hanya berupa kemarahan, tetapi juga obrolan serius mengenai etika jurnalistik dan batas-batas kebebasan media. Banyak yangg menilai, tayangan itu bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi corak penyederhanaan yangg keliru terhadap realitas pesantren.

Program Xpose Uncensored yangg ditayangkan pada 13 Oktober 2025 menampilkan segmen yangg menyebut “santri kudu jongkok saat minum susu” dan menggambarkan ustad sebagai sosok kaya yangg menerima sampulsurat dari masyarakat. Narasi-narasi seperti ini memantik kemarahan lantaran dianggap mengolok tradisi penghormatan di pesantren yangg sarat nilai spiritual, bukan simbol penindasan.

Pihak pesantren Lirboyo, salah satu yangg disebut dalam tayangan itu, menyampaikan kekecewaan mendalam. Para alumni, santri, dan organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU), GP Ansor, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut mengecam isi tayangan tersebut. Mereka menilai Trans7 telah kandas memahami konteks budaya pesantren dan melewati pemisah etika penyiaran publik.

Menanggapi kritik yangg meluas, pihak Trans7 akhirnya mengeluarkan permintaan maaf resmi. Dalam pernyataannya, mereka mengakui bahwa telah terjadi kekeliruan dalam proses penyuntingan dan verifikasi konten. Meski demikian, bagi sebagian masyarakat, permintaan maaf tersebut dinilai belum cukup lantaran akibat sosial dan psikologis dari tayangan tersebut sudah terlanjur menyebar luas.

Fenomena ini memperlihatkan salah satu masalah besar dalam bumi penyiaran modern: penyederhanaan narasi. Dalam upaya menarik perhatian publik, banyak media memilih mereduksi realitas kompleks menjadi potongan-potongan singkat yangg sensasional. Hasilnya, kedalaman makna lenyap dan kebenaran kontekstual terdistorsi oleh logika rating.

Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, melainkan ruang pembentukan karakter, pusat kebudayaan, dan organisasi sosial yangg telah beratus-ratus tahun berkontribusi pada pendidikan bangsa. Namun, ketika pesantren digambarkan hanya lewat segmen “santri jongkok minum susu”, seluruh kompleksitas nilai, spiritualitas, dan tradisi yangg hidup di dalamnya sirna dalam sekejap.

Salah satu ancaman terbesar dari penyederhanaan narasi adalah terbentuknya stereotip negatif. Tayangan seperti itu berpotensi membikin masyarakat yangg tidak mengenal pesantren menjadi salah paham. Mereka bisa menganggap bahwa bumi pesantren identik dengan kekolotan, ketundukan berlebihan, alias praktik keagamaan yangg ekstrem. Padahal kenyataannya jauh lebih beragam dan modern.

Sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa media dapat melakukan kekerasan simbolik, ialah proses kekuasaan melalui representasi. Ketika media memonopoli narasi, maka golongan sosial lain kehilangan kesempatan untuk merepresentasikan dirinya secara autentik. Dalam konteks ini, pesantren menjadi korban framing media yangg tidak sensitif terhadap simbol-simbol keagamaan.

Dampak dari tayangan seperti ini tidak sekadar di bumi maya. Banyak santri dan alumni pesantren mengaku terluka secara moral lantaran merasa nilai-nilai luhur yangg mereka junjung diremehkan. Beberapa pesantren apalagi menolak kunjungan media dalam waktu dekat lantaran takut kembali disalahpahami. Ini menandakan krisis kepercayaan yangg cukup serius antara lembaga pendidikan Islam dan media nasional.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera memanggil pihak Trans7 untuk memberikan klarifikasi. Beberapa personil DPR dari Fraksi PKB turut mendesak agar KPI menjatuhkan hukuman tegas. Mereka menilai tayangan tersebut bukan hanya melanggar kode etik, tetapi juga berpotensi memperlemah toleransi antar golongan masyarakat. Negara pun diminta memastikan agar etika penyiaran ditegakkan dengan tegas.

Meski demikian, tidak sedikit pula yangg mengingatkan agar polemik ini tidak berubah menjadi pembungkaman terhadap kebebasan pers. Media mempunyai kewenangan untuk mengkritik lembaga sosial, termasuk pesantren, selama dilakukan dengan data, konteks, dan etika. nan dipersoalkan bukan kritiknya, melainkan langkah penyajiannya yangg sembrono dan mereduksi nilai-nilai luhur menjadi bahan sensasi.

Kasus ini menunjukkan pentingnya literasi media, baik bagi masyarakat umum maupun kalangan pesantren. Santri dan ustad perlu memahami langkah kerja media modern agar bisa berinteraksi secara kritis, bukan reaktif. Dengan literasi media yangg baik, organisasi pesantren dapat mengontrol narasi tentang dirinya dan apalagi memproduksi konten pengganti yangg lebih autentik.

Gerakan boikot yangg muncul bisa dipahami sebagai corak kontrol sosial masyarakat terhadap media. Ketika publik merasa nilai-nilainya diserang, mereka menggunakan ruang digital sebagai arena resistensi. Boikot dalam konteks ini bukan sekadar kemarahan spontan, melainkan langkah masyarakat menegaskan pemisah moral yangg semestinya dihormati oleh lembaga penyiaran.

Media kudu menyadari bahwa kekuatan mereka bukan hanya pada penyebaran informasi, tetapi juga pada pembentukan persepsi. Maka, tanggung jawab sosial media semestinya sebanding dengan pengaruh yangg mereka miliki. Dalam konteks ini, Trans7 dan media lainnya perlu memperkuat sistem editorial yangg memastikan setiap narasi melewati proses verifikasi dan sensivitas budaya.

KPI sebagai lembaga pengawas penyiaran mempunyai peran krusial untuk menegakkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Sanksi tegas terhadap pelanggaran etik bukan sekadar corak hukuman, melainkan upaya menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penyiaran. Tanpa penegakan aturan, media bisa terus jatuh pada pola sensasional yangg merugikan. Ke depan, perlu ada ruang perbincangan antara media dan organisasi pesantren. Forum diskusi, training bersama, alias program edukasi lintas sektor bisa menjadi jembatan untuk saling memahami. Dengan begitu, media tidak lagi memandang pesantren sebagai objek buletin eksotik, tetapi sebagai mitra dalam pembangunan literasi dan moral bangsa.

Selain kritik, langkah solutif yangg bisa diambil adalah memproduksi konten positif tentang pesantren. Banyak kisah inspiratif dari bumi santri — penemuan pendidikan, kontribusi sosial, hingga aktivitas kewirausahaan — yangg layak diangkat. Narasi-narasi ini dapat menjadi penyeimbang dari stigma negatif yangg selama ini beredar di media arus utama.

Kasus boikot Trans7 hendaknya menjadi cermin bagi bumi jurnalistik Indonesia. Dalam masyarakat multikultural dan religius seperti Indonesia, sensitivitas budaya bukan sekadar etika tambahan, tetapi fondasi keberlanjutan media itu sendiri. Kebebasan pers tidak boleh dipisahkan dari tanggung jawab moral terhadap keberagaman yangg ada.

Kasus ini menegaskan bahwa penyederhanaan narasi adalah corak ancaman baru di era media sigap saji. Ketika kompleksitas sosial dan budaya dipangkas demi klik dan rating, maka yangg lahir bukan pemahaman, melainkan perpecahan. Trans7 perlu menjadikan kejadian ini sebagai titik kembali untuk memperbaiki sistem editorialnya. Sementara itu, masyarakat pesantren disarankan untuk memperkuat kapabilitas komunikasi publiknya agar dapat mengontrol narasi tentang dirinya secara lebih aktif dan cerdas. (***)

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan