Wahyu, Akal, dan Perdebatan Bentuk Bumi - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Sejak manusia mengenal langit dan bumi, pertanyaan tentang corak bumi telah menjadi bagian dari rasa mau tahu yangg tak pernah padam. Dalam peradaban Islam, perdebatan ini tidak hanya berkarakter ilmiah, tetapi juga teologis. Memahami alam semesta berfaedah memahami buatan Allah, dan memahami ciptaan-Nya berfaedah mendekati Sang Pencipta. Oleh lantaran itu, persoalan apakah bumi bulat alias datar bukan sekadar rumor kosmologi, melainkan juga refleksi tentang gimana wahyu dan logika berjumpa dalam sejarah keilmuan Islam.
Perdebatan ini menarik lantaran mengungkap dua sisi sahih dalam tradisi Islam: pertama, tradisi tafsir tekstual yangg berpegang pada makna literal ayat; kedua, tradisi ilmiah yangg berbasis observasi empiris. Di antara keduanya, terdapat dialektika panjang yangg membentuk dinamika pengetahuan Islam selama berabad-abad.

Pandangan Ulama Klasik tentang Bentuk Bumi

Sebagian ustadz klasik, seperti Ibn Hazm dan Ibn Taymiyyah, telah membahas konsep kebulatan bumi jauh sebelum era sains modern. Ibn Hazm dalam Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal menyatakan bahwa bumi berbentuk bola (kurrah), sementara Ibn Taymiyyah dalam Majmu‘ al-Fatawa menjelaskan bahwa “langit dan bumi ibaratkan dua bola yangg saling melingkupi.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa sejumlah ahli filsafat Muslim telah menyadari corak bumi yangg melengkung, meskipun observasi astronomi pada masa itu tetap sederhana.

Namun, tidak semua mufasir sependapat. Beberapa ulama, seperti Ka‘b al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, al-Tabari, Fakhr al-Din al-Razi, al-Suyuti, dan al-Shawkani, diyakini mendukung pandangan bumi datar alias setidaknya tidak secara definitif mendukung corak bola. Mereka menafsirkan ayat seperti “dan bumi setelah itu Dia hamparkan (dahaha)” (QS. An-Nazi‘at: 30) secara literal, sebagai indikasi bahwa bumi terbentang datar. Tafsir semacam ini tidak mencerminkan penolakan terhadap sains, melainkan gambaran horizon pengetahuan pada zamannya. Dunia mereka adalah bumi prateknologi, di mana pengetahuan ilmiah belum berkembang seperti sekarang. Dengan demikian, tafsir literal merupakan corak penalaran yangg wajar dalam konteks epistemologis abad pertengahan.

Kosmologi Islam dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Sejarah mencatat bahwa intelektual Muslim seperti al-Biruni, al-Farghani, dan Ibn al-Haytham telah mempelajari corak dan mobilitas bumi dengan metode ilmiah yangg canggih untuk zamannya. Al-Biruni apalagi menghitung keliling bumi dengan membandingkan tinggi gunung dan perspektif pandang ke cakrawala, menghasilkan nomor yangg sangat mendekati pengukuran modern. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, tidak ada pertentangan mendasar antara ketaatan dan ilmu. Sebaliknya, pencarian ilmiah dianggap sebagai corak ibadah intelektual.

Dalam epistemologi Islam klasik, wahyu dan logika adalah dua sumber kebenaran yangg berasal dari Tuhan yangg sama, sehingga keduanya tidak mungkin bertentangan secara hakiki. Jika terdapat pertentangan antara teks wahyu dan temuan ilmiah, masalahnya bukan pada kebenaran itu sendiri, melainkan pada langkah manusia memahaminya. Prinsip ini menjadi dasar bagi ustadz rasionalis seperti Ibn Rushd, yangg menegaskan bahwa wahyu dan logika saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Salah satu kesalahpahaman besar dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang bumi adalah memperlakukan bahasa wahyu sebagai bahasa ilmiah. Padahal, bahasa Al-Qur’an berkarakter fenomenologis, menggambarkan realitas sebagaimana tampak bagi manusia, bukan dalam kerangka geometris alias fisika modern. Ketika Al-Qur’an menyebut “bumi dihamparkan,” yangg dimaksud bukan corak datar secara matematis, melainkan kegunaan eksistensial bumi sebagai tempat hidup yangg stabil. Ayat tersebut berbincang dalam bahasa manusia yangg hidup di bumi, bukan dalam rumus astronomi.

Dengan demikian, tafsir literal tidak kudu ditolak, tetapi perlu ditafsir ulang dalam konteks baru. Bahasa wahyu tidak dapat dipaksa tunduk pada bahasa sains, tetapi juga tidak boleh dijadikan pembenaran untuk menolak bukti empiris. Di sinilah pentingnya hermeneutika Islam modern, yangg membaca teks suci dengan kesadaran historis dan ilmiah sekaligus.

Ijma‘, Ilmu, dan Otoritas Pengetahuan

Masalah lain yangg sering muncul adalah klaim adanya ijma‘ atau konsensus ustadz mengenai corak bumi. Padahal, dalam metodologi Islam, ijma‘ hanya bertindak pada persoalan norma hukum yangg berasal langsung dari teks wahyu, bukan pada rumor empiris seperti astronomi. Ilmu pengetahuan bekerja melalui observasi, eksperimen, dan falsifikasi. Kesepakatan ilmiah bukan disebut ijma‘, melainkan scientific consensus, yangg berkarakter bergerak dan dapat berubah seiring munculnya bukti baru. Oleh lantaran itu, menyatakan bahwa corak bumi merupakan ijma‘ keagamaan adalah kekeliruan metodologis.

Perbedaan antara otoritas ilmiah dan otoritas keagamaan kudu dijaga agar keduanya tidak saling menindas. Ketika kepercayaan menyatakan monopoli atas sains, lahirlah dogmatisme. Sebaliknya, ketika sains menafsirkan wahyu secara reduksionis, lahirlah sekularisme yangg kering makna. Islam klasik mengajarkan keseimbangan: pengetahuan adalah jalan untuk mengenal Tuhan, dan wahyu adalah sinar yangg memberi arah bagi ilmu.

Refleksi: Membulatkan Nalar, Bukan Sekadar Bumi

Kini, ketika manusia dapat memandang bumi langsung dari luar angkasa, sebagian orang tetap memperdebatkan apakah bumi datar alias bulat. Ironisnya, perdebatan ini bukan lagi tentang corak bumi, melainkan tentang langkah berpikir. Bumi telah terbukti bulat, tetapi banyak pikiran tetap “datar,” menolak kompleksitas, perubahan, dan pembelajaran. Dalam bumi yangg berubah cepat, kejumudan berpikir justru lebih rawan daripada kesalahan tafsir.

Umat Islam pernah menjadi pelopor sains bumi lantaran keberanian berpikir dan semangat tahqiq (verifikasi). Para intelektual Muslim tidak takut menguji teori, menantang otoritas, dan memperluas pengetahuan. Mereka tidak merasa ketaatan mereka terancam oleh eksperimen, justru diperkuat. Untuk menghidupkan kembali semangat itu, umat Islam perlu “membulatkan” langkah berpikir, menyatukan ketaatan dan pengetahuan dalam satu orbit pencarian kebenaran.

Pada akhirnya, perdebatan tentang corak bumi hanyalah pintu masuk menuju refleksi yangg lebih dalam: gimana kita memahami hubungan antara wahyu dan dunia. Alam bukan sekadar latar tempat manusia beriman, tetapi juga teks kedua yangg kudu dibaca dengan akal. Tuhan memberikan manusia dua kitab: Al-Qur’an dan alam semesta. Jika dibaca dengan jujur, keduanya selalu menyampaikan kebenaran yangg sama: kebenaran itu satu, dan hanya dapat dicapai oleh logika yangg terbuka serta hati yangg tunduk.

Editor: Assalimi

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id