Penulis sedang membahas Risalah Islam Berkemajuan (RIB) secara online di hadapan ratusan kader IMM Kepulauan SelayarOleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH. CO –Saya mau mengungkapkan terlebih dulu dalam bahasa sederhana, bahwa perihal konkret dan material itu digerakkan oleh sesuatu yangg absurd dan/atau immaterial. Kursi tetap memperkuat lantaran di dalamnya ada daya yangg terus bergerak di dalam inti atom. Tuts atau tombol keyboard yangg saya tekan satu persatu untuk menghasilkan narasi dan diksi inspiratif ini, itu menghasilkan pengaruh lantaran ada sesuatu yangg absurd yangg menggerakkan di dalamnya, minimal berupa bahasa program dilengkapi dengan “langkah metodis” yangg dikenal pula sebagai algoritma.
Diri ini pun tergerak duduk, kemudian membuka dan menyalakan laptop sembari mengetik sampai tulisan ini tuntas lantaran ada suatu perihal yangg mengalami sistem psikologis-spiritualitas yangg menggerakkan dimensi fisik-biologis diri ini. Sahabat pembaca pun tergerak dan mengklik link untuk membaca tulisan ini lantaran ada perihal absurd dan/atau immaterial—saya menyebut dan mengistilahkannya seperti ini saja—dalam dirinya.
Kita pun, mungkin, pernah membikin fisik-biologis diri masing-masing memperkuat tidak merasa lapar meskipun tidak makan berhari-hari. Atau, membikin mata tidak mengantuk meskipun tidak tidur beberapa hari. Padahal yangg membikin fisik-biologis kita bisa memperkuat hanya lantaran hati kita yangg sedang galau dengan beragam faktor, alias mungkin terlalu semangat menyelesaikan sesuatu.
Kehidupan ini semakin maju dalam beragam corak peradaban, itu berasal dari sesuatu yangg absurd alias immaterial, bisa berupa pemikiran, nilai, ajaran, dan paradigma yangg menggerakkan dan mengalami transformasi dalam corak amal, kerja nyata, dan kerja pandai serta terwujud dalam monumen-monumen yangg menandai kemajuan peradaban tersebut. Islam sebagai risalah, yangg tentu awalnya berupa firman Allah, mengandung ajaran, tuntunan, nilai, dan pandangan telah terbukti sukses membentuk peradaban maju, apalagi tercatat dalam sejarah bumi telah menjadi penyelamat “Era Kegelapan Eropa” pada saat itu.
Catatan awal di atas krusial untuk diungkapkan lantaran saya mau menegaskan dari awal bahwa modal utama dan pertama dalam kehidupan bukanlah sesuatu yangg berkarakter material. Dalam perihal ini, bukan hanya keahlian teknis, metodis, administratif, dan prosedural, tetapi sesuatu yangg mengandung nilai, makna, berupa pandangan dan aliran krusial untuk terlebih dulu dilekatkan dalam diri.
Sama halnya modal menjadi pembimbing sesungguhnya bukan hanya pengetahuan dan keahlian yangg berbentuk keahlian teknis, metodis, administratif, dan prosedural yangg dibutuhkan dalam mencapai tujuan substansial pendidikan dan/atau membentuk anak/peserta didik menjadi generasi emas. Apalagi, mengajar di lingkungan alias lembaga pendidikan Muhammadiyah, seringkali sasaran material, finansial, dan kesuksesan individual duniawi susah dicapai. Belum lagi, setiap individual pembimbing tentu saja diperhadapkan pada bujukan material dan duniawi.
Sesuatu yangg bisa menjadi personal calling dan sesuatu yangg mengalami sistem algoritmik dalam diri manusia, terutama guru, krusial untuk dipahami, diupayakan, dan diinternalisasi dalam diri, tentu pula angan utamanya, setelah ini mengalami eksternalisasi alias terimplementasi dalam kehidupan. Bagi guru, ini bakal menjadi bingkai yangg bakal memandu setiap langkahnya menjalankan amanah mulia sebagai pengajar sekaligus pendidik.
Guru Muhammadiyah sejatinya—jika betul-betul merasa bagian dari Muhammadiyah dan di dalamnya mengalami dinamika—tidak bakal kesulitan menemukan sesuatu yangg bisa menjadi personal calling (panggilan jiwa)–nya. Termasuk yangg bakal menjadi bagian dari sistem algoritmik alias bisa pula dimaknai sebagai sesuatu yangg bakal mengalami sistem psikologis-spiritualitas, itu sudah ada dalam tubuh Muhammadiyah. Persoalan berikutnya, apakah kita menyadari dan berupaya melakukan internalisasi (menyerap) nilai, ajaran, tuntunan, dan pandanga-pandangan yangg ada tersebut.
Di Muhammadiyah, kita bisa menemukan sesuatu yangg secara resmi disebut Risalah Islam Berkemajuan (RIB). Tentu saja, RIB ini “diperas dari nilai-nilai dan aliran Islam yangg memang diyakini secara esensial mengandung aliran yangg berkemajuan dan memberikan faedah bagi semesta kehidupan. RIB mengandung nilai faedah dan utama bagi siapa saja yangg secara serius melakukan internalisasi dan selanjutnya melakukan eksternalisasi/implementasi dalam kehidupan kesehariannya.
Risalah Islam Berkemajuan (RIB) ini, saya meyakini bahwa di dalamnya ada sesuatu yangg bisa menjadi alias minimal sebagai pemantik personal calling (panggilan jiwa). Pandangan sederhana mengenai panggilan jiwa sahabat pembaca bisa menemukan dalam tulisan saya, dengan mengklik link ini: Personal Calling dan Algoritma Guru Ideal. RIB secara garis besar mengandung tiga hal: Konsep dasar Islam Berkemajuan; Gerakan Islam Berkemajuan; dan Perkhidmatan Islam Berkemajuan.
Dari tiga kerangka dasar RIB di atas, tentu saja yangg bisa ditransformasikan menjadi alias sebagai personal calling dan mengalami sistem algoritmik adalah bagian yangg berada dalam poin “Konsep dasar Islam Berkemajuan”. Di dalam ini pun ada dua: ada Karakteristik Lima dan ada Manhaj Islam Berkemajuan. Tetapi, saya hanya cukup konsentrasi di antara Karakteristik Lima. Menginternalisasi Karakteristik Lima dalam diri Guru-guru Muhammadiyah, itu bisa menjadi personal calling dan mengalami sistem algoritmik yangg bisa memengaruhi dan sekaligus mengubah kualitas dirinya sebagai pembimbing menjadi lebih baik dan berkemajuan. Menjadi pembimbing berkemajuan.
Karakteristik Lima menuntun diri kita untuk konsentrasi utamanya pada tauhid. Jika tautan utama diri kita pada tauhid, itu bukan hanya membikin diri kita percaya tentang keberadaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yangg kudu disembah dan meyakini sebagai pembuat alam semesta. Tauhid yangg menyala melahirkan banyak nilai dan daya dalam diri.
Tauhid yangg terpahat dalam hati bakal bisa mengarahkan, mengendalikan, dan membentengi diri agar senantiasa konsentrasi pada nilai-nilai utama dan tidak terjebak pada kepentingan dan tujuan duniawi semata. Tauhid pun bakal memandu diri kita untuk senantiasa melahirkan perubahan dan kemajuan-kemajuan dalam kehidupan, termasuk yangg berorientasi pada masa depan, bukan hanya untuk diri tetapi bagi orang lain dan secara keseluruhan kehidupan semesta.
Tauhid pun membangkitkan antusiasme dan kepekaan atas beragam ketimpangan yangg terjadi sehingga orientasi perubahan bakal selalu menyala dalam diri. Tauhid pun bakal mengendalikan kesombongan dalam diri alias sesuatu yangg berpotensi memantik hadirnya kesombongan serta bakal senantiasa memancarkan perihal sebaliknya berupa keikhlasan.
Merujuk makna sederhana dari personal calling, di antaranya panggilan jiwa, panggilan ilahi, dorongan/suara hati, motivasi intrinsik, ketulusan, dan keikhlasan. Maka, sesuatu yangg lahir dari tauhid ini bisa menjadi personal calling yang nyala apinya sangat membara. Selain itu, dari tauhid ini pun tanpa selain personal calling itu sendiri bisa menjadi sesuatu yangg mengalami sistem algoritmik dalam diri untuk selanjutnya memengaruhi segala sikap dan tindakan termasuk dalam mengajar dan mendidik siswa alias peserta didik, ini pun memberikan akibat positif, konstruktif, produktif, dan fungsional.
Keikhlasan yangg dipancarkan oleh tauhid yangg terpahat dalam diri bukan hanya membikin diri kita memperkuat dalam kondisi apa pun, tetapi membikin kita semakin bergairah melakukan kebaikan, memancarkan daya kerahmatan apa pun kondisinya. Keikhlasan pun bakal menjadi bingkai keteladanan yangg banyak mendapatkan perhatian serius oleh orang lain dan mengandung daya magnetis yangg sangat kuat bagi orang lain untuk mewujudkan nilai-nilai utama secara berbareng yangg terkandung di kembali keikhlasan tersebut.
Merujuk dan terinspirasi dari pandangan Arvan Pradiansyah, saya bisa memahami dan menyimpulkan bahwa tentu saja pembimbing pun bisa dilihat dari beberapa perspektif “Pekerjaan”: Pertama, sebagai job, tentu saja ini—salah satunya—akan tunduk dan terikat dari pemimpin dan izin yangg mengikat; Kedua, sebagai career (karier), ini berpotensi berada pula dalam skenario diri; dan Ketiga, sebagai calling atau dalam tulisan saya ini konsentrasi dan konsisten menyebutnya personal calling, ini—dalam pandangan Arvan Pradiansyah pun dimaknai sebagai pekerjaan yangg melahirkan kesadaran bahwa apa yangg dilakukan berada dalam skenario Allah, maka hasilnya sudah bisa dipastikan bakal memantik happiness (kebahagiaan).
Capaian kebahagiaan dari personal calling ini bukan hanya memantik antusiasme alias semangat pembimbing dalam mengajar, termasuk pula memantik kedahsyatan kegunaan otak pembimbing sendiri sehingga semakin cemerlang menghasilkan buahpikiran dan inovasi-inovasi yangg bisa menjadi satu sumber keteladanan bagi anak didiknya. Selain itu kebahagiaan ini bakal memancar ke dalam diri siswa termasuk bakal memaksimalkan terwujudnya deep learning (pembelajaran mendalam) yangg salah satunya mensyaratkan kegembiraan (joyful).
Begitu pun—masih mengenai pandangan Arvan—secara garis besar argumen alias motif yangg mendorong seseorang untuk bekerja ada dua: getting (untuk mendapatkan/memperoleh sesuatu) dan giving (tujuan memberi). Pancaran tauhid dipastikan bakal bisa mengarahkan agar aktivitas dan dinamika yangg dialami seorang pembimbing dalam posisinya sebagai pembimbing bakal senantiasa mengutamakan prinsip giving (memberi). Islam pun mengajarkan prinsip dasar ini untuk mengutamakan memberi daripada menerima dalam makna “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.
Hanya dengan prinsip giving ini, ketika menjadi bagian dari personal calling dan sistem algoritmik diri, maka misi “Mencerdaskan kehidupan bangsa” bisa digerakkan secara masif dan progresif tanpa syarat, apalagi sasaran semata material dan finansial. Giving ini pun memantik kebahagiaan yangg berlipat dobel termasuk bakal menggandakan pengetahuan itu sendiri bagi orang-orang yangg mengamalkannya.
Mentransformasikan RIB sebagai personal calling dan sistem algoritmik diri seorang pembimbing Muhammadiyah, maka dirinya pun bakal senantiasa berupaya mendapat nilai-nilai dan ajaran-ajaran inspiratif dari Al-Qur’an. Karena, sungguh di dalam Al-Qur’an ada banyak nilai dan aliran yangg bisa menjadi daya luar biasa dalam menggairahkan diri dan pikiran serta menggugah jiwa agar senantiasa bergerak tanpa pemisah dengan penuh spiritualitas ihsan. Al-Qur’an pun bakal memantik inspirasi mengenai pentingnya keterpaduan antara olah pikir (intelektualitas), olah hati (etika), oleh rasa(estetika), dan olah raga (kinestetik) sebagai sesuatu yangg kudu dilalui agar menciptakan kedahsyatan deep learning (pembelajaran mendalam) dalam suasana belajar dan proses pembelajaran.
Dengan RIB terutama melalui “Konsep Dasar Islam Berkemajuan”-nya terutama pada bagian Karakteristik keempat, kita pun bakal mendapatkan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya keseimbangan dalam pencapaian-pencapaian yangg diraih. Melalui ini, guru-guru Muhammadiyah pun bakal memahami dan menyadari pentingnya untuk menyeimbangkan tujuan duniawi dan alambaka bukan hanya untuk dirinya dalam belajar, termasuk dalam membentuk karakter anak didik. Ini pun bisa berfaedah bahwa sasaran proses pembelajaran bukan hanya bermuara pada kepintaran intelektualitas, tetapi termasuk pula kepintaran emosional dan kepintaran spiritualitas. Mengapa saya menyimpulkan seperti ini, lantaran sesungguhnya pada bagian Karakteristik Lima bagian keempat ini mengajarkan tentang wasathiyah (tengahan) yangg tentu saja menuntut hadirnya keseimbangan-keseimbangan, bukan untuk mempunyai kecenderungan ekstrem pada kutub tertentu.
Dari Karakteristik Lima ini pun, kita bakal mempunyai pemahaman dan kesadaran untuk senantiasa menghadirkan prinsip dan spirit kerahmatan dalam dinamika dan aktivitas yangg dijalani dalam setiap bagian kehidupan, tanpa selain dalam bumi pendidikan. Guru bakal senantiasa beriorientasi untuk menghadirkan kerahmatan dan kemanfaatan dalam kehidupan, terutama yangg bakal dirasakan bagi anak didiknya tanpa selain masyarakat (terutama) yangg berada di sekitar lingkungan sekolah.
Menyerap, khususnya, Karakteristik Lima ini yangg menjadi bagian dari Konsep Dasar Islam Berkemajuan, sekali lagi, bukan hanya bakal ada yangg menjadi personal calling tetapi bakal menjadi bagian dari proses algoritmik yangg bakal memengaruhi segala sikap, perilaku/tindakan seorang pembimbing terutama dalam lingkungan pendidikan yangg menjadi bagian dari kebaikan upaya Muhammadiyah.
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co (Media online milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel).
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·