Beberapa dasawarsa terakhir, stabilitas kehidupan masyarakat di kebanyakan negara Arab berada pada level mencemaskan. Berakar mula dari suasana politik, otoritarianisme tetap banyak “digandrungi” negara-negara di area itu. Kekuasaan tanpa batas, rakyat tanpa kewenangan suara.
Pada gilirannya sistem anti-demokrasi ini menciptakan persoalan baru pada aspek kehidupan lain; nomor korupsi nan tinggi, kemiskinan dan pengangguran, serta pelanggaran HAM seperti nan dipertontonkan kebanyakan negara Muslim Arab kini.
Realitas ini nan mendorong lahirnya sebuah spirit revolusi nan dikenal dalam politik internasional dengan The Arab Spring, Musim Semi Arab.
Tentang The Arab Spring
Gerakan revolusi ini dimobilisasi oleh rakyat demi terwujudnya politik nan demokratis dan kehidupan nan lebih ideal. Bermula dari seorang pemuda Tunisia, Mohammed Bouazizi, nan membakar dirinya sebagai corak protes terhadap rezim otoriter kejam, Zen al-Abidin Ben Ali (Ben Ali) pada 17 Desember 2010.
Aksi bakar diri oleh Bouazizi menciptakan akibat domino terhadap negara sekitarnya, seperti Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, hingga Suriah. Sebagian sukses beralih bentuk menjadi negara nan lebih demokratis, sebagian nan lain tidak.
Di Suriah, alih-alih demokratis, gejolak Arab Spring justru menampilkan wajah nan lebih menyeramkan. Perang kerabat antara rezim al-Assad (elit penguasa) dan golongan pro-demokrasi (masyarakat sipil) nan tetap berjalan hingga sekarang telah menewaskan ratusan ribu jiwa dan memaksa jutaan penduduk lainnya mengungsi ke negara lain.
Islam nan Rapuh
Dahulu, pada abad ke-8 hingga ke-13, area ini menjadi pusat peradaban umat Islam. Dinasti Abbasiyyah nan bermarkas di Baghdad, Irak sukses membawa Islam ke puncak kejayaan dengan sikapnya nan terbuka dan akomodatif terhadap unsur-unsur luar (non-Arab).
Kontras dengan realitas umat Islam hari ini nan justru condong skeptis, tertutup, dan doyan berkonflik dengan apapun dan siapapun nan berlawanan—politik apalagi mazhab—ketimbang berasosiasi guna menggapai kemajuan.
Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya “Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam”, menuturkan faktor-faktor pemicu krisis umat ditinjau dari bentrok nan tengah melanda bumi Arab. Setidaknya ada dua aspek utama.
Pertama, politik kekuasaan. Menurutnya, Perang Unta alias Jamal (656) dan Shiffin (657) merupakan cikal bakal dari krisis politik di kalangan elite Arab lintas zaman. Ketidaksukaan Aisyah dan Muawiyah terhadap pembaiatan Ali di antara pemicu meluapnya kedua perang nan langsung melibatkan kader-kader utama Nabi tersebut.
Aisyah condong mendukung Thalhah dan Zubair daripada Ali sebagai khalifah sepeninggalan Utsman nan terbunuh. Peralihan antar dinasti di masa sesudahnya pun tak luput dari tragedi berdarah oleh dan kepada umat Islam sendiri. Khalifah Ali ke Umayyah, Umayyah ke Abbasiyyah, dan seterusnya.
Di kembali kemegahan peradaban duniawi, ada perihal nan kudu dibayar mahal oleh elite Islam. Segala kekuasaan-kekuasaan tersebut mesti berhasil di atas tengkorak saudaranya sendiri.
Kedua, sektarianisme. Syahwat politik Muawiyah dengan meluapnya Perang Shiffin menciptakan kotak-kotak polarisasi umat menjadi tiga sekte besar, Sunni, Syi’ah, dan Khawarij. Perpecahan nan murni lahir karena pertikaian politik, pada gilirannya justru menjalar ke lingkaran teologi nan tidak berkesudahan.
Tragedi Baghdad merupakan saksi bisu dari umat Islam nan tuna persaudaraan. Pendiskreditan al-Mu’tashim terhadap golongan Syi’ah kudu dibayar mahal dengan membawa Abbasiyyah ke museum sejarah untuk selamanya.
Perang hegemoni Arab Saudi-Iran di Yaman sejak 2011 juga tidak terpisah dari bentrok ajaran teologi nan “diortodoksi” keduanya di negaranya masing-masing.
Moderatisme: Sebuah Alternatif
Oleh karena gelapnya corak sejarah nan tergores oleh polarisasi sekte, Syafii Maarif menganjurkan umat ini untuk keluar dari kotak-kotak nan lahir atas dasar kepentingan politik itu.
Menurutnya pula, pertikaian atas dalil-dalil agama, gimana pun bentuknya tetap tidak dibenarkan. Terlebih telah mengingkari pesan al-Qur’an untuk merawat perdamaian antar kerabat seiman (lihat QS. Al-Hujurat [49]: 10).
Asumsi penulis, keluar dari kotak semacam itu banget ekstrem dalam konteks keindonesiaan nan terkenal berkawan dengan ajaran teologi nan kebanyakan masyarakatnya menganut aliran Sunni.
Barangkali persoalan ini bisa diatasi dengan pemberian doktrin-doktrin moderatisme dan pluralisme sejak dini. Masyarakat kita kudu belajar melepas jubah kebenaran absolut terhadap suatu golongan, tidak memandang golongan nan berbeda mengerti sebagai musuh nan kudu diringkus—atau ekstremisme, dan dapat menerima kehadirannya dengan segala warna perbedaan.
Doktrin nan diiringi pembiasaan hidup berdampingan dengan orang nan tidak sepaham bakal meningkatkan nilai toleransi di tubuh perseorangan dan masyarakat. Sehingga pada gilirannya turut membawa bangsa ini pada level kehidupan nan lebih baik. Soal politik kekuasaan, bangsa kita pernah dipimpin presiden dengan masa kuasa lebih dari 30 tahun.
Bagi penulis, mengalahnya Soeharto pasca tuntutan mundur nan merebak dimana-mana serta terciptanya amandemen UUD 1945 Pasal 7 tentang pembatasan masa kedudukan presiden dan wakil presiden menjadi dua periode merupakan mukjizat dan corak cinta Tuhan kepada Indonesia agar penyakit nan murni berbau Arab itu tidak menjangkiti bangsa ini.
Kebangkitan Baru Lewat Islam Indonesia
Realitas kehidupan di wilayah lahirnya Islam nan diwarnai bentrok berkepanjangan seakan memutus asa atas masa depannya. Azyumardi Azra dalam salah satu artikelnya mengatakan, dari sini kehadiran tokoh baru dirasa perlu guna memimpin kebangkitan bumi Islam—di samping untuk membantu menggapai perdamaian di wilayah konflik. Asia Tenggara nan diwakili Indonesia dan Malaysia dengan pengalaman pluralisme nan jauh lebih baik.
Identitas Islam Indonesia nan terpatri dalam “Islam Nusantara-Berkemajuan” milik dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah nan berorientasikan pada moderatisme dapat menjadi teladan bagi negara Islam di seluruh penjuru dunia.
Islam ala Indonesia lebih bisa menerima perbedaan serta tidak mudah menuding, mengafirkan, dan menyalahkan nan berseberangan sebagaimana nan tercermin pada Islam Arab.
Optimisme bangkitnya bumi Islam disambut baik oleh adanya peningkatan pada beberapa aspek.
Pertama, nomor demografi nan tinggi. Di bumi internasional, populasi umat Islam sudah mencapai 2 miliar jiwa (2022), terbanyak kedua setelah Kristianitas, Katolik dan Protestan. Angka populasi Indonesia sendiri diproyeksi bakal menyentuh 319 jiwa pada 2045.
Kedua, pertumbuhan ekonomi nan terus membaik. Secara regional, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi bakal menjadi nan terbesar ke-4 di bumi pada tahun 2050.
Tentu PR besar menanti negara ini dalam menyambut peradaban. Data positif di atas tidak bisa berdiri tunggal tanpa sokongan aspek lainnya seperti politik nan stabil dan pemerataan serta peningkatan kualitas pendidikan.
Gagasan besar ini juga kudu turut dimanifestasikan dalam proyek-proyek pemerintah dengan pemberdayaan masyarakat. Sehingga keduanya bisa melangkah beriringan guna merengkuh cita-cita nan satu, ialah Indonesia untuk kebangkitan bumi Islam.
Editor: Soleh