Sikap Denial Orang Tua: Antara Cinta, Ego, dan Tanggung Jawab - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 4 hari yang lalu

Semua orang tua mau buah hati mereka tumbuh dengan baik. Tidak ada orang tua yangg mengharapkan agar anaknya melakukan salah yangg fatal. Namun, sering kali kemauan untuk memandang anak selalu “baik” membikin orang tua terjebak pada satu sikap yangg diam-diam bisa berbahaya, ialah denial (penyangkalan).

Sikap ini muncul ketika orang tua menolak laporan negatif tentang anaknya – entah dari guru, tetangga, alias pun kawan sebayanya – lampau memihak habis-habisan tanpa ada upaya melakukan verifikasi (tabayun). “Ah, mana mungkin anak saya begitu,” begitu salah satu ucapan yangg sering dilontarkan orang tua yangg denial.

Padahal, dari kalimat yangg mungkin dirasa sederhana itu, ada banyak perihal krusial yangg terabaikan: kebenaran, rasa tanggung jawab, kesempatan anak untuk belajar dari kesalahannya, apalagi proses belajar itu sendiri.

Sikap Denial: Cinta yangg Salah Arah

Denial merupakan salah satu corak pertahanan diri. Penjelasan mengenai denial pertama kali diperkenalkan oleh psikoanalis terkenal Sigmund Freud. Ia menggambarkan denial sebagai penolakan untuk mengakui fakta-fakta yangg menyedihkan, baik terhadap peristiwa eksternal mau pun internal, termasuk pikiran, ingatan, dan emosi (verywellmind, 2025).

Dalam konteks parenting (pengasuhan), denial sering lahir cinta yangg berlebihan – cinta yangg tidak dapat menerima dan mengakui bahwa anak bisa melakukan salah. Orang tua yangg menolak perlakukan negatif anaknya cemas jika dianggap sebagai orang tua yangg gagal.

Padahal, ketika orang tua bersikap denial, anak-anak justru kehilangan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Ia merasa selalu dilindungi meski melakukan salah. Akhirnya, anak bakal tumbuh sebagai pribadi yangg susah menerima kritik dan rentan secara moral apalagi mental.

Tabayyun: Jalan Tengah di Tengah Emosi

Islam mengajarkan keseimbangan dalam hidup, termasuk antara kasih sayang dan kebenaran. Dalam menerima suatu buletin penting, seorang mukmin diajari agar tidak langsung percaya, tetapi juga tidak menolak mentah-mentah. Prinsip ini dikenal sebagai tabayyun: meneliti kebenaran sebelum bereaksi. Allah Swt berfirman:

“Wahai orang-orang yangg beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa buletin penting, maka telitilah kebenarannya agar Anda tidak mencelakakan suatu kaum lantaran ketidaktahuan(-mu) yangg berakibat Anda menyesali perbuatanmu itu.” (QS. al-Hujurat: 6).

Ayat ini menjelaskan bahwa sikap terburu-buru dalam memercayai–atau justru menolak–sebuah berita tanpa pemeriksaan, dapat menimbulkan penyesalan. Prinsip tabayun semestinya menjadi pedoman utama setiap orang tua. Saat seseorang melaporkan sesuatu, langkah pertama bukanlah marah, melainkan mendengar dan memeriksa kebenaran dengan hati dan pikiran yangg tenang.

Berkali-kali Rasulullah Saw telah mencontohkan sikap bijak ini. Ketika seorang sahabat melapor dan mengakui dosa, Nabi tidak langsung menghakimi, tetapi bertanya, memeriksa, dan memberi kesempatan untuk bertobat. Ini adalah corak tabayun yangg penuh kasih, bukan kemarahan buta.

Sekolah Bukan Pengganti Rumah

Banyak orang tua yangg beranggapan bahwa tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di tangan sekolah. Banyak orang tua yangg berlepas tangan dalam pendidikan, terlebih ketika anak memasuki masa remaja. Orang tua abai terhadap tindak-tanduk anak: tidak bertanya anak belajar apa, tidak peduli apa yangg dikerjakannya di luar sekolah, membiarkan anak bermain sesuka hati, apalagi memberikan akomodasi yangg tidak sesuai kebutuhannya.

Ketika mendapati laporan negatif tentang anak dari sekolah, barulah orang tua bereaksi—bukan reaksi positif, justru menyalahkan pihak sekolah. Padahal, peran utama pembentukan karakter (pendidikan) anak tetap berada di rumah. Sekolah adalah mitra, bukan pengganti.

Dalam pepatah Arab yangg terkenal disebutkan bahwa:

“Ibu adalah sekolah utama bagi anaknya. Jika ibu telah dipersiapkan dengan baik berfaedah telah menyiapkan sebuah generasi (penerus) yangg baik.”

Pepatah lain menyebut:

“… dan ayah adalah kepala sekolahnya.”

Dua pepatah di atas menunjukkan sungguh pendidikan sejati anak adalah tanggung jawab orang tua. Ketika orang tua menolak kebenaran tentang anak, sejatinya mereka telah menutup ‘madrasah rumahnya’ sendiri. Anak memandang dan belajar bahwa kebenaran bisa dinegosiasikan. Jika telah mengakar karakter demikian, peran sekolah—betapa pun bagusnya kurikulum—tidak bakal bisa memperbaiki sepenuhnya.

Fenomena orang tua yangg denial akan berakibat juga secara sosial. Guru kehilangan kewibaan, masyarakat kehilangan solidaritas, apalagi nilai-nilai kebenaran menjadi kabur. Dalam beberapa waktu ke belakang, berapa banyak pembimbing yangg digruduk orang tua lantaran memberikan balasan atas kesalahan muridnya. Bahkan, banyak pembimbing yangg dilaporkan kepada polisi. Miris.

Menjadi Orang Tua yangg Authoritative: Sayang, Namun Tegas

Menjadi orang tua sejati bukan berfaedah selalu memihak anak, melainkan berani menghadapai realita tentang tindak-tanduk mereka. Cinta sejati bukan sekadar melindungi, tetapi juga menuntun. Orang tua yangg bijak tidak marah ketika mendengar berita negatif, tetapi justru berterima kasih lantaran diberi kesempatan memperbaiki. Ia meneliti, berbincang dengan buah hati dengan tenang, dan mencari solusi bersama.

Tidak ada orang tua yangg sempurna, dan tidak ada anak yangg tumbuh tanpa kesalahan. Orang tua perlu menyadari bahwa dirinya pun demikian ketika tetap anak-anak. Memberikan balasan terhadap perilaku negatif anak adalah salah satu corak pendidikan. Anak yangg terlalu dimanjakan bakal tumbuh menjadi pribadi yangg selalu mencari pembelaan.

Ketika anak melakukan salah, itulah hanyalah kesalahan, bukan kejelekan besar yangg kudu ditutup-tutupi, apalagi diputarbalikkan sebagai sebuah perilaku yangg kudu selalu dimaklumi. Ketika anak melakukan salah, itulah salah satu kesempatan untuk melakukan perbaikan—demi tumbuh kembang anak itu sendiri.

Pada akhirnya, denial mungkin terasa seperti perlindungan, tetapi justru penelantaran yangg halus. Latih diri untuk senantiasa bersikap tabayun. Karena cinta sejati tidak buta terhadap kebenaran. Sebaliknya, cinta sejati adalah mencari kebenaran agar dapat tumbuh dengan jujur dan penuh tanggung jawab.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id