Sekolah Garuda dan Ilusi Kemajuan Pendidikan
Pemerintah tampaknya belum betul-betul belajar dari sejarah panjang proyek mercusuar pendidikan di negeri ini. Di tengah tetap banyaknya sekolah dasar yangg atapnya bocor, laboratorium rusak, dan pembimbing yangg kudu merogoh kocek sendiri untuk membeli spidol, pemerintah justru antusias menggelontorkan biaya hingga ratusan miliar rupiah untuk membangun Sekolah Garuda, -sebuah model sekolah unggulan yangg disebut-sebut bakal menjadi pusat lahirnya “talenta masa depan”./
Alasannya tampak mulia: menghadirkan sekolah bergengsi bumi di beragam wilayah untuk mencetak generasi unggul. Namun di kembali retorika futuristik itu, tersembunyi persoalan klasik yangg tak pernah selesai: salah urus prioritas. Ketika anggaran pendidikan negara tetap terbatas, membangun sekolah baru dengan biaya sekitar Rp200 miliar per unit bukan sekadar ambisi, tetapi potret kaburnya arah kebijakan publik. Bukankah lebih logis jika biaya sebesar itu digunakan memperkuat sekolah yangg sudah ada, -yang kondisinya nyata, menjerit, dan jauh dari kata layak?
Program Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat sekarang menimbulkan polemik luas. Pemerintah berdalih, sekolah-sekolah baru ini bakal menjadi “pusat inovasi” dan laboratorium pendidikan modern. Tetapi pengalaman menunjukkan, sekolah unggulan semacam itu sering berubah menjadi pulau eksklusif di tengah lautan ketimpangan. Ia menampung segelintir anak beruntung, sementara jutaan siswa lain tetap berjuang di ruang kelas yangg pengap, minim fasilitas, dan kekurangan guru.
Kebijakan yangg menciptakan dual-track system, -antara sekolah elitis dan sekolah biasa—berpotensi memperdalam lembah sosial yangg selama ini sudah lebar. Di satu sisi, anak-anak di Sekolah Garuda bakal menikmati akomodasi laboratorium sains, jaringan digital, dan pembimbing pilihan. Di sisi lain, kebanyakan siswa tetap bergulat dengan bangku reyot dan papan tulis kusam. Ini bukan sekadar persoalan keadilan pengedaran sumber daya, tetapi juga persoalan filosofi: untuk siapa pendidikan nasional dibangun?
Pemerintah tampak terjebak dalam obsesi infrastruktur, -seolah kemajuan pendidikan bisa diukur dari megahnya gedung dan peresmian proyek baru. Padahal, kualitas pendidikan berjuntai pada kapabilitas guru, relevansi kurikulum, dan kesinambungan pembelajaran. Gedung megah tanpa pembimbing berbobot hanyalah monumen tak bersuara yangg tak melahirkan kepintaran apa pun.
Jika memang Sekolah Garuda dimaksudkan sebagai model, semestinya ada sistem yangg jelas untuk mentransfer praktik baiknya ke sekolah-sekolah lain. Tetapi sejauh ini, tidak ada kreasi sistemik yangg menjamin transfer itu terjadi. Tanpa integrasi dalam pembinaan guru, perbaikan kurikulum, dan pendampingan berkelanjutan, sekolah unggulan hanya bakal menjadi etalase kebijakan, -cantik dilihat, tetapi miskin dampak. Lagi-lagi, proyek mercusuar yangg bagus dalam ilusi, tetapi miskin dalam kreasi dan prestasi. Ia menegaskan gimana negara sering kali lebih sibuk membangun simbol daripada sistem; lebih senang menata rupa daripada menata mutu!
Sementara itu, ribuan sekolah rakyat menunggu sentuhan perbaikan sederhana: sanitasi layak, jaringan internet, alias kitab pelajaran yangg mutakhir. Di situlah justru inti dari pembangunan pendidikan yangg inklusif dan berkeadilan. Peningkatan kualitas tidak selalu memerlukan proyek raksasa; sering kali, yangg dibutuhkan hanyalah perhatian yangg merata dan konsistensi.
Pendidikan yangg sejati bukanlah panggung pameran untuk menunjukkan kemewahan negara, melainkan proses panjang membangun kapabilitas manusia dari bawah. Sebelum menambah deretan “sekolah unggulan” baru, pemerintah sebaiknya menoleh ke belakang: benahi dulu fondasi sistem yangg timpang. Tanpa itu, Sekolah Garuda hanya bakal menjadi simbol paradoks, -megah dari luar, tetapi kosong dari misi kemanusiaan yangg semestinya menjadi jiwa pendidikan Indonesia.
Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·