
Oleh: Nur Amaliah (Aktivis IMM)
KHITTAH. CO – IMM datang bukan hanya organisasi mahasiswa biasa, melainkan ruang untuk mengasah kepemimpinan dan membentuk karakter. Di mulai dari lingkar obrolan sederhana hingga forum musyawarah cabang, setiap Langkah mengajarkan makna dari tanggung jawab dan keberanian. IMM bukan hanya mengisi ruang akademik, tetapi sebagai tempat yangg memadukan nilai, intelektual, dan spiritual. IMM ruang membesarkan sekaligus tempat bertumbuh.
Kepemimpinan dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah bukanlah sekadar kedudukan struktural yangg tercatat dalam AD/ART. Sejak pertama kali saya mengenal IMM, saya belajar bahwa kepemimpinan di sini adalah ruh yangg menghidupkan gerakan, arah menuntun kader dan teladan yangg meneguhkan cita-cita. “True leadership is measured not by titles, but by the values we choose to uphold”. Dari forum mini hingga musyawarah besar, saya merasakan bahwa kepemimpinan di IMM selalu mengajarkan untuk mendahulukan nilia daripada ambisi.
Dalam literatur kepemimpinan, John C. Maxwell menyebut bahwa inti kepemimpinan adalah pengaruh. Pengaruh yangg artinya bukanlah dominasi, melainkan keahlian menggerakkan orang lain menuju tujuan bersama. Saya merasa pendapat ini sejalan dengan IMM, dimana IMM buka untuk ‘‘memerintah’’ melainkan menyatu dengan yangg lain.
Di Tengah era yangg begitu sigap arusnya, dimana info digital, krisis moral, dan tantangan kebangsaan, IMM dituntut datang sebagai jawaban. IMM tidak boleh kehilangan arah hanya lantaran terpukau oleh ketenaran alias sibuk dengan formalitas. Pemimpin di IMM kudu bisa membaca era dengan menyaring beragam informasi, dan menjawab tantangan dengan pendapat yangg segar sekaligus tindakan yangg nyata.
Buya Syarifii Marif dalam beragam tulisannya sering mengingatkan bahwa bangsa ini kerap rentan lantaran abai pada moral. Beliau menegaskan bahwa seorang pemimpin kudu bisa menjadi teladan akhlak, bukan hanya penguasa kebijakan. Pesan ini menjadi refleksi sekaligus angan bahwa jika kita mau melahirkan pemimpin bangsa, makai a kudu terlebih dulu ditempa menjadi pribadi yangg jujur, berani, berintegritas di ruang-ruang kaderisasi.
Kepemimpinan di IMM tidak lahir dari ambisi pribadi, melainkan semangat kolektif. Seorang ketua cabang, komisariat sejatinya hanyalah wajah yangg mewakili semangat seluruh kader. Musyawarah adalah ruhnya, kolektivitas adalah jalannya, dan kebermanfaatan adalah tujuannya. Maka seorang pemimpin di IMM kudu selalu rendah hati, apalagi berdiri di depan untuk memberi teladan, tetapi juga mau melangkah di tengah untuk mendengar, dan rela berada di belakang untuk mendorong agar semua tetap maju.
Bagi saya nilai Islam berkemajuan menjadi fondasi utama, gimana mungkin sebuah organisasi bisa memperkuat jika tidak berpijak pada nilai yangg kokoh? IMM menjawab keraguan itu bahwa Islam sebagai rahmatan lil-‘alamim datang bukan sekadar semboyan melainkan pedoman pertama dalam bertindak dan bersikap. Dengan itu seorang pemimpin di IMM dituntut menjadi wajah islam yangg teduh, kritis, sekaligus merangkul semua kalangan. Pemikiran kuntowijoyo tentang pengetahuan sosial profetik juga relevan. Kepemimpinan kudu menggabungkan aspek transendensi, humanisasi dan liberasi. IMM sebagai organisasi kader yangg semestinya melahirkan pemimpin yangg bisa menjawab ketiga misi tersebut.
Amin Raise dalam Agenda Mendesak Bangsa menulis bahwa kepemimpinan kudu berani mengambil resiko demi suatu kebenaran. Prinsip yangg dirasakan bahwa, kadang kepurusan musyawarah bukan yangg paling popular, tetapi justru itulah yangg meneguhkan nilai. Pemimpin tentunya kudu berani mengambil sikap mesti tidak semua orang setuju, selama itu demi kebermanfaatan kolektif.
Satu corak refleksi bahwa kepemipinan IMM adalah bagian daripada kaderisasi yangg tentunya setiap periode bagian dari estafet dan bukan panggung abadi. Seorang pemimpian kudu menyiapkan generasi berikutnya lebih baik daripada dirinya, bukan sebaliknya. Ia kudu berani dalam segala aspek mulai dari mendidik, membuka ruang apalagi merelakan tongkat estafet berpindah, lantaran sejatinya ilusionis tidak lahir dari rasa mau dipertahankan, melainkan semangat untuk rekonstruksi.
Musyawarah Cabang (Musycab) menjadi contoh nyata gimana kepemimpinan IMM ditempa. Musyawarah bagian bukan forum untuk beradu perbedaan pandangan, namun menumbuhkan daya untuk menyampaikan gagasan. Musycab bukan sekedar memilih pemimpin baru, tetapi juga ruang untuk merefleksi apakah aktivitas kaderisasi hari ini melangkah dengan baik, dan gimana kepemimpinan IMM bisa terus memberi faedah yangg nyata.
Kepemimpinan bukan hanya soal hari ini, namun satu corak untuk masa yangg bakal datang. Mengajarkan bahwa keberanian kudu ditempa dengan ilmu, solidaritas kudu dirawat dengan kasih, perjuangan kudu dijalankan dengan konsisten, dan saya percaya dari ruang-ruang IMM inilah bakal melahirkan pemimpin yangg tulus, luas ilmunya dan kokoh imannya.
Refleksi bukan semata untuk mengenang perjalanan, namun sebagai pengingat bahwa kepemimpinan adalah corak juang sebuah amanah yangg terus dirawat. IMM telah mengajarkan bahwa setiap kader adalah calon pemimpin, dan setiap pemimpin lahir untuk melayani, bukan dilayani. Bagi saya, kepemimpinan IMM adalah lingkar yangg tak pernah putus, dia terus berputar, terus melahirkan, dan terus menyalakan angan untuk masa depan umat dan bangsa.
3 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·